Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Dua hari kemudian, setelah kondisi Khanza berangsur stabil, dokter akhirnya memperbolehkannya untuk pulang.
“Bu Khanza sudah boleh rawat jalan, tapi saya tekankan sekali lagi,” ujar dokter dengan nada serius.
“Banyak istirahat, jangan terlalu capek, dan jangan stres. Itu kunci agar tubuh bisa melawan penyakit ini.”
“Iya, Dok. Saya akan jaga diri.”
Yanuar yang mendampingi sejak awal mengucapkan terima kasih, lalu membimbing Khanza keluar dari rumah sakit.
Mobilnya melaju pelan menembus jalanan Bali yang ramai, hingga akhirnya berhenti di sebuah rumah kontrakan sederhana.
Rumah itu mungil, cat dindingnya masih baru, dan di depan ada pot bunga kecil yang ditata seadanya.
“Za, mulai hari ini kamu tinggal di sini,” ucap Yanuar sambil membantu Khanza membawa tas kecilnya.
Khanza menatap rumah itu dengan mata berkaca-kaca.
“Yan, kamu sampai repot nyiapin ini semua buat aku? Pasti kamu sudah mengeluarkan banyak uang."
“Za, aku nggak memperdulikan uang. Aku janji untuk menjaga kamu, kan? Jadi, ya aku harus buktiin.”
Setelah masuk, Khanza melihat suasana rumah yang bersih, ada kamar dengan tempat tidur baru.
Yanuar membantu menata bantal dan selimut, lalu berkata pelan.
“Mulai sekarang kamu butuh tempat tenang buat pemulihan. Kalau ada apa-apa, aku deket sini.”
Khanza duduk di tepi ranjang, tangannya membelai sprei baru itu.
Senyum tipis muncul, meski wajahnya masih pucat.
“Yan, aku berterima kasih banget sama kamu. Tapi, aku nggak mau cuma diam. Aku masih sanggup kerja. Aku harus cari pekerjaan di Bali.”
Yanuar langsung menoleh cepat, wajahnya khawatir.
“Za! Kamu serius? Kamu baru aja keluar rumah sakit. Dokter bilang kamu butuh istirahat.”
Khanza mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Yanuar.
“Aku tahu kondisiku, Yan. Tapi aku juga tahu kalau aku nggak bisa terus bergantung sama orang lain. Aku pengen tetap berdiri di atas kakiku sendiri. Aku masih bisa kerja, asal jangan terlalu berat.”
Yanuar terdiam, menatap mata Khanza yang penuh tekad.
Ada luka di dalamnya, tapi juga ada semangat hidup yang keras kepala.
“Za…” suaranya lirih, hampir putus asa.
“Yan, jangan larang aku, ya? Aku janji bakal jaga kesehatan. Aku janji nggak akan maksain diri. Tapi aku butuh ini, Yan. Supaya aku tetap merasa berguna. Supaya aku nggak tenggelam sama penyakitku.”
Yanuar menutup wajahnya sebentar, menarik napas panjang.
Setelah hening beberapa detik, akhirnya ia mengangguk pasrah.
“Baiklah. Kalau itu yang kamu mau aku nggak bisa halangi. Tapi aku kasih satu syarat apapun yang kamu lakukan, aku harus tahu. Kalau kamu capek, kamu berhenti. Kalau kamu sakit, kamu bilang. Deal?”
“Deal.”
Sore itu, meski tubuhnya masih lemah, Khanza nekat berjalan menyusuri jalanan Denpasar bersama Yanuar.
Mereka melewati deretan toko dan kafe yang dipenuhi turis lokal maupun mancanegara.
Di salah satu kafe kecil bergaya minimalis dengan aroma kopi yang menggoda, Khanza berhenti.
“Yan, aku coba melamar di sini,” ucapnya lirih.
“Za, apa kamu yakin? Baru keluar rumah sakit—”
“Aku cuma jadi pelayan, bukan kerja berat. Tolong jangan larang,” pintanya lembut.
Yanuar tak sanggup membantah tekadnya. Akhirnya, Khanza masuk dan berbicara dengan manajer kafe.
Sikapnya yang ramah dan sopan membuat pemilik kafe terkesan. Tidak butuh waktu lama, ia langsung diterima bekerja.
“Kamu bisa mulai sore ini kalau mau,” ujar sang manajer
“Alhamdulillah, terima kasih, Pak.”
Sore itu juga, Khanza mengenakan celemek hitam dengan logo kafe.
Tangannya masih gemetar saat membawa nampan berisi minuman, namun senyum lembutnya membuat para pelanggan betah.
Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengatur napas, tapi ia menutupi kelemahannya dengan senyum.
Di salah satu meja, duduk seorang pria paruh baya yang ternyata adalah klien lama Reza dari Jakarta.
Ia tengah menikmati kopi sambil mengambil beberapa foto suasana kafe.
Kamera ponselnya sempat menyorot Khanza yang sibuk melayani pelanggan.
Pria paruh baya itu, Pak Rendra, adalah seorang pengusaha yang pernah bekerja sama dengan Reza.
Saat melihat Khanza, ia sempat mengernyitkan keningnya.
“Sepertinya itu istri Reza, ya?” gumamnya pelan.
Ia mengambil foto Khanza yang sedang melayani pelanggan, lalu menyimpannya.
Setelah selesai menikmati kopinya, ia segera keluar dari kafe dan menghubungi nomor Reza.
Di Jakarta, Reza tengah duduk di ruang meeting bersama beberapa direktur.
Ia terlihat lelah, namun tetap berusaha fokus pada pembahasan laporan keuangan.
Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja. Nama Pak Rendra tertera di layar.
“Kenapa beliau tiba-tiba telepon?” pikirnya.
“Halo, Pak Rendra. Ada apa ya?”
Suara di seberang terdengar santai namun penuh arti.
“Za, kebetulan saya lagi di Bali untuk urusan bisnis. Dan barusan saya mampir ke sebuah kafe kecil di Denpasar. Saya nggak salah lihat, kan? Pelayan yang tadi melayani saya itu istri kamu, Khanza?”
BRUK!
Reza langsung berdiri dari kursinya, kursi meeting terjatuh ke belakang hingga membuat semua orang menoleh kaget.
“A-apa?! Khanza?! Di Bali?!” suaranya meninggi, matanya membelalak tak percaya.
“Saya sengaja nggak tegur dia, takut salah orang. Tapi saya yakin itu dia. Kalau kamu mau, saya bisa kirim fotonya.”
“Ya, Pak! Tolong kirim sekarang juga!” suara Reza nyaris putus asa.
Detik berikutnya, sebuah pesan masuk yang memperlihatkan foto Khanza sedang membawa nampan dengan celemek hitam terpampang jelas di layar ponsel Reza.
Air matanya hampir mengalir dan ia buru-buru menyeka wajahnya.
Tanpa pikir panjang, Reza langsung meraih jasnya.
“Maaf, meeting saya hentikan sampai di sini,” ucapnya singkat sebelum bergegas keluar ruangan.
Para direktur saling berpandangan heran, tak ada yang berani bertanya.
Di luar, Reza berjalan cepat menuju mobilnya. Jantungnya berdetak kencang, matanya basah.
“Ya Allah, ternyata kamu di Bali, Za. Tunggu aku. Aku akan jemput kamu pulang. Aku nggak peduli berapa kali kamu tolak, aku nggak akan biarin kamu jauh dariku lagi…”
Reza melajukan mobilnya menuju ke bandara Soekarno-Hatta.
Sesampainya di bandara Soekarno-Hatta, Reza memarkir mobilnya dengan tergesa.
Nafasnya memburu, wajahnya pucat, namun matanya dipenuhi dengan tekad.
Langkah kakinya cepat menuju konter maskapai penerbangan.
“Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa petugas ramah.
“Saya butuh tiket paling cepat ke Denpasar. Sekarang juga.”
Petugas itu menatap layar komputernya sebentar.
“Baik, Pak. Ada penerbangan satu jam lagi. Masih ada kursi bisnis yang kosong. Apakah Bapak ingin pesan?”
“Ya. Sekarang.”
Tangannya gemetar saat menyerahkan kartu identitas dan kartu kredit. Dalam hatinya, doa tak henti-hentinya ia panjatkan.
“Ya Allah, jangan biarkan aku terlambat. Tolong lindungi Khanza. Jangan biarkan aku kehilangan dia…”
Setelah mendapatkan boarding pass, Reza bergegas ke area check-in. Tatapannya gelisah, setiap detik terasa begitu lama.
Saat menunggu di ruang tunggu, Reza menatap foto Khanza yang baru saja dikirim Pak Rendra.
Di layar ponselnya, Khanza terlihat tersenyum samar sambil membawa nampan. Dan senyuman yang selama ini membuatnya kuat.
Air mata akhirnya jatuh, tak mampu ia tahan lagi. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar.
“Za, kenapa kamu sembunyi dariku? Kenapa harus sejauh ini? Apa kamu beneran nggak mau lihat aku lagi?” bisiknya lirih.
Tak lama kemudian, panggilan boarding terdengar.
Dengan langkah cepat, Reza menuju gate keberangkatan.
Setiap langkah terasa berat, tapi hatinya dipenuhi tekad yang tak tergoyahkan.
“Aku akan temukan kamu, Za. Aku akan minta maaf sampai kamu mau percaya lagi. Aku akan rebut kamu kembali, meski dunia menolakku.”
Pesawat akhirnya mengudara, membawa Reza mendekat pada satu-satunya wanita yang ia cintai.