Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 Kabar yang mengharukan
Distrik Orvelle, RestoBar - MoonClub
Leon memarkirkan mobil hitamnya tepat di depan Moonclub—sebuah bangunan megah dengan fasad kaca gelap, dihiasi papan nama bercahaya yang kini sudah diredupkan.
"Selamat datang, Bos Leon!" sapa anak buahnya yang bertugas sebagai penjaga pintu.
Begitu pintu berat itu didorong, suara gesekan pel beradu dengan lantai marmer menyambutnya. Para pekerja klub—anak-anak muda yang loyal padanya dan Garka—sibuk menyapu, mengangkat botol kosong, dan menata kursi.
Begitu mereka melihatnya, seruan penuh hormat terdengar serempak.
“Bos Leon!”
Leon hanya mengangguk kecil, matanya tajam menyapu ruangan. Aura dingin yang biasanya menekan terasa lebih tenang pagi itu, seolah sisa-sisa ketenangan tidurnya masih terbawa.
“Bagaimana semalam?” tanyanya singkat, suaranya rendah namun tegas.
Seorang anak buah dengan rambut cepak mengusap keringat di dahinya lalu menjawab sambil tersenyum lelah. “Heboh sekali, Bos. Kami sampai kewalahan melayani tamu. Hampir semua meja penuh, bahkan bar juga padat. Rasanya Moonclub ini akan jadi pusat hiburan paling top di Orvelle.”
Yang lain menimpali dengan semangat.
“Benar, Bos. Semua orang ingin masuk, tapi kami harus menolak beberapa. Tempat ini makin populer. Investasi Anda… benar-benar tepat.”
Leon mengangguk perlahan, sepasang matanya berkilat tajam.
“Bagus. Berarti kerja keras kalian tidak sia-sia. Ini bukan sekedar tempat hiburan, ini adalah rumah dan sekaligus markas kita."
"Baik, Bos!"
Leon mengangguk, lalu melangkah lebih dalam, melewati lorong menuju ruangan khusus di bagian belakang. Anak buahnya langsung memberi jalan, penuh rasa hormat.
Leon memasuki Garka, disana terlihat Garka yang tengah duduk di balik meja besar penuh dokumen. Dahi pria itu berkerut, jemarinya memijit kening sementara mata fokus membaca angka-angka. Di sampingnya, Louis berdiri dengan postur serius, menunjuk beberapa catatan di map tebal.
“Kalau pasokan minuman tidak kita atur, minggu depan stok bisa jebol,” ujar Louis tenang, nada suaranya lebih mirip seorang mentor ketimbang bawahan. “Distribusi juga harus seimbang, jangan biarkan satu pemasok menguasai pasar. Itu akan jadi titik lemah kita.”
Garka mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menulis di kertas catatan. Matanya yang biasanya garang kini dipenuhi konsentrasi, seperti seorang murid yang sedang diajar oleh guru yang disegani.
Leon berdiri di ambang pintu, memperhatikan keduanya dengan tatapan penuh arti.
“Sepertinya kalian berdua sibuk,” ucapnya datar, namun nada suaranya mengandung penghargaan.
Louis menoleh kearahnya. Wajahnya tampak cerah ketika melihat sosok Leon berdiri di ambang pintu.
“Bos,” sapa Louis sambil merapikan map di tangannya, “apa kau ingin bicara berdua dengan Bos Garka?”
Leon menggeleng tipis, matanya berkilat dingin.
“Tidak perlu. Lanjutkan saja apa yang kalian lakukan.”
Louis menunduk hormat. Garka, sebaliknya, masih menatap dokumen di depannya, alisnya berkerut rapat. Informasi yang disodorkan Louis terasa menumpuk di kepalanya, hampir membuat pikirannya meledak.
Leon mendekat beberapa langkah, matanya menatap Garka dalam-dalam. “Sepertinya kau bekerja keras, Garka. Itu bagus.”
Namun alih-alih merasa tersanjung, wajah Garka justru menegang. "I-ini lebih sulit dari yang kubayangkan..."
"Ini tidak sulit kalau kau mempelajarinya dengan serius, Bos," jawab Louis sambil tersenyum kecil. Ia kemudian membuka buku lain dan menyodorkannya kearah Garka. "Sekarang, kita akan belajar dasar-dasar pengelolaan keuangan. Aku harap kau fokus karena ini lebih sulit dari sebelumnya."
"Semangatlah," ucap Garka sebelum berbalik pergi, meninggalkan Garka yang ekspresinya jelas membutuhkan bantuan.
Kantor pribadi Leon berada di lantai atas. Berbeda dengan hiruk pikuk lantai bawah, ruangan ini elegan dan minimalis: dinding hitam matte, rak buku dengan lampu temaram, dan jendela lebar yang menatap jalanan Distrik Orvelle.
Dua anak buahnya terlihat sedang mengepel lantai di depan ruangan Leon. Begitu melihat kedatangan Leon, mereka buru-buru berdiri tegak dan menyapanya dengan penuh hormat.
“Kalian,” ujar Leon singkat, suaranya berat. “Bawakan sebotol sampanye ke ruanganku, sekarang.”
“Siap, Bos!” jawab keduanya serentak.
Begitu Leon memasuki ruangannya dan pintu tertutup, kedua anak buah itu saling pandang.
“Bos Leon… agak berbeda hari ini, ya?” bisik salah satunya.
“Benar. Biasanya dia tidak pernah minum sendirian.”
“Apapun itu, jangan banyak tanya. Ayo kita ambilkan saja.”
Mereka segera melangkah pergi menjalankan perintah Leon.
Sedangkan di dalam ruangan, Leon menjatuhkan dirinya ke sofa panjang berlapis kulit hitam. Ia menyandarkan kepala, menutup mata sejenak, membiarkan keheningan menelan pikirannya.
Tiba-tiba, bayangan pertemuannya dengan Edward kembali melintas di pikirannya. Terutama—ucapan Edward: "Kakak kandungmu, Julius Vargas… masih hidup."
Ucapan itu menggema lagi di kepalanya, seakan menusuk lebih dalam setiap kali ia mencoba melupakannya. Julius. Kakaknya yang telah lama hilang.
Leon menggenggam ujung sofa, jemarinya mengepal keras. Ia tidak pernah benar-benar percaya kabar itu. Tapi Edward bukan orang sembarangan.
Ia ingat jelas percakapan mereka. Edward menatapnya dengan mata prihatin.
“Aku tidak terlalu mengenalmu, Leon. Tapi aku kenal baik kakakmu, Julius. Kami dulu… bisa dibilang berteman baik. Julius selalu bercerita tentangmu, tentang bagaimana kalian tersiksa karena keluarga D’Arvenne. Itu sebabnya aku ingin bicara denganmu.”
Leon saat itu hanya diam, menimbang setiap kata. Edward melanjutkan dengan suara yang lebih berat.
“Beberapa bulan lalu aku mengunjungi Tianxia. Belum lama keluar dari bandara, seseorang mencuri koperku tepat di depan mataku. Pengawalku berhasil menangkap pencurinya, dan ternyata dia adalah Julius. Kakakmu, sekaligus teman yang kukenal.”
Leon membuka mata, menatap kosong ke langit-langit ruangan. Napasnya dalam.
Edward mengatakan Julius tampak berbeda. Kurus, kasar, matanya dipenuhi luka dan dendam. Entah lupa atau sengaja, Julius sama sekali tidak mengenal Edward. Bahkan saat Edward mencoba mengajaknya bicara, Julius langsung memukul wajahnya dan kabur begitu saja.
Kata-kata itu berputar-putar di kepala Leon, mencabik-cabik ketenangan yang baru saja ia temukan semalam.
Leon menutup mata lagi. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Leon akhirnya menemukan kebenaran tentang kakaknya.
"Julius… kau benar-benar masih hidup?" gumam Leon.
Pintu berderit pelan saat dua anak buah Leon kembali sambil membawa nampan perak dengan sebotol sampanye premium dan gelas kristal bening.
Mereka meletakkannya di meja, menunduk hormat sebelum segera mundur tanpa banyak bicara.
Leon membuka matanya, lalu bangkit perlahan. Dengan satu gerakan ringan, ia membuka tutup botol itu tanpa suara letupan berlebihan—jarinya terampil, seolah membuka senjata yang sudah akrab di tangannya.
Cairan keemasan dituangkan ke dalam gelas, berkilau di bawah lampu redup ruangan. Ia mengangkat gelas, menatap buih-buih yang naik ke permukaan, lalu meneguk perlahan.
Rasa segar yang menusuk lidah tak bisa menyingkirkan pikiran yang berputar di kepalanya.
“Tianxia, ya…” gumam Leon lirih.
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄
ternyata sang komandan telah mengenal leon
ah, leon akhir'a dpt sekutu