Winda Happy Azhari, seorang penulis novel yang memakai nama pena Happy terjerumus masuk bertransmigrasi ke dalam novel yang dia tulis sendiri. Di sana, dia menjadi tokoh antagonis atau penjahat dalam novel nya yang ditakdirkan mati di tangan pengawal pribadinya.
Tak mampu lepas dari kehidupan barunya, Happy hanya bisa menerimanya dan memutuskan untuk mengubah takdir yang telah dia tulis dalam novelnya itu dengan harapan dia tidak akan dibunuh oleh pengawal pribadinya. Tak peduli jika hidupnya menjadi sulit atau berantakan, selama ia masih hidup, dia akan berusaha melewatinya agar bisa kembali ke dunianya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap Alex
Ivana merasakan getaran di tulang punggungnya, tetapi tetap tegar, menatapnya. Elizabeth membuka kipasnya dan menutupi separuh wajahnya, sambil mengipasi dirinya sendiri.
"Ya ampun, kau telah mengotori gaunku yang begitu indah," ucap Elizabeth dengan tenang, tanpa memutuskan kontak mata saat dia berjalan mendekati Ivana, selangkah demi selangkah.
"Itu cuma kecelakaan, kamu mau memaafkanku, kan?" Ivana tersenyum, meletakkan tangannya di pipinya sambil menambahkan, "Lagipula, kamu kan dulu sahabatku."
Elizabeth bersenandung.
"Memang kita pernah berteman-"
Dia berhenti pada jarak yang cukup jauh di antara keduanya.
"Aku akan memaafkanmu untuk kali ini dan terakhir kalinya. Namun..."
Dalam sekejap, Elizabeth menutup kipasnya rapat-rapat dan tiba-tiba dia berada di atas Ivana yang terduduk di tanah. Kipas itu menggesek kulit leher Ivana. Wajah Ivana memucat saat dia menyadari apa yang telah terjadi.
Para wanita di sekitar mereka menjerit kaget, tetapi mereka tak bisa bergerak. Para pelayan di sekitar mereka juga tak berani bergerak. Udara terasa dingin dan mengancam. Elizabeth mencondongkan tubuh dan berbisik di telinga Ivana seperti iblis yang duduk di bahunya.
"Jika kau melakukan hal seperti itu atau bahkan mencoba menyakitiku, ingatlah bahwa aku dapat dengan mudah menghancurkan hidupmu." Ucap Elizabeth.
"Omong kosong apa yang kau katakan?!" Teriak Ivana dengan marah, rahangnya menegang dan tubuhnya tanpa sadar gemetar di bawah Elizabeth.
Elizabeth terkekeh, membuat Ivana semakin takut.
"Kau tidak ingin orang-orang tahu kalau kau bukanlah putri dari keluarga Dominic yang sebenarnya, kan?" Ucap Elizabeth.
Wajah Ivana semakin pucat, tenggorokannya tercekat.
"Bagaimana..."
"Tentu saja aku tahu. Aku dulu sahabatmu, ingat?" Elizabeth berkata dengan nada lembut.
Elizabeth merasakan Ivana semakin gemetar. Sambil mengetuk-ngetukkan kipasnya di bibir, ia melanjutkan ucapannya.
"Tuan dan Nyonya Dominic kehilangan putri mereka ketika dia baru berusia empat tahun karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Jadi mereka membawamu ke rumah mereka sebagai pengganti putri mereka, kau seorang yatim piatu."
Elizabeth terkekeh lagi, menepuk-nepuk pipi Ivana pelan seolah menghiburnya.
"Tenang saja, aku tidak akan memberi tahu siapa pun tentang ini. Hanya kau dan aku yang tahu informasi ini, jadi kalau kau coba-coba menggangguku, kau tahu akibatnya, kan?" Ucap Elizabeth.
Elizabeth lalu berdiri dan menepuk-nepuk tubuh Ivana. Dia menoleh ke arah para wanita lain dan tersenyum, mengangkat jarinya ke bibir, membungkam mereka semua sebelum meninggalkan pesta teh.
"Kembali ke rumah," kata Elizabeth sambil membuka pintu kereta sendiri.
Sang kusir menatapnya tanpa berkata apa-apa, mengikuti perintahnya, dan membawanya kembali ke rumah.
Elizabeth mendesah, memandangi gaun dan rambutnya. Kotor dan berantakan. Meskipun dia tampak tenang selama ini, dalam hatinya dia sudah mengumpat semua orang di pesta teh, tidak menginginkan apa pun selain menampar mereka atau meninggalkan pukulan telak di wajah mereka.
Saat ini, Elizabeth hanya ingin berendam air hangat yang lama dan nyaman untuk menghilangkan rasa lengket yang dia rasakan.
Turun dari kereta, dia masuk ke dalam rumah sambil mendengar gumaman para pekerja yang sedang bekerja saat dia kembali.
Elizabeth melihat Alex berjalan ke arahnya dengan langkah lebar. Dia tersenyum lega dan melambaikan tangan.
"Alex, bisakah kau siapkan bak man..."
"Nona, apa yang terjadi pada Anda? Kenapa Nona basah kuyup karena teh?" Tiba-tiba dia memotong ucapan Elizabeth dan menggenggam tangannya.
Alex tidak pernah sekalipun memotong ucapan Elizabeth sebelumnya, jadi ketika dia melakukannya, Elizabeth menatapnya, bingung dengan perilaku tiba-tiba Alex, tetapi dengan patuh menjawabnya.
"Nona Ivana menumpahkan teh padaku, aku sudah memaafkannya dan aku yakin dia akan berhati-hati lain kali," kata Elizabeth santai seolah itu bukan masalah besar.
Itu sebenarnya bukan masalah besar baginya, dan dia sudah mengancam Ivana dengan cukup keras, jadi Ivana tidak akan bisa berbuat apa-apa padanya dalam waktu dekat.
Alex mengerutkan kening.
"Apakah para pelayan tidak menyediakan handuk atau serbet untuk membersihkan diri Nona?" Tanya Alex.
"Tidak. Aku hanya punya sapu tangan untuk membersihkan wajahku." Jawab Elizabeth.
Kerutan di wajah Alex semakin dalam, tetapi Elizabeth menepisnya. Yang dia inginkan sekarang hanyalah mandi air hangat. Hanya itu yang ada di pikirannya.
"Tolong siapkan air mandi hangat untukku, aku merasa lengket." Ucap Elizabeth.
Alex berdiri di sana sejenak sebelum melepaskan pegangannya pada tangan Elizabeth.
"Dimengerti, Nona." Balas Alex.
Dia membungkuk dan menuju ke kamar mandi.
Beberapa aaat kemudian, Elizabeth duduk sendirian di bak mandi, otot-ototnya yang tegang akhirnya rileks saat tubuhnya terendam air hingga leher. Para pelayan sudah pergi setelah selesai memandikannya.
Sekembalinya ke kamar, jubah mandinya terlilit erat dan handuk menutupi kepalanya. Dia duduk di depan cermin dan mulai mengeringkan rambutnya ketika sepasang tangan kokoh menyentuh kepalanya.
Dia terlonjak, tetapi tak terlihat oleh mata. Dia pikir dia satu-satunya orang di kamarnya, mengira Alex sedang sibuk melakukan hal lain setelah dia selesai mandi.
Dia mengangkat tangannya dari handuk, lalu membiarkan Alex mengeringkan rambutnya dan menyisirnya. Dalam keheningan, Alex berbicara.
"Kenapa kau biarkan dia menuangkan teh padamu?" Tanya Alex, kini bicaranya kurang sopan karena hanya mereka berdua.
Mendengar nada bicaranya, Elizabeth merasa lebih rileks. Setiap kali dia menggunakan nada sopan, rasanya mereka sangat jauh, tetapi ketika dia tidak melakukannya dan malah menggunakan nada yang kurang sopan, rasanya lebih ramah, yang lebih disukai Elizabeth.
"Itu sudah diduga akan terjadi. Aku memang banyak memprovokasinya di pesta teh." Ucap Elizabeth.
Dia mengangkat bahu. Alex tidak menyukai jawaban yang diberikannya dan berbicara lagi.
"Kalau begitu, kamu seharusnya menghindarinya."
Elizabeth menatap Alex melalui cermin dan tertawa kecil.
"Jika aku melakukan itu, aku tidak akan bisa membungkamnya selamanya." Ucap Elizabeth.
"Apa maksudmu?" Tanya Alex.
Elizabeth mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.
"Aku hanya memberitahunya bahwa aku tahu dia adalah pengganti putri kandung dari keluarga Dominic. Jadi, jika dia mencoba melakukan sesuatu lagi lain kali, dia tahu apa yang akan terjadi." Ucap Elizabeth.
"..."
Tangan Alex berhenti menggerakkan handuk.
"Alex?"
"Aku senang berada di pihakmu." Ucap Alex.
Elizabeth tertawa, menganggap pernyataan Alex lucu. Dia menyeka air matanya karena tertawa berlebihan dan kali ini menoleh ke Alex. Wajah Alex menunjukkan bahwa dia tidak bercanda, tetapi Elizabeth tak kuasa menahan tawa kecil yang keluar dari mulutnya.
"Jangan khawatir, aku tidak akan pernah menyakitimu." Ucap Elizabeth.
"Aku khawatir bahwa aku tidak percaya padamu." Balas Alex.
"Itu menyakitkan, Alex!" Seru Elizabeth.
Tawa lembut menggema di telinga Elizabeth. Terdengar merdu hingga jantungnya berdebar kencang oleh tawa lembut itu. Dia menoleh ke arah Alex yang tertawa. Matanya berbinar-binar, menarik lengan baju Alex.
"Apakah kamu baru saja tertawa?" Ucap Elizabeth.
Bersambung...