NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi / Raja Tentara/Dewa Perang / Pulau Terpencil / Kultivasi Modern
Popularitas:13.7k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Yang Suka Action Yuk Mari..

Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 35

Bab 35

Kota Binjai, sebuah wilayah yang berada di garis perbatasan, dikenal oleh para Night Watcher dengan sebutan Distrik 46.

Dibandingkan area lain di sekitar Kota Binjai, distrik ini terbilang terpencil. Namun justru karena keterpencilannya, banyak orang menganggapnya sebagai tempat yang ideal untuk memulai hidup baru. Tanahnya subur, airnya jernih, dan udara di sekitarnya selalu membawa aroma dedaunan yang segar.

Para pengembara dan perantau dari berbagai penjuru kerap datang untuk menetap di sini, membentuk komunitas kecil yang lama-kelamaan berkembang menjadi desa-desa dan suku-suku baru. Meski hidup sederhana, mereka tidak tertinggal dari perkembangan zaman. Mereka tetap menjalin hubungan dagang dengan wilayah lain—menjual hasil peternakan, mengirimkan hasil panen, dan memanfaatkan sumber alam yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun malam ini... segala kedamaian itu lenyap seketika.

Langit yang biasanya jernih, kini diselimuti cahaya menyala dari puluhan—tidak, ratusan—meteor yang menghujam bumi tanpa ampun. Hujan api itu menghancurkan setiap rumah yang dilewatinya, membumihanguskan pepohonan, dan menghabisi siapa pun yang berdiri di bawahnya.

Dalam sekejap, tempat itu berubah menjadi lautan darah.

Beberapa penduduk sempat berlari menyelamatkan diri, sebagian lagi bersembunyi di balik reruntuhan. Tetapi lebih banyak yang tidak sempat melarikan diri—terpukul oleh kekuatan yang datang begitu tiba-tiba dan brutal.

Empat jam berlalu.

Dua puluh satu kendaraan melaju membelah jalan berbatu, berhenti tepat di tepi distrik yang kini hanya tersisa puing dan bara api.

Para anggota Night Watcher turun satu per satu dari kendaraan mereka. Di hadapan mereka, pemandangan yang mengerikan terbentang luas: rumah-rumah yang hangus, jeritan manusia yang meminta tolong, dan di antara asap tipis, suara lirih orang-orang yang sekarat.

Beberapa anggota Night Watcher segera bergerak cepat, melakukan evakuasi, mencari siapa pun yang mungkin masih hidup.

Namun tidak semua turun tangan dalam misi penyelamatan. Di sisi lain, berdiri sosok Rangga bersama tim utamanya—mata mereka menatap lurus ke depan, mengenakan seragam kebanggaan berwarna gelap dengan kain merah melingkar di lengan kiri.

Ketika melihat kedatangan Rangga dan kelompoknya, seorang pria yang memimpin evakuasi langsung menghampiri. Ia menegakkan tubuhnya, menahan getaran dalam suaranya.

Di kota besar seperti Binjai, jumlah Night Watcher memang banyak, tetapi jarang sekali mereka berkumpul dalam jumlah ratusan. Dan malam ini, bahkan legenda yang selama tiga tahun tak terlihat—Tim 11762, tim milik Rangga—telah kembali muncul.

Ketua tim itu menelan ludah. “Aku ketua tim 18534, Night Watcher nomor 2450—Fadly!”

Rangga menatap hamparan tanah yang porak-poranda, menghela napas pelan. “Bagaimana situasi di sini?”

Fadly menundukkan kepala, suaranya berat. “Tidak ada yang selamat. Tapi kami belum bisa memastikan apakah ada yang berhasil kabur. Dari pengamatan kami… ini akibat serangan Blue Ghost. Mereka menyebar ke segala arah, menghancurkan apa saja yang mereka lihat. Korbannya… sangat banyak.”

Rangga mengernyit. “Sebanyak itu?”

Fadly mengangguk lemah. “Tim kami tidak cukup kuat untuk menghadapi Blue Ghost. Kami sudah berusaha, tapi mereka terlalu cepat dan ganas. Kami hanya bisa mengevakuasi korban yang masih hidup—itu pun sedikit sekali.”

Rangga menepuk pundaknya, menatap dalam. “Tenang, kami sudah datang. Semua ini akan berakhir.”

Dengan mata memerah, Fadly menatapnya tajam. “Zero… kumohon, akhiri perang ini secepat mungkin. Semakin lama ditunda, semakin banyak nyawa orang biasa yang akan melayang.”

Rangga mengepalkan tinjunya dan memukul dadanya dengan tegas. “Aku janji.”

Fadly menunduk dalam kepuasan dan menyerahkan tanggung jawab berikutnya kepada Rangga.

Dari belakang, Gunjack mengangkat alis. “Hei, siapa yang Zero di sini?” gumamnya jengkel.

Tidak seperti biasanya, Fella—yang biasanya dingin dan tenang—menatap Rangga dengan tatapan serius. “Apa rencanamu sekarang?”

Rangga menarik napas dalam-dalam. “Kita tidak punya waktu banyak. Semua sudah berkumpul, tapi jumlah kita terlalu besar untuk bergerak bersamaan. Selly, berikan aku tabletnya.”

Selly segera menyerahkan tablet peta digital ke tangannya. Rangga menyalakannya dan memandangi tampilan hologram tiga dimensi di udara.

“Wilayah ini luas sekali,” katanya. “Hanya ada dua puluh satu tim—itu tidak cukup. Kita harus berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil.”

“Hah?” beberapa anggota menatapnya ragu.

“Satu tim cukup berisi empat atau lima orang. Kalian atur strategi masing-masing dan bertanggung jawab pada area yang kalian pilih. Hindari menggunakan mobil—kecepatan kita melebihi kendaraan biasa, apalagi dalam cuaca bersalju seperti ini.”

Udara memang menggigit malam itu; Kota Binjai diselimuti musim dingin yang ekstrem.

Fella mengangguk setuju. “Baik, itu masuk akal.”

Ketua tim lain turut menyahut, “Kami juga setuju.”

Dari belakang, Gunjack menggaruk kepala. “Sebenarnya… aku juga barusan kepikiran hal yang sama,” gumamnya pelan.

Rangga menatapnya datar. “Ya, tentu saja kau kepikiran setelah aku bilang.”

Ia menunjuk peta di layar. “Daerah pegunungan Anchor—wilayah paling berbahaya. Aku dan timku akan menanganinya.”

Semua mengangguk setuju. Dalam beberapa menit, rute setiap kelompok ditentukan.

“Gunakan kode komunikasi yang sudah disepakati,” ujar Rangga tegas. “Begitu menemukan bahaya, segera laporkan. Siapa pun yang paling dekat harus datang membantu. Kita tidak bisa membiarkan korban bertambah.”

Ia berhenti sejenak, lalu menatap semua orang di sekelilingnya.

“Dan ingat—kalau kalian bertemu Red Ghost, jangan melawan. Lari secepat mungkin dan beri tahu aku. Aku yang akan datang. Musuh itu… tidak bisa diremehkan.”

Keheningan menyelimuti udara sesaat. Semua menatapnya serius.

“Baik!” jawab mereka serempak.

Rangga mengangguk. “Aku bersama Devan. Thania, kau dengan dokter Sisil. Raysia, kau bersama Selly. Puquh, kau berpasangan dengan Krish.”

Dengan komposisi itu, setiap tim memiliki keseimbangan antara kekuatan ofensif dan kemampuan bertahan. Rangga tahu betul, bahkan Devan yang kuat pun tidak akan mampu menghadapi Red Ghost sendirian.

“Baik!” seru mereka lagi serempak.

Rangga menatap layar tablet dan mulai membagi wilayah tugas. Setelah pembagian selesai, satu per satu tim mulai bergerak menuju lokasi masing-masing.

Rangga menarik ransel ke punggungnya dan berkata pelan, “Kita juga berangkat.”

Dari kejauhan, langit mulai berubah warna. Fajar menyingsing perlahan, dan di bawah cahaya keemasan pagi, lebih dari dua ratus sosok manusia berjalan beriringan, menyebar ke segala arah dari desa yang terbakar itu—menuju Distrik 46, menuju pertempuran yang tak terelakkan.

 

Di kaki Pegunungan Anchor, berdiri sebuah desa kecil. Di dalam salah satu rumah sederhana, seorang nenek tua sedang menata hidangan sarapan di meja kayu panjang. Daging panggang, sayur rebus, dan roti hangat memenuhi udara dengan aroma lezat.

Tiga orang duduk di sana menikmati makanan itu:

seorang wanita tua, seorang perempuan muda berjaket merah menyala, dan seorang pria paruh baya yang sibuk mengunyah sambil mengelap mulut berminyaknya.

Mereka adalah Luke, Oliv Moreno, dan RedRos.

Luke tersenyum samar sambil menatap ke luar jendela. “Tempat ini sebenarnya indah… sayangnya—”

Belum sempat ia melanjutkan, Oliv menatapnya tajam. “Keluarkan barangnya.”

Luke berhenti bicara, lalu mengangguk. Ia merogoh tas kulit di samping kursinya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Perlahan ia membukanya, memperlihatkan selembar kain tipis yang tersimpan rapi di dalamnya.

Ada tulisan aneh di atas kain itu—tanda yang tampaknya akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

“Gunakan benda itu untuk melawan siapa pun yang mampu menyerap tulang naga!”

RedRos memiringkan kepala, tampak ragu sejenak. “Orang yang menyerap tulang naga?” gumamnya pelan. “Tapi… bukankah itu Rangga?”

Mata Luke sontak membulat, sinar aneh melintas di dalamnya. “Apakah ini pertanda… bahwa Tuhan ingin aku membunuh Rangga?”

Oliv Moreno terdiam beberapa detik sebelum menghela napas panjang. “Kau sungguh yakin? Apakah seorang pria muda di bawah tiga puluh tahun itu lebih berbahaya bagimu daripada Dirman?”

“Selama Rangga mati,” suara Luke bergetar namun penuh gairah, “aku bisa hidup dengan tenang. Aku harus segera memberi tahu Kek Marno.”

Tanpa berpikir panjang, ia berbalik, melangkah cepat keluar rumah, dan merogoh ponselnya. Langkah-langkahnya berat, tapi matanya menyala dengan tekad.

Di dalam ruangan, RedRos memandang punggung Luke dengan wajah cemas. Ia menoleh pada Oliv Moreno, yang hanya menggeleng pelan, seolah sudah tahu isi hati temannya itu.

“Aku akan mencari cara untuk memperingatkan Rangga,” bisik Olivia tenang namun tegas.

RedRos menatapnya, lalu mengangguk. “Mudah-mudahan kita belum terlambat. Sepertinya mereka sudah hampir tiba. Banyak Ghost yang tersebar di sekitar sini. Mungkin… sebentar lagi kita akan bertemu Rangga.”

 

Sekitar dua puluh kilometer dari tempat RedRos berdiri, di sebuah desa sunyi di kaki pegunungan, kekacauan tengah melanda.

Blue Ghost menyerbu tanpa ampun, mengubah fajar yang seharusnya membawa kedamaian menjadi neraka bagi penduduk desa.

Jerit pilu manusia mendahului kicau burung pagi. Suara tangisan dan teriakan meminta tolong menggema, lalu perlahan sirna satu per satu, meninggalkan udara yang sarat dengan aroma darah dan abu.

Tubuh-tubuh bergelimpangan di tanah, membentuk pemandangan yang terlalu mengerikan untuk dilihat.

Di antara reruntuhan rumah, ada sebuah bangunan reyot yang sebagian dindingnya telah ambruk. Di tengah ruangan, sebuah tikar jerami tampak sedikit bergerak—seperti bergetar ketakutan.

Ternyata, di bawah tikar itu tersembunyi dua bocah kecil.

Anak lelaki berumur sepuluh tahun itu bernama Thami. Tubuhnya gemetar hebat, bibirnya tergigit sampai berdarah. Di dalam pelukannya, ada adiknya yang lebih kecil—Tessa, gadis mungil dengan wajah pucat pasi.

Tessa menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak mengeluarkan suara, sementara Thami berusaha menahan air mata yang terus mengalir.

Bau amis darah memenuhi udara, menusuk hidung mereka berdua.

Setengah jam berlalu sejak teriakan terakhir terdengar.

Sunyi.

Begitu sunyi hingga detak jantung mereka sendiri terdengar seperti guntur di telinga.

Di luar, Blue Ghost berdiri di atas timbunan mayat dengan ekspresi puas, seolah baru saja menyelesaikan karya agungnya.

Ia memilih korban secara acak, mencabut tulang dari tubuh-tubuh yang dingin, lalu memakannya perlahan dengan kenikmatan sadis.

Proses mengerikan itu berlangsung hampir satu jam, baru kemudian makhluk itu beranjak meninggalkan desa.

Namun, di bawah tikar jerami itu, dua bocah malang itu tak berani bergerak sedikit pun.

Waktu berlalu lambat.

Beberapa jam kemudian, Tessa yang kelelahan akhirnya tertidur di bahu kakaknya, sementara Thami terus terjaga, menangis tanpa suara. Ketakutannya terlalu besar untuk membiarkannya tertidur.

 

Sekitar dua jam setelah keheningan panjang itu, langkah kaki terdengar dari kejauhan—pelan tapi semakin dekat.

Seseorang berkata di antara suara langkah itu,

“Ketua, jangan hiraukan aku. Kalau kamu menolongku seperti ini, kita bisa dikejar Ghost lagi.”

Suara lain membalas dengan nada keras namun bergetar, “Diam! Tim kita sudah habis! Kalau aku kehilanganmu juga… aku—aku tak akan bisa memaafkan diriku!”

Ia menyeka air matanya, menahan rasa sakit di dada.

Mereka adalah anggota Tim 16783, pasukan Night Watcher yang dikenal tangguh meski kini tinggal dua orang saja.

Malam sebelumnya, mereka bertarung melawan dua Blue Ghost, dan hanya mereka berdua yang berhasil bertahan—Kapten Coki dan rekannya Jaka.

Keduanya kini terluka parah dan kehabisan tenaga.

Coki menatap luka di lengan Jaka dan berkata dengan suara berat, “Tempat ini sudah rata dengan tanah. Tapi aku dengar Dokter Sisil Bahri sudah tiba. Dia satu-satunya dokter terbaik milik Night Watcher. Kau punya peluang untuk selamat, Jaka. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi sampai bertemu dengannya.”

Jaka tersenyum lemah, menatap kaptennya dengan mata yang sudah kehilangan cahaya. “Kau selalu jadi pemimpin yang baik, Kapten. Tapi…”

Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, dua sinar biru tiba-tiba terlihat dari arah utara—bergerak cepat, semakin dekat.

“Cepat! Pergi dari sini!” teriak Coki dengan panik.

Tiba-tiba, dari balik reruntuhan, terdengar suara lirih seorang anak kecil,

“Kak… aku lapar…”

Kedua prajurit itu sontak menoleh. Mereka saling berpandangan, mata mereka membulat.

Masih ada yang hidup.

Coki menatap Jaka dengan tatapan getir. “Sepertinya… kita tak akan sempat bertemu Dokter Sisil.”

Jaka menegakkan tubuhnya perlahan, lalu tersenyum tenang. “Kalau begitu, kita mati dengan terhormat. Kita adalah Night Watcher.”

Tanpa kata-kata lagi, Coki mengangkat pedang panjangnya tinggi-tinggi, darah menetes dari lengannya.

Suara teriakannya menggema di udara fajar yang merah menyala,

“Demi semua yang bernafas!”

Pedang itu berkilau di udara, menyambut kedatangan maut.

Bagaimana kisah selanjutnya?

Bersambung…

1
Was pray
ya memang Rangga dan raysa yg harus menyelesaikan permasalahan yg diperbuat, jangan melibatkan siapapun
Was pray
Rangga memang amat peduli sama orang2 yg membutuhkan pertolongan dirinya tapi tidak memikirkan akibatnya
hackauth
/Pray/ mantap update terus gan
Was pray
MC miskin mantaf ..
Was pray
Rangga. dalam rangka musu bunuh diri kah?
adib
alur cerita bagus..
thumb up buat thor
adib
keren ini.. beneran bikin marathon baca
Maknov Gabut
gaskeun thor
Maknov Gabut
ceritanya seru
Maknov Gabut
mantaff
Maknov Gabut
terima kasih thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!