Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih baik kita berpisah
"Ibu nggak tahu jalan pikiran istri kamu itu. Suami lagi sakit, anak-anak nggak ada yang urus malah pergi," omel ibu Naren. "Kamu jadi suami jangan terlalu lembek. Cinta boleh, menghargai boleh tapi nggak harus begini juga Naren."
"Ini juga bukan keinginan Nadira Bu. Tapi mau bagaimana lagi Nadira nggak boleh menolak permintaan atasannya. Andai Naren punya pekerjaan Nadira pasti diam kok di rumah."
"Bela saja terus, bela istri kamu. Baru juga dua minggu nggak kerja, itu pun bukan karena malas. Kamu usaha sampai sakit seperti ini, dia sudah begitu."
"Bu?" Naren menatap retina ibunya, mengelus punggung tangan wanita yang telah melahirkannya ke dunia. "Ini rumah tangga Naren, ibu nggak usah ikut campur ya? Apalagi sampai menegur Nadira."
"Iya terserah kamu, ibu hanya mengeluarkan unek-unek. Istri kamu itu baru kelihatan belangnya sekarang soalnya kamu udah nggak kerja." Ibu Naren terus menggerutu, meski begitu dia tidak pernah menghakimi Nadira secara langsung sebab Naren selalu memperingatkan agar menjaga perasaan istrinya.
Sejak awal orang tua Naren tidak setuju dengan hubungan mereka, tetapi apa boleh buat, Nadira sedang hamil dan mau tidak mau Naren harus bertanggung jawab.
"Ibu sudah masak, sudah mengurus cucu-cucu ibu. Kamu nggak usah banyak gerak. Asisten rumah ditambah kalau keteteran, nanti ibu yang ...."
"Naren masih bisa menanganinya, Bu."
"Ibu pulang setelah Nadira pulang."
Naren mengangguk dan kembali memejamkan matanya. Pria itu tidak berbaring, melainkan duduk di sofa masih mengawasi anak-anaknya bermain. Keluarga Naren tidak begitu miskin, bisa dibilang keuangannya berada di tengah-tengah.
"Naren, kalau memang sulit dapat pekerjaan karena nama kamu udah rusak. Ibu beri saran buka usaha saja sebelum tabungan kamu habis buat kebutuhan rumah tangga."
"Sebenarnya Naren sudah pikirkan ini jauh sebelum di PHK Bu, tapi Naren bingung mau bikin usaha apa."
"Nanti ibu bantu pikirkan, kamu ...."
Ibu Naren memutar bola mata malas mendengar salam dari seorang wanita.
"Ingat pesan Naren, Bu."
"Iya Nak, iya," sahut ibu Naren berbarengan Nadira tiba di ruang Tv.
"Loh ibu? Kok nggak mengabari kalau mau datang?" sapa Nadira.
"Ibu juga tiba-tiba ini, soalnya cucu-cucu ibu nggak ada yang jemput, Naren sakit. Kalau begitu ibu pulang ya, kasian ayah sendirian."
"Iya Bu, hati-hati." Nadira mengantar mertuanya sampai di ambang pintu, setelahnya mendekati Naren yang tampak pucat tapi menolak ke dokter.
"Mas yang menyuruh ibu datang? Mas sengaja ya biar ibu tambah benci sama aku?"
"Sayang, mas terpaksa telepon ibu karena nggak ada yang jemput Darian sama Naresa."
"Ya kalau memang nggak bisa jemput kan bisa chat aku. Mas tuh memang hobi banget ya merasa tersakiti!"
Naren menghela napas panjang, ia melirik anak-anaknya yang kini memperhatikan perdebatan kecil mereka. Pria itu langsung menarik istrinya agar duduk dan mengecup keningnya seolah tidak ada yang terjadi.
"Tolong jangan perlihatkan pada anak-anak bahwa kita nggak baik-baik saja," bisiknya.
"Ayah, jangan cium ibu. Nanti ibu ketularan sakit. Kalau ayah-ibu sakit, yang jaga kakak dan adek siapa?" Naresa berlari menghampiri ibu dan ayahnya.
"Maaf sayang, soalnya ayah terlalu gemes sama ibu. Lihat ibu sangat cantik meski baru pulang, bagaimana ayah nggak cium coba?" Naren tertawa.
"Ibu nggak bakal ketularan kok." Nadira mengelus pipi putranya dan berlalu ke kamar.
Sedangkan di ruang Tv, Naren mulai dikerumuni oleh anak-anaknya. Mereka sedang bermain masak-masakan. Naren dan Seren menjadi koki dan Naresa-Darian berperan sebagai pelanggan.
"Ih bintang satu, ikannya keras!" protes Naresa.
"Bintang 10." Darian menaikkan semua jari tangannya.
"Alasannya apa adek?"
"Karena Dalian suka makanan."
Tawa pun terdengar, mengalung indah di telinga siapapun. Termasuk Nadira yang berdiri di anak tangga memperhatikan suami dan anak-anaknya.
Dia bahagia melihat kebahagian mereka, tetapi ia takut jika terus begini bisa saja dirinya dipermalukan oleh teman-temannya.
...
Sudah terhitung satu bulan lamanya Naren menganggur, selama itu pula ia masih menjadi sopir online dan penghasilannya bisa menutupi kebutuhan harian keluarga. Namun, tidak untuk kebutuhan bulanan seperti pembayaran sekolah, perawatan rumah dan gaji asisten rumah tangga.
Alhasil, Naren terpaksa memberhentikan asisten rumah tangga mereka dan memicu pertengkaran kecil di antara dia dan istrinya.
"Mas apa-apaan sih malah pecat mbak? Sekarang bagaimana?" Nadira menatap tidak suka pada suaminya. Napasnya tidak beraturan karena emosi. "Mbak sudah kerja bertahun-tahun sama kita, kalau tiba-tiba di pecat terus teman-teman aku datang ke rumah, aku bilang apa? Aku muak ya mas hidup kayak gini terus."
"Sabar ya?"
"Sampai kapan aku sabar huh? Sekarang job aku juga lagi sepi. Pisah aja lah kita!" Nadira keluar dari kamar.
Menyisakan Naren dan pikiran kusutnya. Mata pria itu memerah, ia semakin menyalahkan dirinya karena keadaan.
"Karenaku mereka menderita," gumam Naren.
"Ayah kenapa nangis?"
Naren terkesiap ketika mendengar pertanyaan Naresa, bahkan anak kecil itu memeluk kaki panjangnya. Ia mengulas senyum, tidak ingin anak-anaknya tahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
"Ayah kelilipan Nak. Kok belum tidur?"
"Tidur sama ayah boleh?"
"Aduh kayaknya nggak bisa, ayah ada kerjaan."
"Tapi ini udah malam, ayah kenapa kerja terus?"
"Demi ibu, kakak dan adek." Naren menjawil hidung mancung anaknya.
Pria itu mengambil kunci mobil dan ponselnya yang tergelak di atas meja.
"Nadira, mas berangkat dulu ya? Mungkin agak larut pulangnya. Kamu kunci pintu saja, mas bawa kunci cadangan kok."
"Terserah mas mau pulang atau nggak," sahut Nadira tanpa menoleh.
Lagi dan lagi Naren menghela napas panjang, berusaha menekan amarah dalam dirinya. Pria itu melajukan mobil, tidak lupa menyalakan aplikasi.
Sampai saat ini Nadira tidak tahu bahwa dia menjadi sopir online. Ketika Nadira bertanya, ia selalu mengatakan ada rezeki di luar sana.
Pria itu melesatkan kendaraan roda empatnya menuju orderan yang langsung masuk padahal sudah setengah sepuluh malam.
"Mas tolong dong bagasinya dibuka, saya mau menyimpan barang," perintah wanita itu dan langsung dibuka oleh Naren padahal yang ia lihat penumpangnya tidak membawa apapun selain tas.
"Selfi boleh?"
"Foto saya saja dek, kalau selfi takut salah paham istri saya di rumah."
"Oke."
Setelah mengambil foto, wanita itu duduk dengan tenang. Memainkan ponselnya sampai akhirnya menyadari sesuatu.
"Loh, maskan yang waktu itu ingatkan saya tentang kejahatan?"
"Mungkin Dek."
"Terimakasih banyak Mas sudah memberitahu saya. Kemarin teman saya hampir dimodusin, untung ingat pesan mas, jadinya dia lompat pas sadar ada sesuatu di jok belakang."
"Astagfirullah." Naren jelas terkejut, pikirannya langsung tertuju pada sang istri yang kadang pulang malam karena alasan pekerjaan.
"Kok masih berani Dek naik kendaraan online? Sendirian dan tengah malam seperti ini?"
"Pekerjaan saya baru selesai Mas."
"Mas?"
"Iya Dek?" Naren melirik penumpangnya sekilas.
"Mas lagi cari kerja ya?" tanya wanita itu ketika melihat banyak selebaran di jok depan.
"Iya lagi cari-cari kerja. Jadi sopir nggak bisa menutupi kebutuhan anak-anak di rumah. Mungkin saja kantor adeknya butuh pekerjaan, ini resume saya."
Menyerahkan kertas yang telah ia buat sebanyak-banyaknya dan membawa kemanapun dia pergi. Naren tanpa malu bertanya pada penumpang kalau saja mendapati pekerja kantoran.
"Loh masnya S2 ini, ya kali nggak dapat pekerjaan."
"Kesan saya di perusahaan sebelumnya kurang baik Dek."
"Memangnya mas kerja dimana sebelumnya?" tanya sang penumpang sebab di kertas itu Naren tidak memasukkan nama perusahaan Alexander.
"Alexander Group."
"Waduh kacau sih kalau mas di PHK dengan alasan nggak baik di sana."
"Pernah kerja di sana Dek?"
"Kalau pun saya jawab mas pasti nggak percaya."
"Apa memangnya?"
"Saya kasih bukti saja deh." Dengan bangganya wanita itu memperlihatkan sebuah foto selfi.
"Loh kamu pacarnya pak Liam, Dek?"
"Saya adiknya." Wanita itu mengulum senyum.
.
.
.
.
.
Alexander Group? Liam? Mereka siapa? Ibu bucin lupa ingatan🙈
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren