Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Rencana
Jantung Ghea berdegup lebih cepat, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi saat ia berbalik.
“Kau mulai terdengar paranoid.”
David menatap tajam. “Aku hanya merasa, kau bukan istriku lagi.”
“Kau sendiri yang menjauh, David,” ucap Ghea pelan. "Kalau aku terasa asing… mungkin karena kau yang lebih dulu membuat jarak.”
David terdiam sejenak. Ghea bicara seperti biasa—lembut, tenang—tapi ada ketegangan dalam nadanya. Ada luka yang ditahan rapat.
Melihat David terdiam, Ghea melewati pria itu, hendak mengambil pakaian dalam lemari.
Namun suara David terdengar di belakangnya.
“Ghea.”
Langkah Ghea terhenti, tapi ia tidak menoleh.
“Kemarin… aku melihat sesuatu di lemari ini. Lemarimu,” lanjut David. Suaranya terdengar santai, tapi tajam di ujung.
Ghea masih membelakanginya. “Sesuatu?”
“Celana panjang dan kemeja pria,” jawab David, kini nadanya dingin. “Bukan punyaku. Dan jelas bukan punyamu.”
Hening sejenak.
Ghea membalikkan badan pelan. Tatapannya tenang, bibirnya tersenyum samar.
“Aku tak merasa menyimpan pakaian pria di lemariku,” ucapnya ringan.
David mendengus pendek. “Aku tak salah lihat. Aku melihat celana dan kemeja pria itu di lemarimu. Aku tak punya kemeja warna itu. Dan kemeja serta celana itu pun ukurannya bukan punyaku.”
Ghea membuka pintu lemarinya lebar-lebar. "Kau lihat sendiri. Tak ada pakaian pria di lemariku."
David menatap isi lemari Ghea. "Mungkin kau sudah memindahkannya, atau... mungkin pemiliknya sudah mengambilnya."
Ghea menghela napas kasar. "Kau pulang ke rumah hanya untuk bertengkar denganku? Mencari alasan yang gak masuk akal?"
"Tak masuk akal? Aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri kemeja dan--"
“Cukup, David.” Suara Ghea rendah, tapi penuh tekanan. “Kalau kau ingin cari alasan untuk pergi lagi, tak perlu pakai tuduhan murahan.”
David mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "Kau berubah Ghea."
Ghea tertawa pelan. “Kita sama-sama tahu siapa yang lebih dulu berubah.”
David membisu. Ia ingin menyanggah, tapi entah kenapa… tak bisa. Dan Ghea—meski tak pernah menuduh—terasa seperti menamparnya dengan kebenaran yang halus.
“Aku mau bersiap,” kata Ghea akhirnya. Ia melangkah ke lemari, lalu tanpa sadar membuka pelan laci tempat ia menyimpan jam tangan Leon.
Tangannya berhenti.
"Kenapa aku membuka laci ini?" batinnya.
Tapi tangannya sudah lebih dulu bergerak, menyentuh benda kecil yang dingin tapi familiar itu.
Jam tangan itu… masih di sana.
Jam tangan Leon.
Tanpa sadar, bibirnya terkatup rapat. Jemarinya menyentuh benda itu, tapi tak mengeluarkannya.
David memandangi punggung Ghea, matanya mengerut tipis. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi belum tahu apa.
Dan Ghea pun menutup laci itu pelan, lalu menggenggam handuknya lebih erat. Ia tak membalas tatapan David lagi. Tak berkata sepatah pun.
Karena di kepalanya—satu pertanyaan terus berdengung:
"Benarkah Leon… benar-benar datang semalam?"
GEDUNG ARTA KARYA INTERIOR
KANTOR. SIANG ITU.
David bersandar di kursinya, memijit pelipis dengan wajah muram. Pandangannya kosong menatap layar komputer yang bahkan belum sempat disentuh. Cangkir kopinya masih utuh, padahal biasanya sudah tandas dalam sepuluh menit.
“Ghea berubah,” gumamnya lirih. “Dia semakin jauh dariku. Semalam... rasanya aneh. Ada seseorang—bukan mimpi, bukan khayal. Tapi auranya benar-benar menekan. Menakutkan.”
Tessa berdiri beberapa meter di belakangnya. Matanya tajam, tapi wajahnya tenang. Ia memerhatikan pria itu—David yang biasanya penuh percaya diri, kini terlihat limbung.
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya lembut.
David tidak langsung menjawab. Matanya masih menatap meja, lalu ia menarik napas dalam.
“Semalam aku merasa ada orang ketiga di ranjangku. Di antara aku dan Ghea. Auranya begitu kuat... dingin... menakutkan. Aku bahkan tak yakin itu mimpi atau kenyataan.”
Tessa mengernyit. “Apa maksudmu? Apa yang terjadi sebenarnya?”
“Entahlah.” David menggeleng pelan. “Tapi aku yakin Ghea menyembunyikan sesuatu dariku. Dia bahkan… tak membiarkanku menyentuhnya.”
Tessa menahan napas, tapi tetap bersikap tenang.
“Aku mencurigai ada pria lain,” lanjut David, suaranya lebih pelan namun penuh tekanan. “Aku pernah melihat celana panjang dan kemeja pria di lemarinya. Bukan milikku. Jelas bukan punyanya. Tapi saat kutanya, dia bilang tidak tahu.”
Ia berhenti sejenak.
“Dan pagi ini, dia tergesa membuka laci seolah menyembunyikan sesuatu.”
Diam.
Tessa tampak berpikir, tapi dalam hatinya, semuanya mulai membentuk potongan puzzle yang mengerikan. Ia mengingat jelas percakapannya dengan Leon di restoran beberapa hari lalu:
“Semakin cepat David melepas Ghea, semakin cepat aku bisa memperistrinya.”
Tessa menelan ludah.
"Gila... Jangan bilang pakaian itu milik Leon? Pria sekeren itu... menyukai Ghea? Wanita bersuami yang bahkan lebih tua darinya?"
"Perasaan seperti apa yang bisa membuat seorang pria nekat tidur di ranjang milik suami wanita yang dicintainya? Tidak… mustahil. Tapi kenapa... semua ini terasa mungkin saat menyebut nama Leon?"
Wajah David kembali menegang, matanya menatap layar tanpa fokus. Ia tidak tahu Tessa tengah berperang dengan pikirannya sendiri.
Dan Tessa tahu satu hal pasti—yang lebih berbahaya dari perasaan Leon adalah:
rasa memiliki yang terinjak dalam diri David.
Jika David sadar pria lain menginginkan Ghea, apalagi pria seperti Leon—yang muda, tajam, dan menonjol—maka harga dirinya sebagai laki-laki akan bangkit.
"Itu akan membangunkan sisi David yang paling posesif."
Mungkin David sudah tak mencintai Ghea. Tapi jika harga dirinya terusik, dia akan merebut Ghea kembali hanya demi membuktikan: ia masih bisa.
Dan saat itu terjadi…
David akan menjauh darinya.
Segala rencana dan pengorbanannya selama ini akan musnah. Ia tidak akan mendapatkan apa-apa jika Ghea dan David kembali bersama.
"Tidak. Itu tidak boleh terjadi."
Tessa menunduk, menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap ke wajahnya.
"Belum. Bukan sekarang."
David belum sepenuhnya menguasai harta Ghea. Jika Leon mendorong David dan Ghea untuk bercerai saat ini juga, semua rencana akan runtuh. Harta itu… tetap jadi milik Ghea. Dan ia? Ia akan pulang dengan tangan kosong.
"Tidak." pikir Tessa mantap. "Belum saatnya mereka berpisah."
Ia menatap David dari balik bayangan rambut yang jatuh di wajahnya. Lalu, tersenyum kecil—senyum hangat yang bisa membuat siapa pun lengah.
Tapi di balik senyuman itu, sebuah rencana mulai disusun dengan rapi.
SORE HARINYA
Tessa menutup pintu ruangan David dengan pelan. Tak ada siapa pun selain mereka berdua. Kantor sepi menjelang senja, cahaya oranye dari jendela besar memantulkan siluet tajam ke dalam ruangan.
Langkahnya pelan, tapi pasti. Sepatu hak tingginya berdecak lembut di atas lantai marmer. David masih duduk di kursinya, menatap kosong ke luar jendela dengan ekspresi resah yang tak biasa.
“David…” panggil Tessa, suaranya rendah dan lembut.
Pria itu menoleh, dan seperti biasa, Tessa menyambutnya dengan senyum—senyum yang tak pernah gagal meluluhkan pria mana pun, bahkan pria sekuat David.
“Aku sudah memikirkannya,” ucapnya pelan sambil melangkah mendekat. “Mulai sekarang… kau harus lebih perhatian pada Ghea.”
David menghela napas berat. “Kita sudah merencanakannya. Dan kau tahu aku sedang mencobanya.”
Tessa berdiri tepat di hadapannya, lalu dengan gerakan lambat, duduk di pangkuan David. Tangannya melingkar santai di bahu pria itu, jemarinya mulai bermain pelan di atas dada—menggambar lingkaran kecil yang seperti tanpa makna, tapi menyimpan maksud.
“Aku tahu kau tak mencintainya lagi,” bisiknya, menatap mata David lekat-lekat. “Tapi sebelum semuanya jatuh ke tangan kita… sebelum seluruh harta Ghea jadi milikmu… jangan tinggalkan dia dulu.”
David diam. Tak membantah. Dan itu cukup bagi Tessa untuk melanjutkan.
“Aku tak keberatan,” lanjutnya, suara tenang namun menggoda. “Kau tak harus menginap di apartemenku sesering itu. Kita bisa tetap bersama… di sini saja. Kantor ini cukup nyaman untuk dua orang.”
Tangan Tessa bergerak lebih perlahan kini. Lebih terukur.
“Dan jangan khawatir,” katanya nyaris seperti desahan. “Aku tetap akan melayanimu… kapan pun kau menginginkan.”
David menatapnya lama. Tak ada penolakan, tak ada rasa bersalah. Hanya sorot mata penuh kebimbangan yang perlahan luluh dalam ambisi.
Tessa tahu, ia menang lagi. Ia selalu tahu kapan harus menjadi kekasih penuh gairah, dan kapan menjadi wanita yang penuh pengertian.
Kepalanya bersandar di bahu David, bibirnya tersenyum tipis—senyum kecil yang hanya muncul ketika sebuah rencana mulai berjalan mulus.
Untuk saat ini, biarlah Ghea tetap jadi istri.
Tapi David… David tetap miliknya.
Dan satu nama kini menggema dalam pikirannya, menusuk seperti belati:
Leon.
"Aku harus tahu siapa dia sebenarnya. Dan apa yang dia inginkan dari Ghea."
"Sebelum dia mengambil semuanya dariku."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.