Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25•
...Ayunan Bergerak Sendiri...
Angin malam itu membawa aroma petrichor setelah hujan sore hari, menusuk hidungku dan menambah kesyahduan suasana di taman belakang rumah Pak Suryo. Aku, Bima, dan Naila, masih saja duduk di bangku kayu yang usang, mengamati pohon mangga tua yang daunnya bergoyang pelan. Di bawahnya, sebuah ayunan kayu yang sudah lapuk tergantung lesu. Ayunan itu sudah ada di sana sejak aku kecil, mungkin bahkan sebelum Pak Suryo membeli rumah ini, dan selama ini selalu diam tak bergerak kecuali disentuh.
“Aduh, capek juga ya pindahan rumah Pak Suryo ini. Kayak pindahan satu desa,” keluh Naila, menyeka keringat di dahinya yang sebenarnya sudah kering. Naila ini memang sering lebay, tapi dia yang paling bersemangat kalau sudah urusan bantu-bantu.
Bima, yang dari tadi hanya diam sambil sesekali menyeruput kopi sisa, menimpali, “Makanya, Nail, jangan kebanyakan ngemil. Tenaga habis buat lemak.”
Kami tertawa. Tawa kami pecah di antara sunyi malam, seolah menantang ketenangan yang menyesakkan. Malam itu memang terasa beda. Sejak kami tiba di rumah Pak Suryo sore tadi, ada semacam aura yang tidak nyaman. Rumah tua dengan arsitektur kolonial yang megah itu, kini tampak lebih menakutkan dengan lampu-lampu taman yang redup dan bayangan pohon-pohon yang menari-nari. Pak Suryo sendiri sedang berada di dalam, sibuk menata barang-barang yang baru tiba dari truk pengangkut.
Tiba-tiba, mata Naila membulat. Dia menunjuk ke arah ayunan di bawah pohon mangga. “Eh, lihat deh! Ayunannya gerak sendiri!”
Aku dan Bima serentak menoleh. Benar saja. Ayunan kayu itu, yang beberapa detik lalu diam tak bergeming, kini bergoyang pelan, seolah ada seseorang yang baru saja meninggalkannya. Goyangannya semakin lama semakin jelas, ke depan dan ke belakang, meski tidak ada sedikit pun hembusan angin kencang yang bisa menjadi penyebab.
“Mana mungkin? Nggak ada angin sekencang itu,” ucap Bima, nadanya sedikit tidak percaya, tapi matanya tak lepas dari ayunan itu.
Aku bangkit dari dudukku, melangkah perlahan mendekati ayunan. Setiap langkahku terasa berat, seperti ada beban tak kasat mata yang menahan. Aku mencoba menyentuh ayunan itu, namun ragu. Perasaanku tidak enak. Seperti ada sesuatu yang mengamati kami, dari balik kegelapan di antara rimbunnya dedaunan.
“Jangan dekat-dekat, Ris!” seru Naila, suaranya sedikit bergetar.
Aku mengabaikannya. Rasa penasaran lebih mendominasiku daripada rasa takut. Saat tanganku nyaris menyentuh kayu ayunan, goyangannya tiba-tiba berhenti total. Ayunan itu diam, seolah tak pernah bergerak. Bulu kudukku meremang. Ini bukan kebetulan.
“Kalian lihat kan?” tanyaku, berbalik menatap Bima dan Naila yang masih terpaku di bangku.
Bima mengangguk kaku. “Gila. Ini beneran horor.”
Kami bertiga memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Pak Suryo sedang sibuk merapikan buku-buku di rak. Kami menceritakan apa yang kami lihat di taman, berharap Pak Suryo punya penjelasan logis. Namun, ekspresinya hanya datar, seolah tidak terkejut sama sekali.
“Ah, ayunan itu memang begitu. Kadang suka bergerak sendiri,” ucap Pak Suryo santai, tanpa menoleh. “Mungkin karena tanahnya tidak rata.”
Penjelasan itu terdengar sangat tidak meyakinkan. Tanah di bawah pohon mangga itu rata, dan ayunan itu tidak bergerak ‘kadang-kadang’ seperti itu. Ada sesuatu yang janggal dari sikap Pak Suryo. Dia tampak terlalu tenang, terlalu biasa saja.
Kami memutuskan untuk menginap malam itu, sekalian membantu Pak Suryo menyelesaikan sisa-sisa pekerjaannya. Saat makan malam, suasana masih terasa aneh. Naila terus melirik ke jendela dapur yang menghadap taman, seolah takut ayunan itu akan muncul di sana. Bima sesekali berbisik kepadaku, “Ada yang nggak beres sama rumah ini, Ris.”
Malam semakin larut. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun karena haus. Aku memutuskan untuk turun ke dapur mengambil air. Saat melewati ruang tengah, aku melihat lampu di ruang kerja Pak Suryo menyala. Aku mengintip, dan terkejut melihat Pak Suryo sedang berbicara sendiri. Lebih tepatnya, ia berbicara dengan sebuah lukisan tua yang tergantung di dinding. Lukisan seorang wanita muda dengan gaun putih. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan senyumnya sedikit getir.
“Dia suka kalau kamu bermain ayunan, Nak,” bisik Pak Suryo, tangannya menyentuh bingkai lukisan. “Sudah lama dia tidak melihat anak-anak bermain ayunan di taman.”
Aku mundur perlahan, jantungku berdegup kencang. Apa maksudnya? Siapa wanita di lukisan itu? Dan mengapa Pak Suryo berbicara padanya seolah dia hidup?
Keesokan paginya, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Pak Suryo tentang lukisan itu.
“Itu istri saya, nak. Meninggal karena sakit parah, sekitar sepuluh tahun yang lalu,” jelas Pak Suryo, tatapannya menerawang. “Dia sangat menyukai anak-anak. Dulu, dia sering duduk di taman, mengamati anak-anak bermain ayunan. Setelah dia tiada, ayunan itu tak pernah lagi bergerak. Sampai kalian datang.”
Aku merasa iba sekaligus ngeri. Jadi, arwah istri Pak Suryo yang menggerakkan ayunan itu? Tapi mengapa Pak Suryo tidak terkejut? Mengapa dia tidak takut?
Siang itu, Bima mengajakku untuk memeriksa ayunan itu lebih dekat. Naila memilih menunggu di dalam, masih trauma dengan kejadian semalam. Kami mengamati ayunan dari dekat. Kayu-kayunya memang lapuk, talinya pun sudah usang. Tidak ada tanda-tanda kerusakan mekanis yang bisa menyebabkan ayunan itu bergerak sendiri.
“Ini jelas bukan angin, Ris. Pasti ada sesuatu,” ujar Bima, mengusap dagunya.
Saat kami berdua sedang fokus pada ayunan, Pak Suryo muncul dari belakang, membawa sebuah termos dan beberapa gelas. Ia tersenyum tipis. “Kalian penasaran sekali dengan ayunan itu, ya?”
Aku mengangguk. “Iya, Pak. Rasanya aneh sekali.”
Pak Suryo meletakkan termos di meja taman, lalu mendekati ayunan. Ia meraih tali ayunan, lalu mengayunkannya pelan. Ayunan itu bergerak. Tiba-tiba, ia berbalik menghadap kami. Ekspresinya berubah drastis. Senyumnya menghilang, matanya yang biasanya hangat kini tampak dingin dan kosong.
“Dia suka sekali bermain ayunan,” ucapnya, suaranya kini terdengar berat, seperti suara dua orang yang berbicara bersamaan. “Dan dia tidak suka kalau ada yang menghentikannya.”
Kami terkesiap. Bima melangkah mundur. Ada sesuatu yang sangat salah di sini. Ini bukan lagi tentang arwah gentayangan. Ini… ini terasa jauh lebih gelap.
Tiba-tiba, Pak Suryo mengangkat tangannya, menunjuk ke arah ayunan. Ayunan itu mulai bergoyang dengan kencang, seolah ditarik oleh kekuatan tak kasat mata. Bukan lagi goyangan pelan yang kami lihat semalam, melainkan goyangan yang kasar dan tak terkendali.
“Dia… dia tidak ingin pergi,” lanjut Pak Suryo, suaranya bergetar. “Dia ingin terus bermain.”
Aku menatap ayunan itu, lalu kembali ke Pak Suryo. Matanya tidak berkedip, pandangannya lurus ke depan, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa kami lihat. Ada semacam aura kegelapan yang memancar darinya.
Lalu, Bima berteriak, “Lihat! Di sana!”
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Bima. Di bawah pohon mangga, di samping ayunan yang terus bergoyang hebat, sebuah bayangan hitam pekat muncul dari tanah. Bayangan itu perlahan-lahan membentuk siluet seorang wanita dengan gaun panjang, persis seperti wanita di lukisan Pak Suryo. Namun, wajahnya tidak terlihat, hanya kegelapan yang menutupi.
Nafas kami tercekat. Ini bukan lagi penampakan arwah biasa. Ini… ini adalah perwujudan. Wanita itu, yang dulunya adalah istri Pak Suryo, kini ada di hadapan kami. Dan dia… dia menatap kami. Atau lebih tepatnya, dia menatap Pak Suryo.
Tiba-tiba, Pak Suryo mengeluarkan tawa aneh. Tawa itu kering, menyeramkan, dan tidak ada sedikit pun kebahagiaan di dalamnya. Tawa yang seolah berasal dari lubuk neraka.
“Kau lihat, Sayang? Aku sudah mencoba segalanya,” ucap Pak Suryo, suaranya kembali normal, namun ekspresinya tetap dingin. Ia menatap bayangan wanita di bawah pohon. “Aku sudah mencoba mengembalikanmu. Sudah aku berikan tumbal… darah segar… namun kau tak juga kembali sepenuhnya.”
Jantungku serasa berhenti berdetak. Tumbal? Darah segar? Apa yang sebenarnya terjadi selama ini?
Bayangan wanita itu melayang mendekati Pak Suryo. Saat itu, aku menyadari sesuatu yang mengerikan. Bayangan itu tidak memiliki kaki. Ia melayang, bukan berjalan. Dan saat ia semakin mendekat, tangan Pak Suryo terangkat, perlahan-lahan meraih lehernya sendiri.
“Dia… menginginkanmu juga…” bisik Pak Suryo, suaranya tercekat. “Dia… ingin kita bersatu… selamanya…”
Mataku membelalak. Pria itu, yang selama ini kami kenal sebagai Pak Suryo yang ramah dan baik hati, ternyata adalah seorang pria yang terobsesi untuk membangkitkan kembali istrinya. Dan bayangan ayunan yang bergerak sendiri, bisikan-bisikan aneh, itu semua adalah bagian dari ritual yang ia lakukan. Bukan arwah istrinya yang menggerakkan ayunan, melainkan Pak Suryo sendiri, yang telah terasuki oleh sesuatu yang gelap, sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih jahat dari sekadar arwah. Ayunan itu hanyalah umpan, sebuah cara untuk menarik energi, untuk menarik korban.
Dan kami… kami adalah korban berikutnya.
Bayangan wanita itu kini berada tepat di belakang Pak Suryo. Tangan-tangannya yang gelap menembus tubuh Pak Suryo, seolah menyatu dengannya. Pak Suryo menjerit, bukan jeritan ketakutan, melainkan jeritan yang penuh dengan kepuasan dan penderitaan yang mengerikan.
Ayunan di belakangnya terus bergoyang, semakin kencang, seolah merayakan penyatuan yang mengerikan itu. Aku dan Bima tak bisa bergerak, terpaku oleh pemandangan di depan kami. Pak Suryo bukan lagi Pak Suryo yang kami kenal. Ia telah menjadi wadah, sebuah boneka yang dikendalikan oleh entitas gelap itu.
Dan kini, mata Pak Suryo yang kosong itu menatap lurus ke arah kami, diiringi senyum lebar dari bayangan wanita di belakangnya. Senyum yang persis sama dengan senyum getir di lukisan tua itu. Senyum yang berjanji akan bermain selamanya.
Bagaimana menurutmu, apakah cerita ini sudah memenuhi ekspektasimu? Ada hal lain yang ingin kamu tambahkan atau ubah?