Di tengah masalah pelik yang menimpa usaha kulinernya, yang terancam mengalami pengusiran oleh pemilik bangunan, Nitara berkenalan dengan Eros, lelaki pemilik toko es krim yang dulu pernah berjaya, namun kini bangkrut. Eros juga memiliki lidah istimewa yang dapat membongkar resep makanan apa pun.
Di sisi lain, Dani teman sedari kecil Nitara tiba-tiba saja dianugerahi kemampuan melukis luar biasa. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah belajar melukis. Paling gila, Dani tahu-tahu jatuh cinta pada Tante Liswara, ibunda Nitara.
Banyak kejanggalan di antara Dani dan Eros membuat Nitara berpikir, keduanya sepertinya tengah masuk dalam keterkaitan supernatural yang sulit dijelaskan. Keterkaitan itu bermula dari transfusi darah di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OMIUS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Ketujuh
Pertama kali aku bersua dengannya ketika tengah menyambangi RM. Sambal Kejora. Belum layak disebut pelanggan tetap, namun karena lahir dan tinggal di Kota Bogor aku tentu tak asing dengan rumah makan yang dikelolanya.
Beberapa kali sempat mencicipi menu yang disajikan di rumah makannya, namun tak sekalipun aku berkesempatan bersua dengannya. Selalu saja para pelayan rumah makan yang menemuiku. Baru di hari itu aku akhirnya didatangi olehnya.
Bermula ketika aku dikecewakan oleh pelayan yang menerangkan, Sambal kecap nirmala pesananku sudah tidak tersaji lagi, malahan telah dicoret dari daftar menu. Sedangkan dari sekian banyaknya aneka sambal yang menjadi ciri khas rumah makan ini, sambal kecap nirmala adalah favoritku.
Bukan dikarenakan menyesuaikan menu utama pesananku semisal ikan bakar, sehingga sambal kecap nirmala wajib tersedia untukku, melainkan karena citra rasanya yang memang menggairahkan lidahku.
Mengherankan memang, hanya karena sajian menu sederhana berupa sambal saja otakku sampai mengeluarkan fatwa, tiada pernah didapatkan nikmat di RM. Sambal Kejora tanpa sambal kecap nirmala.
Aku sampai menggerutu karena pelayan tidak dapat menjelaskan padaku, penyebab sambal kecap nirmala sampai harus dicoret dari daftar menu. Sementara belasan menu sambal lain, yang juga menjadi ciri khas RM. Sambal Kejora masih tersedia di daftar menu.
“Maaf ya, Kak, sambal kecap nirmala tidak lagi tersaji dari daftar menu kami. Dikarenakan kecap yang kami gunakan sudah tidak diproduksi lagi.”
Rupanya gerutuku sempat didengar olehnya. Kebetulan dia tengah berada di dekat meja makan yang didudukiku. Langsung dia menyambangiku, lalu menjelaskan perihal sambal kecap nirmala yang tengah mengecewakanku. Aku sendiri tengah tidak seorang diri, namun didampingi seorang perempuan molek yang waktu itu masih berstatus istriku.
Kala disambanginya posisiku tengah duduk di kursi makan, sementara dia sendiri berdiri di sampingku. Bukan sepasang bibir tipisnya yang tengah berkata-kata, sampai-sampai menjadi fokus perhatianku saat aku menoleh ke arahnya, melainkan dagu panjang miliknya.
Aku terpana melihatnya. Kiranya ada dagu yang semenawan itu menempel di wajah seorang perempuan. Sudah tampak artistik karena bercelah, dagu itu masih juga dipermanis oleh tahi lalat kecil.
Hanya paras bidadari penghuni Kayangan yang boleh dilengkapi dagu seindah itu, hingga aku spontan berpendapat seperti ini. Sewaktu dia berucap, dagu itu malah terlihat bak penari latar yang tengah mengiringi penyanyi, melenggak-lenggok mengikuti gerak bibirnya.
Lantas aku berpikir, jika tengah berkata saja dagunya sudah sedemikian mengilaunya, terbayang seperti apa indahnya saat bibirnya melengkungkan senyum.
Wajar bila aku menyandingkannya dengan dagu bidadari. Kala dagu miliknya berkalung senyum, aku hanya melihatnya laksana sebagus-bagusnya panorama dunia. Usai berucap, dia tadi sempat melengkungkan bibirnya untukku.
“Kamu dengar, Ros! Tak perlulah terus menggerutu, pesan sambal lain saja!” seru Melani, istriku. Kelihatannya dia tahu kalau suaminya tengah terjerat pesona keindahan sebuah dagu.
“Memangnya kalau pakai kecap lain enggak bisa, Mbak?”
“Bisa sih bisa, Kak, cuma rasanya kayak sambal kecap biasa. Daripada mengecewakan pelanggan, kami memutuskan tidak membuatnya saja. Kami sangat menjaga kualitas citra masakan.”
“Kecap merek apa sampai diproduksi lagi?”
“Bukan kecap pabrikan terkenal, cuma kecap industri rumahan saja asal Indramayu. Kakak pasti senyum-senyum dengar nama mereknya, Kecap Buntut Ikan.”
“Lumayan lucu didengar. Di pasaran sudah tersedia lagi?”
“Kecapnya sejak dulu langsung didrop dari Indramayu. Tapi, sudah setahun lalu kecapnya tidak diproduksi lagi. Jadi enggak bakalan lagi tersedia di pasaran.”
“Apa ada sedikit saja tersisa kecapnya di sini, soalnya saya sudah ketagihan kecap sambal nirmala.”
“Sekali lagi saya mohon maaf, cuma botolnya saja yang masih tersisa, sedang kecapnya sudah enggak ada.”
“Pastinya ada dong sisa-sisa lumuran kecap yang nempel di botolnya.”
“Ada sih ada, cuma untuk apa? Enggak bakalan cukup buat bikin sambal kecap.”
“Bukan buat bikin sambal kecap, tapi buat saya cicipi rasa kecapnya.”
Tentu saja dia heran dengan rencanaku.
“Tara, lakiku ini punya lidah istimewa! Begitu kecapnya dijilat, seketika itu juga resep pembuatannya bakalan ketahuan.”
Aku sampai lupa kalau istriku kenal dengannya. Malah Melani yang di hari itu mengajakku datang ke RM. Sambal Kejora. Hanya saja antara istriku dengannya sepertinya sedang tidak terjalin relasi yang bagus. Terbukti keduanya tak lantas seketika bertegur sapa kala tadi bertemu. Keduanya malah lebih memilih saling dingin bersikap
“Sorry, aku enggak paham maksudmu.”
“Lidah lakiku bukan sembarang indera pengecap, tapi bisa membongkar unsur-unsur pembentuk rasa lewat dijilat saja.”
Dia malah mengerutkan kulit dahinya.
Mengerti kalau lipatan di kulit dahinya adalah pertanda dirinya tengah mempertanyakan, lekas aku bertutur kepadanya. Adalah benar bila lidahku memang seistimewa yang dikatakan istriku. Lidahku mampu membedah bahan-bahan pembentuk aroma dan cita rasa, termasuk juga proses pembuatannya. Semua itu dapat kuketahui cukup lewat satu langkah simpel, mengecapnya lewat ujung lidahku.
Detail sekali lidahku menjabarkan bagaimana sebuah rasa dibuat. Apakah itu menggunakan proses penyulingan, fermentasi, pendinginan, atau proses lainnya. Jika prosesnya menggunakan pemanasan maka lidahku akan mengetahui temperatur yang dibutuhkan, serta lama waktu pemanasannya. Bahkan jika proses pemanasannya menggunakan tungku kayu bakar, lidahku masih mampu menebaknya.
Tak masuk akal memang, tapi begitulah nasib semua masakan begitu dijilat lidahku. Segala resep rahasia akan berakhir saat bersinggungan dengan indra pengecapku. Semuanya bakalan menampak begitu saja di dalam isi kepalaku.
Kendati sedemikian istimewanya lidahku, namun tetaplah aku tunduk pada keterbatasan, khususnya saat bersinggungan dengan zat-zat kimia. Contohnya pada obat-obatan. Bukan berarti lidahku tak mampu mengurainya, melainkan lebih pada ketidaktahuanku akan nama-nama komposisi zat kimianya.
Karena terus didesakku, dia akhirnya bersedia membawakan satu botol kecap merek Buntut Ikan padaku. Memang tinggal botolnya saja. Meski begitu lumuran kecap yang masih tampak menempel di botol, menurutku sudah lebih dari cukup untuk sekedar sampel eksperimen lidahku.
Mengoles telunjukku yang dimasukkan ke dalam mulut botol dengan sisa-sisa lumuran kecap, selanjutnya ujung lidahku mulai mengecapnya.
Membongkar rahasia kelezatan sebuah kecap bukan pengalaman pertamaku. Malahan sudah lima kali aku melakukannya. Begitu ujung lidahku mengecap kecap di telunjukku, hanya butuh tiga belas detik saja bagi otakku untuk menelaah.
“Kecap Buntut Ikan menggunakan kedelai hitam, gula nira, upon-upon ...,” ujarku, menyebut bahan-bahan pembuat kecap. Memang hampir sama pada umumnya. Sementara dia sendiri merekamnya lewat kamera video ponselnya.
“Enggak ada yang spesial ternyata bahan-bahannya.”
“Mbak pernah buat kecap?”
“Pernah. Malah bahan-bahan yang Kakak sebut tadi saya pakai juga. Tapi, hasilnya beda.”
“Yang bikin rasa kecapnya jadi superlegit lebih pada proses fermentasinya. Waktunya lebih lama dari umumnya, 105 hari.”
“Selama itu?”
“Memang harus selama itu, enggak boleh kurang apalagi lebih! Sudah begitu kedelai hitam yang difermentasi wajib disimpan dalam gentong berbahan tanah liat. Tidak boleh bahan lain karena berpengaruh pada rasa.”
“Pantas rasanya beda. Saya malah menyimpannya dalam ember plastik.”
“Waktu proses fermentasi harus pakai ragi tempe.”
“Kebetulan sekali saya biasa buat ragi tempe.”
“Tapi, bahan bakunya tempe yang sudah lama belum diolah, atau hampir busuk.”
“Tempe bosok maksudnya.”
“Ya, tempe bosok,” sahutku, membenarkannya, “satu lagi, air untuk mencuci dan merendam kedelai tak boleh pakai air kran, atau ledeng. Mesti air sumur, atau air tanah yang bersih bahan kimia.”
“Benar juga, air ledeng pastinya mengandung kaporit,” timpalnya, “terima kasih Kakak atas rahasia kecapnya. Nanti akan saya praktikkan.”
“Empat bulan lagi kalau saya datang kemari, sambal kecap nirmala sudah harus tersedia di daftar menu.” Bukan hanya mengingatkannya, aku pun mengulang menyebut bahan-bahan pembuat kecap yang tadi disebutkanku, termasuk takarannya juga.
Momen jumpa pertamaku dengan Nitara, si pemilik dagu indah akhirnya berakhir. Hingga kembali ke rumah kilau dagu indahnya tetap saja membayang-bayang dalam benakku. Benar-benar aku terpukau. Uniknya, istriku yang tahu kalau suaminya tengah tergila-gila pada dagu seorang wanita malah bersikap masa bodoh. Malas memikirkannya, apalagi sampai harus mencemburuiku.
Kalau mau jujur berkata, paras perempuan dengan potongan rambut layer sebahu itu sebenarnya masih dalam taraf biasa-biasa saja. Masih kalah menggemaskan dari paras istriku. Walau tak kalah sintal, namun lekak-lekuk tubuh istriku jauh lebih menonjol dibandingkan tubuhnya. Terlebih Melani gemar sekali mengenakan pakaian superketat.
Tetapi, dagu indah Nitara telah menghapus segala kelebihan ragawi istriku. Ibarat mahkota yang disematkan, dagu indahnya sukses menyulapnya selayaknya maharani nan anggun rupawan. Subyektif memang, tapi memang seperti itulah penilaianku saat ini, Nitara lebih memikat dibandingkan istriku.
Dua bulan setelah momen pertemuan perdanaku dengannya, aku dan istriku sepakat bercerai. Sebelumnya pernikahan pertamaku juga berakhir dalam perceraian. Padahal seorang balita laki-laki sudah dihasilkan dari pernikahan pertamaku. Berbeda dengan pernikahan keduaku, selain terbilang singkat, yakni setahunan saja, Melani juga enggan memberiku keturunan.
Simpel saja alasan kami memilih bercerai saja. Melani rupanya berselingkuh dengan pria lain. Akan tetapi, seperti halnya sikapnya yang masa bodoh saat mengetahui suaminya mulai tertarik pada perempuan lain, aku pun memilih bersikap yang sama. Enggan peduli dengan perselingkuhannya.
Dulu aku menikahi Melani bukan lantaran dorongan cinta. Hanya faktor apes, atau mungkin karena kepolosanku yang gampang dibodohi perempuan molek macam dirinya. Kala itu aku benar-benar diperdaya olehnya. Begitu bodoh diriku yang sampai dapat dikondisikan tengah tidur bersama dengannya. Padahal Melani waktu itu masih berstatus istri orang. Setelah meminta cerai pada suaminya, Melani langsung mendesakku untuk menikahinya.
Kuputuskan untuk menikahi Melani saja. Sekali lagi, kemolekan tubuhnya menjadi faktor utama menjadikannya sebagai istriku. Kendati demikian aku punya harapan, seiring berjalannya waktu daya tarik utamanya itu akan menghadirkan cinta.
Lacur, sampai aku malah terpikat pada kilau dagu seorang perempuan, kehidupan pernikahanku keduaku lebih parah dibanding sebelumnya. Memang tiada drama, apalagi cekcok rumah tangga, namun pernikahanku dengannya selayaknya angin berhembus saja, sekedar berlalu tanpa meninggalkan kesan.
Begitu lancar proses perceraian kami. Kembali tiada drama macam rebutan harta gono-gini yang berlebihan, apalagi sampai menoreh luka di hati kami berdua. Aku sendiri mengibaratkan perceraian kami dengan perjanjian bisnis yang telah kadaluarsa, selesai begitu saja. Masing-masing pihak lalu berjalan sendiri-sendiri, mencari mitra bisnis yang baru.
o7o