Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.
Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.
Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Penuh Intrik
Hidup Kenziro selama satu tahun terakhir tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan. Hidupnya terus begini-gini saja. Kadang ia jenuh, harus bagaimana lagi?
Padahal skill punya, tapi aneh uang yang seharusnya tiap hari bertambah malah berkurang. Dia juga pasti tetep kerja walaupun bukan pekerjaan tetap karena tiap mulai usaha baru selalu gagal dengan banyak alasan yang menurutnya kecil tapi masuk akal dan berpengaruh.
Selama ini yang kerja tetap malah Lyodra.
Itu malah membuatnya merasa minder dan berkecil hati. Apalagi ketika dunia terasa mencekiknya dengan kesunyian dan berisik dikepala.
Terlebih Lyodra semakin hari semakin sibuk dengan pekerjaannya.
Kenziro semakin menjadi orang tertutup dan tempramental. Mungkin merasa dirinya tidak dimengerti, dikucilkan bahkan direndahkan oleh ibu mertuanya. Karena di anggap mokondo, cuman mau numpang hidup.
Sampai dituduh selama ini yang berkerja keras itu Lyodra sampai perusahaan itu berdiri, lalu dirinya hanya bisa nyuruh. Padahal bukan, ia juga berperan penting disana.
Dunia itu kenapa sih?
Kenziro duduk di pinggir trotoar membawa amplop coklat berisi lamaran pekerjaan. Belum ada juga panggilan atau bahkan dirinya dilirik. Seperti rasanya ingin membakar ijazah nya saja, karena hidup itu tidak semudah yang ia bayangkan.
Disaat semua orang pergi hanya Berlin yang mampu menguatkan bahunya. Dia bilang kalau memang pernikahan itu banyak ujiannya. Tapi ini kebanyakan!
Kenziro rasanya gak sanggup, dia sampe malu buat tinggal sama Lyodra dirumah orang tuanya jadi memilih tinggal bersama Berlin saja. Karena mau ngekost dilarang.
Debar di dadanya kian menjadi. Matanya menatap orang berlalu lalang di jalanan. Apa dia lanjut jadi driver sebagai sampingan?
Sebetulnya Kenziro bukan orang gengsian. Dia mampu melakukan pekerjaan apapun asalkan halal tapi yang ribet itu Merin. Katanya malulah dari CEO besar masa jadi tukang ojek online.
Malulah masa menantunya ini itu, jadinya biar Merin gak malu, Kenziro suka diam-diam.
Padahal Berlin sendiri juga gak mempermasalahkan.
Ketika Kenziro punya ide jualan yang sedang viral, malah di tertawakan oleh Radja. Seakan semua keputusannya itu salah.
Pokoknya dia bener-bener hidup dalam tekanan selama setahun ini.
Dan kini hanya duduk diam merutuki diri sambil mengingat apa dosanya sampai semua ini datang silih berganti.
Tak lama handphone nya bergetar, Berlin mengirimkan pesan untuk pulang dulu makan siang.
Sontak ia tersenyum lembut. Meskipun dunia keras, ternyata selama masih ada ibu, itu lebih dari cukup. Akhirnya ia segera bersiap pulang, ternyata ibu lebih penting dari segalanya.
"Mama maafin Ken ya," ucapnya dengan suara bergetar. "Kayaknya Ken gagal bikin mama bangga apalagi bikin Mama bahagia."
Berlin menarik kursinya untuk duduk menemani anaknya makan siang. "Engga. Kamu gak gagal, mama bangga punya kamu sama Lyly. Mama gak pengen di kasih apapun sama kamu, bisa ditemenin hidup aja seneng. Sekarang mungkin kamu susah cari loker tapi Mama yakin, semua badainya bisa dilewatin asalkan kamu kuat. Mama selalu doain, kamu juga minta sama istri kamu buat ikhlas doain kamu. Terus sekarang gimana kamu sama Lyly, kalian udah lama pisah rumah, gak baik tau, kalian berantem?"
"Engga, cuman mamanya gak bolehin Lyly kesini," jawabnya sambil menghela napas berat.
"Kamu mau nyusul kesana? Gapapa kok Mama sendiri, tapi sesekali main ya."
Kenziro jadi tak tega meninggalkan ibunya sendiri kalau begini.
...--✿✿✿--...
Di dekat jendela besar, Merin berdiri tegap, tatapannya menusuk. Di belakangnya, seorang wanita muda berpakaian hitam rapi tengah menunggu, nyaris menunduk tapi aura ketegasan Merin membuatnya seakan menahan napas.
"Bagus," suara Merin dingin, serak tapi mematikan. Senyum miring menghiasi wajahnya, tapi tak ada kehangatan di sana. "Saya suka caramu bermain. Jangan biarkan dia diterima di kantor manapun. Bahkan jika jasanya sangat dibutuhkan. Mengerti?! Jangan sampai satu celah pun tersisa atau kamu tau akibatnya, Zee."
"Ya, Nyonya… Perintah akan saya jalankan," jawab wanita itu, nada suaranya tegang.
Merin menoleh perlahan, menatap ruang kosong di depannya seperti menilai dunia. "Biarkan dia kehilangan pekerjaan. Biarkan setiap usaha yang dia mulai runtuh. Jangan biarkan secercah harapan pun tumbuh. Aku ingin dia merasakan kegagalan, kerapuhan, ketidakberdayaan… sampai Lyodra meragukan pilihannya sendiri."
Di hadapan Kenziro, Merin bisa bersikap lembut, menyemangati, bahkan berpura-pura peduli saat ia bangkrut. Tapi di balik senyum itu… tersimpan setan yang menunggu waktu yang tepat untuk menancapkan taringnya.
Setiap keputusan keluarga terutama anaknya, Merin yang pegang erat. Dia mengatur langkah mereka seolah bidak catur. Kekuasaannya mutlak, kendali penuh, dan siapa pun yang mencoba menentangnya… akan hancur perlahan, tanpa ampun.
Di sudut ruangan, bayangan Merin seolah menelan cahaya. Ia bukan hanya ibu. Ia ratu intrik yang menakutkan, dan dunia di sekitarnya hanyalah panggung untuk kekuasaannya.
Lyodra sempat menduga Merin telah berubah, menerima dirinya sepenuhnya, mendukung setiap keputusan meski salah sekalipun. Tapi kenyataannya… itu hanyalah trik psikologis yang lihai, permainan halus dari wanita itu, apalagi sejak suaminya meninggal karena sakit. Tidak ada lagi yang mampu menahan keserakahan dan keegoisannya.
Kenziro hanyalah pion dalam permainan itu, korban dari keangkuhan cinta dan ambisi tanpa batas.
Kini Merin duduk di sofa empuk, tubuhnya rileks, senyum tipis tersungging di bibir. Di depannya, Zee menunggu, penuh hormat.
"Tidak perlu menyakitinya," kata Merin, suaranya tenang tapi menusuk, seperti ucapannya bisa menembus tulang. "Cukup buat dia menyerah… goyah. Biarkan seluruh kesalahan berpindah sepenuhnya ke dia."
Zee mengangguk mantap. "Baik, Nyonya."
Senyum Merin melebar, dingin dan penuh kemenangan. Dunia di sekitarnya hanyalah bidak catur, dan semua orang… termasuk Kenziro, ada dalam genggamannya.
--✿✿✿--
Lyodra mendorong pintu kaca perlahan, ingin memberitahukan soal jadwal rapat Romeo siang ini. Tugasnya hanya mencatat jadwal harian atasannya, tapi tetap ingin memastikan semuanya tepat.
"Siang, Pak. Ada meeting dengan klien jam 1 siang," ucapnya sopan.
Romeo selama ini selalu profesional. Ia tidak pernah bertingkah aneh atau membuat Lyodra risih. Jadi cukup sebagai rekan kerja, tanpa ada nuansa lain. Mungkin karena ia tahu Lyodra sudah menikah.
Lyodra sendiri tidak ingin mencari masalah, dan hubungan profesional itu membuatnya merasa aman selama ini. Setelah menyampaikan jadwal, ia kembali ke ruangannya untuk melakukan panggilan video dengan Kenziro.
"Sayang, di sini lagi cari tim IT. Kamu coba lamar, ya!" serunya bersemangat.
"Iya, sayang. Makasih infonya. Aku sama Mama rencananya mau buka catering aja. Maafin ya, aku jadi nyusahin kamu terus," jawab Kenziro dari dapur, suaranya hangat tapi terdengar sedikit lelah.
Lyodra tersenyum, suaranya lembut tapi penuh kasih sayang. "Enggak apa-apa, sayang. Maaf ya aku jadi jarang ngerawat kamu. Tapi aku masih sayang kok. Aku lagi berusaha bantu ekonomi keluarga ini. Nanti habis ini kita nyicil rumah, biar kita bisa tinggal bareng. Gak apa-apa kamu masih belum kerja, yang penting aku lihat usaha kamu itu gigih, bukan malas-malasan."
Ia menambahkan, hampir berbisik, "Jujur ya… aku kangen banget sama kamu, suamiku."
Kenziro tertawa pelan. "Sama. Nanti aku ke rumah kamu, ya."
"Tunggu, jangan. Biarlah aku pulang ke rumah Mama kamu saja. Tunggu nanti, ya… I love you." Lyodra menutup panggilan sambil melambaikan tangan, sedikit sungkan tapi bahagia.
Di belakangnya, Romeo berdiri menunggu, menatap Lyodra yang baru selesai menutup panggilan. Ia berdehem, menandakan kehadirannya.
"Eh, Pak… maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya Lyodra, tetap tenang.
"Kamu bisa temani saya meeting siang ini? Tolong bawakan beberapa berkas juga," Romeo memerintah singkat.
Lyodra mengangguk. "Tentu, Pak. Ada lagi yang harus saya lakukan?"
"Tidak. Saya mau ke luar dulu ada urusan," katanya, lalu meninggalkan ruangan dengan langkah mantap.
--✿✿✿--
Di jalan, Romeo memegang kemudi dengan erat, jarinya menekan nomor Rania berulang kali. Panggilan tak dijawab. Lama-lama ditolak. Hingga akhirnya… diblokir.
"Rania… kamu maunya apa sih?!" gerutunya kesal, suara hampir pecah. Ia menginjak pedal gas dengan keras, matanya menatap lurus ke depan, penuh amarah.
Handphone di tangannya ia remas sampai jari-jari pegal. "Wanita sialan!" Ia menggeram, kesal murni, lalu menepikan mobil di depan kantor Kev.
Tanya ke karyawan di sana? Mereka hanya mengangkat bahu, bingung. Rania jarang muncul akhir-akhir ini atau lebih tepatnya, Aura telah mengganti panggilannya jadi Rania. Alasannya? Ia ingin melupakan Kev, agar suara saat Kev memanggil namanya tidak terus berputar di kepalanya.
Romeo membuka pintu ruangannya. Kosong. Sekali lagi ia menggeram. "Dia kabur lagi? Kenapa sih dia doyan banget kabur-kaburan, hah?"
Tebakan di kepalanya langsung membawanya ke satu tempat. Tanpa menunggu lagi, ia bergegas.
Rania… perempuan itu selalu merepotkan, dengan ulah di luar nalar. Kadang Romeo lelah. Ingin membuangnya saja.
"Rania!" teriaknya.
"Aurania!"
"Bitch!"
Ia berjalan cepat menyusuri lorong apartemen gelap, sepi, lantainya berserakan botol minuman dan plastik cemilan. Suasana lebih mirip kandang tikus daripada hunian manusia.
Romeo mengepalkan tangan, menyalakan lampu dengan kasar. Saat terang benderang di situ wanita yang ia cari tengkurap di atas kasur, mata merah, tangan memegang erat botol anggur.
"Rania! Dimana letak kewarasanmu? Kemana perginya akal sehatmu itu?!" Ia menjerit, jengkel, napasnya memburu, seolah seluruh kesabaran telah habis.
Kepalanya seketika pening. Aroma sampah yang menumpuk di seluruh sudut apartemen membuatnya mual. "Udah berapa hari kamu gak buang sampah? Kenapa bisa sebegitu joroknya!" gerutunya, tak habis pikir.
Rania mengangkat bahu, setengah menguap.
Romeo menegakkan diri, suaranya meninggi. "Kamu juga gak konsisten! Jarang masuk kantor, kerjaannya mabuk-mabukan, bahkan gak bisa rawat diri sendiri. Gimana kamu bisa urus aku?!" Ia menarik selimut dan melemparkannya ke keranjang. "Selimut sendiri aja bau apek begitu… udah berapa hari gak dicuci, Rania?!"
Tiada hari tanpa drama bila menyangkut wanita begajulan itu. Romeo hanya bisa menggeleng, napasnya memburu. Setiap kunjungannya ke apartemen ini selalu dipenuhi kekacauan.
"Bacot banget sih, suami idiot," Rania menjawab dengan suara parau, masih menunduk, enggan membuka mata.
Romeo melotot, menarik kaki Rania hingga ia terjatuh dari kasur. "Bangun! Sambut saya dengan baik, biar saya bisa menuruti keinginanmu!"
"Gila, hormat banget jadi orang. Ketimbang mau makan ya gofut, kalo mau minum ya ambil aja dari kran wastafel gue—gue belum ngisi galon," balasnya, nada tetap sarkastis.
"Mimpi apa saya bisa punya wanita seperti mu!" Romeo menggeram, jengkel.
"Mimpi basah," jawab Rania asal. "Lagian kita cuman kawin siri, gak usah ngarep. Itu kan kata lo? Cih… kemakan omongan sendiri. Mau gue urusin, tapi lo gak mau ngakuin gue istri lo."
Romeo duduk sebentar, menenangkan diri, lalu berdiri lagi. "Terus mau gini terus, hah? Kerjaannya mabuk, makan, tidur. Lalu yang urus perusahaan Kev siapa? Aku cuma minta setengah saham dari sana. Aku sudah bersikap adil… tapi kamu?"
"Gue modal ngangkang aja dapet duit, gak usah repot deh, suami sementara," jawab Rania datar, menatap tajam.
Romeo menggeram kesal, hampir meledak. "Kev… kenapa lo ngasih fosil unik itu ke gue?!"
Kemarahan Romeo memuncak, napasnya berat dan tangan mengepal. "Lo mau gue akuin sebagai istri di depan publik?! Tapi gimana gue mau kenalin lo sebagai istri rahasia gue ke depan keluarga gue, sementara rumah kecil aja lo gak bisa urus, Rania!"
Rania sudah sangat mengantuk. Ia meneguk minumannya, tapi Romeo menepisnya kasar, hampir membuat gelas itu terjatuh.
"Setahun gue tau lo, gue…" suaranya parau, mata hampir terpejam.
"Apa hah?!" Romeo menegakkan badan, tatapan menyala penuh amarah.
"Muak," balas Rania pendek, datar, tapi menusuk membuat udara di ruangan itu terasa panas dan sesak.
Romeo menatapnya, mulut mengeras, hampir tak percaya. "Muak? Muak sama gue?! Lo pikir gue main-main, Rania?"
Rania hanya menutup mata sejenak, menahan kantuk dan rasa jengkelnya sendiri. "Gue muak… sama semua drama ini. Sama lo, sama kehidupan lo, sama gue yang tiap hari harus ngurus orang gila kayak lo," katanya dingin, tapi tegas.
Romeo mendekat, wajahnya merah, amarah bercampur frustrasi. "Orang gila?! Lo berani bilang gue orang gila ke gue?!"
Rania membuka mata, menatap tajam. "Ya! Lo gak bisa ngatur gue, gak bisa bikin gue nurut sama aturan lo. Jadi ya… gue muak!"
Ruangan itu hening sejenak. Hanya terdengar napas berat keduanya, api emosi yang menyala, siap meledak kapan saja.
Romeo mengusap wajahnya gusar, ia benar-benar dibuat kalut. Tapi harus dipaksa sabar dan bertahan, menjadikan Rania mainan. "Gue ganti nama lo jadi Rania, berharap kelakuan lo berubah. Tapi ternyata lo malah jadi cewek paling pemalas."
"Lo kan larang gue keluyuran mulu yaudah gue dirumah, tapi tetep salah," keluhnya lalu berdiri dan menjatuhkan diri ke atas kasur.
Tangan Romeo terkepal ia mengeratkan rahangnya begitu kuat. "Rania dengarkan saya atau saya akan menikah lagi!"
"Anj*ng!" umpatnya kesal. "Berani lo? Gue potong aset lo!"