Cole Han, gangster paling ditakuti di Shanghai, dikenal dingin dan tak tersentuh oleh pesona wanita mana pun. Namun, semua berubah saat matanya tertuju pada Lillian Mei, gadis polos yang tak pernah bersinggungan dengan dunia kelam sepertinya.
Malam kelam itu menghancurkan hidup Lillian. Ia terjebak dalam trauma dan mimpi buruk yang terus menghantuinya, sementara Cole justru tak bisa melepaskan bayangan gadis yang untuk pertama kalinya membangkitkan hasratnya.
Tak peduli pada luka yang ia tinggalkan, Cole Han memaksa Lillian masuk ke dalam kehidupannya—menjadi istrinya, tak peduli apakah gadis itu mau atau tidak.
Akankah Lillian selamanya terjebak dalam genggaman pria berbahaya itu, atau justru menemukan cara untuk menaklukkan hati sang gangster yang tak tersentuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Di luar studio tempat Lillian bekerja, puluhan reporter berdesakan di depan pintu. Suara kamera dan teriakan pertanyaan bercampur riuh, mencoba menembus barisan petugas keamanan yang berdiri tegak menjaga pintu masuk.
“Lillian Mei, putri Tuan Mei, apakah ada di dalam sana? Kami butuh konfirmasi darinya! Banyak yang mengatakan Nona Mei adalah putri kandung Lucy Wen, selingkuhan Tuan Mei!” teriak salah satu reporter sambil mengangkat mikrofon tinggi-tinggi.
“Di sini dilarang masuk, tolong tertib!” balas petugas dengan tegas, mendorong mundur kerumunan.
Di dalam ruangan, suasana tak kalah tegang. Lillian berdiri di depan meja atasannya, wajahnya tenang meski dalam hatinya bergolak. Bosnya menatapnya dengan serius, nada suaranya berat penuh tekanan.
“Lillian, tiba-tiba saja gosip buruk muncul hari ini. Studio kita ikut terseret karena dianggap menampung anak selingkuhan. Apa pendapatmu tentang ini?” tanyanya, tangan mengetuk meja seolah menekankan bobot masalah.
Lillian menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara mantap, “Direktur, saya akan mengurusnya. Saya ingin memberikan klarifikasi. Mama saya bukan selingkuhan Papa. Mereka telah menikah secara resmi. Justru orang yang menyebarkan berita palsu ini akan saya tuntut dan ambil tindakan hukum.”
Direkturnya menatap Lillian beberapa detik, lalu mengangguk pelan. “Baiklah kalau begitu, saya serahkan saja padamu. Jangan sampai nama studio ini semakin tercemar.”
Selesai berbicara, Lillian berbalik. Di depan pintu, rekannya, Rebecca, sudah menunggunya dengan wajah cemas.
“Lillian, untuk saat ini jangan keluar dulu. Mereka semua mengincarmu,” bisik Rebecca sambil memegang lengannya.
“Menghindar sehari tidak akan bisa menghindar selamanya. Dalam kejadian ini harus ada yang keluar dan memberikan klarifikasi," jawab Lillian.
Rebecca menunduk, lalu menatap Lillian lagi dengan penuh kekhawatiran. “Perusahaan papamu juga terdampak buruk akibat berita ini. Siapa menurutmu yang tega melakukan hal seperti ini?”
Lillian mengepalkan tangannya, matanya meredup, penuh luka sekaligus amarah. “Hanya ada satu orang. Dia adalah Fuya… mama kandungku. Demi uang, dia rela menjual anaknya sendiri. Dan sekarang, dia rela mencemarkan nama baik Papa, Mama Lucy, bahkan aku, putrinya.”
Di luar studio, suasana makin gila. Mobil mewah Lucy baru saja berhenti ketika puluhan reporter langsung mengerubunginya, mikrofon dan lensa mengarah tajam seperti tombak. Sorak, teriakan, dan lampu kamera membuat udara terasa panas dan penuh tekanan.
“Lucy Wen, Anda berselingkuh dan menghancurkan rumah tangga orang! Bagaimana tanggapan Anda?” teriak salah satu reporter.
“Tuan Mei dan istrinya belum bercerai — bagaimana bisa Anda tega hidup mewah bersama suami orang?” tambah yang lain.
“Apa benar Lillian Mei adalah anak hasil perselingkuhan Tuan Mei?” suara reporter makin menusuk.
Supir pribadi Lucy mendorong mundur kerumunan, mencoba memberi ruang. Lucy turun dari mobil dengan langkah goyah, wajahnya pucat tapi berusaha tegar. Ia menahan napas, menatap mikrofon-mikrofon yang seolah siap menelannya hidup-hidup.
“Lillian tidak bersalah — jangan melibatkan dia. Dia anak yang baik dan bersih,” kata Lucy, suaranya berat, berusaha melindungi putrinya.
“Anak selingkuhan mana mungkin bersih? Anak laki-laki suami Anda dari istrinya malah terlantar!” sanggah salah satu penanya, nada menghina.
Tiba-tiba suara Lillian memotong hiruk-pikuk itu. Ia melangkah keluar dari studio, diapit rekannya Rebecca. Semua mata tertuju ke arahnya.
“Hentikan! Jangan menuduh mamaku!” seru Lillian lantang, suara tegasnya membuat beberapa reporter terkejut.
“Lillian!” panggil Lucy sambil melangkah maju, dibantu petugas keamanan dan supirnya yang setia.
“Ma, kenapa datang ke sini? Apa Mama tidak apa-apa?” Lillian mendekat.
“Tidak apa-apa, sayang. Mama tidak seharusnya menyusahkanmu. Lebih baik kau jelaskan semuanya, supaya mereka tak lagi menyeret namamu,” jawab Lucy cepat, nada penuh penyesalan.
Seorang reporter mendongak. “Jadi, Lillian Mei yang bekerja sebagai fotografer ini adalah anak hasil perselingkuhan? Tidakkah Anda malu?”
Lillian tidak mundur. Matanya menyala. “Apakah tugas seorang reporter hanya menuduh? Ada bukti konkret bahwa mama saya berselingkuh? Saya bisa tunjukkan bukti bahwa Mama dan Papa menikah secara sah.” Suaranya tegas, penuh keberanian. “Yang menyebar isu palsu akan saya proses secara hukum.”
“Siapa yang ingin kau tuntut? Kalau memang tidak benar, kenapa ada berita seperti ini?” tantang reporter lain, mencoba menekan.
“Akan ada proses hukum. Mohon kerja samanya, ini bukan urusan untuk dikonsumsi publik tanpa fakta,” jawab Lillian singkat.
Dari kejauhan, mobil Anthony melaju menuju studio. Supirnya melapor pelan. “Tuan, kerumunan semakin besar. Mereka menuduh Nyonya sebagai selingkuhan. Dan Nona adalah hasil dari perselingkuhan Anda dan Nyonya."
Anthony menegang saat mendengar penjelasan itu. “Tidak masuk akal. Fuya dan Andy pasti dalangnya. Lucy dan Lillian tidak bersalah,” gumamnya, wajahnya memucat tapi matanya tajam, bergegas turun dari mobil.
Kerumunan di luar studio berubah jadi amarah massa. Bukan hanya para reporter — beberapa warga ikut bergabung, berteriak menuntut pemecatan Lillian, pengusiran Lucy. Nada tuduhan berubah menjadi hasrat penghukuman.
“Tangkap! Usir dia! Pecat Lillian Mei!” seru seorang warga, suaranya bergema.
Di saat genting itu, sebuah mobil hitam berhenti mendadak di depan studio. Pria berjas hitam keluar, menghalau massa. Di belakangnya, langkah berat menghentak: Cole turun dari mobilnya. Ia melangkah dengan aura yang tak bisa diacuhkan — dingin, tegas, penuh otoritas. Para petugas keamanan langsung mengerem maju untuk memberi jalan.
“Siapa yang berani maju selangkah lagi, akan berhadapan denganku!” Cole bersuara, nadanya rendah namun keras menembus keributan. Semua yang ada di situ terdiam, seolah mendengar ledakan.
Para reporter menoleh, warga yang hendak maju ragu. Di antara kerumunan, beberapa orang mundur perlahan. Cole melangkah mendekat, matanya hanya pada Lillian.