NovelToon NovelToon
Sabda Buana

Sabda Buana

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Epik Petualangan / Pusaka Ajaib
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ilham Persyada

Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengeroyokan

Pujian yang didapatnya dari Alang Ganendra tak lantas membuat Wira berpuas diri. Sebaliknya, ia semakin giat berlatih karena ada kemungkinan Barda dan kawan-kawannya akan membalasnya jika ada kesempatan.

Wira terus melatih gerakan Tinju Bayangan dan Alas Angin setelah melakukan latihan pernapasan nirvana setiap malam harinya.

Rutinitas baru ini membuatnya jarang bercengkerama bersama Mbok Narti dan Kang Mardi di dapur. Keduanya pun sempat bertanya-tanya akan hal ini, tetapi setelah mendengar penjelasan Wira, mereka akhirnya mengerti dan mendukungnya.

Semakin lama, gerakan-gerakan bela diri Wira semakin halus. Penguasaannya terhadap dua teknik bela diri yang dimilikinya pun semakin matang.

Wira bahkan menemukan beberapa variasi baru dalam menggunakan dua teknik itu dengan penggunaan tenaga dalam. Meski demikian, Wira pun menyadari ia masih memiliki kekurangan dalam penggunaan senjata.

Wira memang telah memiliki sebilah pedang sejak menjadi murid senior. Namun, selain pedang itu hanya pedang dengan kualitas biasa, Wira pun belum mendalami jurus pedang tertentu selain teknik-teknik dasar saja.

Awalnya, Wira berpikir untuk tidak terlalu bergantung kepada senjata apa pun sehingga pedang miliknya hanya ia gunakan dalam keadaan yang memang memerlukannya saja.

Akan tetapi, setelah latih tanding dengan Mahendra hari ini, Wira mulai berpikir bagaimana jika ia harus menghadapi banyak lawan yang seluruhnya bersenjata?

Jika dirinya adalah seorang pendekar tingkat tinggi dengan kemampuan dan tenaga dalam yang mumpuni seperti salah satu gurunya, Alang Ganendra, yang dikenal dunia persilatan sebagai Harimau Putih, hal itu tak akan menjadi masalah.

Tetapi dengan kemampuannya sekarang, situasi seperti demikian pasti akan membuatnya kewalahan atau, lebih buruk lagi, menjemput kematian.

Akhirnya, Wira pun memutuskan untuk mulai mempelajari satu jurus pedang. Mungkin, ia memang tak harus bergantung pada senjata, tetapi tak ada salahnya juga meningkatkan kemampuan berpedangnya sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau kemampuan bertarung dengan tangan kosong saja tak cukup.

***

Keesokan harinya, pada masa istirahat setelah sesi ketiga pelatihan bela diri, Wira mengunjungi perpustakaan perguruan. Setelah cukup lama mencari, ia menemukan kitab ilmu pedang tingkat rendah yang berjudul delapan mata angin.

Wira mulai membaca buku itu dan mendapati teknik tersebut cukup memadai untuk dirinya yang baru belajar dan pedang miliknya yang merupakan pedang biasa.

Teknik yang menekankan kekuatan pergelangan tangan dan kelincahan gerakan pengguna pedangnya itu memiliki banyak variasi yang cukup sederhana, tetapi menjadikan titik-titik vital pada tubuh lawan sebagai sasarannya.

Insting Wira mengatakan bahwa teknik ini akan dapat ia padukan dengan gerakan-gerakan dari jurus-jurus yang telah dikuasainya.

Ia pun membawa buku itu dan meninggalkan perpustakaan setelah membereskan urusan administrasi peminjaman. Tak lupa, Wira pun memperpanjang peminjamannya terhadap kitab tanpa judul yang berisi metode pernapasan nirvana karena merasa ia masih membutuhkannya.

Saat berada di luar perpustakaan, Wira mendapati banyak di antara para murid dan anggota perguruan yang bergegas ke halaman depan. Penasaran, ia pun mengikuti mereka dan menemukan di balik para murid yang telah membentuk kerumunan, satu rombongan prajurit dengan bendera Kerajaan Suranaga tengah memasuki halaman depan perguruan.

Sepuluh kavaleri diikuti sekitar seratus prajurit prajurit infantri berbaris dengan rapi dan setiap gerakan yang sangat terkoordinasi. Pada barisan paling depan, tampak tiga orang tengah menuruni kuda dan disambut langsung oleh Ketua Raksala dan Ki Damar.

Wira menebak bahwa sosok lelaki gagah dengan baju zirah yang berada di tengah adalah Jenderal Dranasapta. Wira mengetahui hal ini dari berbagai sumber informasi yang didengarnya. Nama Jenderal Dranasapta juga terkenal karena perannya dalam membasmi perompak di wilayah pesisir utara Pulau Daksina.

Di samping kanannya, berdiri seorang lelaki dengan wajah rupawan yang sepertinya belum genap berusia 30 tahun. Wira tak mengenali sosok itu, tetapi kemungkinan besar ia adalah wakil atau tangan kanan sang jenderal.

Namun, yang paling menyita perhatian para anggota perguruan, khususnya para lelaki, adalah seseorang yang berposisi di samping kiri Jenderal Dranasapta. Bahkan dari kejauhan, Wira pun dapat mengetahui bahwa di balik baju perang lengkapnya, sosok itu adalah seorang perempuan.

Perempuan yang namanya kerap menjadi bahan pembicaraan di wilayah barat Pulau Daksina. Selain karena ilmu bela diri dan teknik pedang tingkat tingginya, sosok itu pun terkenal karena kecantikannya yang disebut-sebut dapat menyaingi bidadari di kahyangan.

Namanya Dewi Andini. Dari kejauhan, meskipun tak dapat menyaksikan langsung kecantikan tiada tara tersebut, Wira dapat menangkap keanggunan dalam sikap dan gestur tubuhnya. Keanggunan khas yang hanya dimiliki oleh kaum bangsawan.

Wira menghela napas dan tersenyum tipis. Ia bisa memahami alasan setiap orang yang tertarik pada sosok yang sangat berkelas seperti Dewi Andini. Tak lama kemudian, Wira berbalik dan bergegas kembali ke kamarnya untuk menyimpan buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan sebelum mengikuti sesi latihan berikutnya.

Tanpa Wira sadari, seolah merasakan sesuatu, Dewi Andini sempat menoleh dan menatap ke tempat di mana tadi Wira berada.

...***...

Menjelang senja, Wira yang hampir selesai membersihkan arena latih tanding tiba-tiba merasa ada banyak hawa keberadaan yang memperhatikannya. Senyum tipis pun tersungging di bibirnya.

“Kenapa masih sembunyi? Hanya aku sendiri di sini.”

“Bajingan ini semakin sombong saja!” Mahendra melompat keluar dari persembunyiannya, diikuti oleh belasan orang, termasuk Barda dan Sularsa.

Wira berbalik dan mendapati jumlah orang yang melebihi perkiraannya dengan senjata betulan pula, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.

“Mau apa kalian?”

“Jangan berlagak bodoh, Wira! Kau hampir membuatku terluka parah!”

“Bukannya sejak awal kau yang berniat mencelakaiku.”

Jawaban itu membuat Mahendra tak dapat berkata apa-apa lagi dan emosi. Ia pun menarik pedangnya.

“Jangan bicara lagi, kita bereskan saja dia sekarang!” kata Barda yang juga terlihat begitu membenci Wira.

Belasan orang itu pun maju bersamaan. Wira menggunakan tongkat pel untuk melempar ember yang setengahnya berisi air, membuat dua orang terdepan kehilangan keseimbangan.

Ia menghindari serangan Mahendra dan menangkis pedang Sularsa dengan tongkat pelnya, lalu bertukar serangan dengan beberapa orang sekaligus.

Wira yakin dirinya dapat mengalahkan mereka semua jika bertarung satu lawan satu, tetapi kalau semuanya maju sekaligus, ia harus memikirkan cara untuk dapat mengurangi jumlah mereka dulu.

Di saat yang sama, di tempat yang tak jauh dari situ, Dewi Andini tengah berjalan-jalan berkeliling perguruan. Tanpa helm prajuritnya, dengan rambut hitamnya yang terkuncir ke belakang, kecantikan parasnya terlihat lebih nyata.

Langkah Dewi terhenti lantaran mendengar keributan. Ia menuju sumber suara dan mendapati belasan orang tengah mengeroyok satu orang yang tengah memegang pel.

Dewi hendak menarik pedangnya, tetapi ia menyadari meskipun terlihat kewalahan, sosok yang dikeroyok itu masih dapat bertahan. Dewi memahami pertikaian sesama murid perguruan seperti ini adalah hal yang biasa, tetapi ia pun merasa tak dapat tinggal diam melihat pertarungan yang jauh dari adil itu.

Namun, entah mengapa, rasa penasarannya terhadap sosok yang menggunakan tongkat pel itu membuatnya ingin menahan diri dan mengamati pertarungan itu terlebih dahulu.

Di sisi lain, Wira telah memukul mundur dua penyerangnya, tetapi tebasan pedang Mahendra menyusul tiba-tiba dan membuat tongkat pelnya terbelah dua.

Dengan cekatan, Wira justru memanfaatkan bagian tongkat di masing-masing tangannya untuk meredam serangan-serangan berikutnya.

Teknik alas angin yang dipakainya memungkinkan ia dapat bergerak dengan cepat dan tepat untuk menghindari setiap serangan yang ditujukan padanya. Akan tetapi, tanpa menyerang balik, Wira sadar ia tak akan dapat bertahan.

Dari tempatnya menonton diam-diam, Dewi Andini cukup terkesan oleh kegigihan sosok yang dikeroyok itu. Meski demikian, pengalaman dalam beberapa pertempuran sengit telah mengasah naluri gadis cantik itu sehingga ia pun tahu bahwa sosok yang dikeroyok itu tidak terbiasa bertarung menggunakan senjata.

Dewi Andini pun mencari-cari sesuatu dan menemukan sebongkah kayu ulin yang cukup panjang tergeletak tak jauh darinya. Ia pun bergegas mengambil kayu tersebut. Kemudian bersiul dan melemparkannya kepada Wira.

Setelah siulan yang terdengar tiba-tiba, Wira merasakan sesuatu tengah melesat ke arahnya. Refleks, ua bersalto dan menangkap benda yang ternyata adalah sebongkah kayu ulin.

Walaupun cukup terkejut, Wira memanfaatkan perhatian para pengeroyoknya yang teralihkan untuk berpikir cepat. Ia menarik napas panjang, memejamkan mata sesaat dan membukanya kembali, lalu mulai melakukan serangan balik.

Dengan gerakan cepat Wira melucuti pedang Sularsa dan menendangnya hingga terjengkang. Kemudian Wira berbalik, menangkis pedang Barda dan menangkap pergelangan tangannya. Wira berputar dan melemparkan Barda hingga menimpa tiga orang yang berada di belakangnya.

Dewi Andini mengangkat alis, ia tahu sejak tadi bahwa teknik yang dipakai oleh sosok itu adalah teknik pedang dasar saja, tetapi penggunaannya yang digabungkan dengan kemampuan bertarung dengan tangan kosong sungguh efektif. Ia tersenyum, tak banyak pendekar purwa sekalipun yang dapat melakukan hal itu.

Terlebih, melihat seragam yang dikenakan oleh mereka yang sedang bertarung, semuanya seharusnya baru setingkat murid. Sesaat kemudian, raut wajah Dewi Andini berubah karena sekilas ia merasakan nafsu membunuh.

Wira baru saja menjatuhkan tiga orang saat merasakan nafsu membunuh dari belakangnya. Ia berbalik dan mendapati Mahendra tengah melesat ke arahnya dengan Pedang Pemecah Ombak. Wira tak tahu apa yang merasuki Mahendra, tetapi ia cukup yakin kalau saat itu Mahendra memang berniat membunuhnya.

1
anggita
like, iklan utk novel fantasi timur lokal, moga lancar👌
anggita
Wira...,,, Ratnasari😘
Mythril Solace
Seru banget ceritanya, thor! Alurnya ngalir dan gaya penulisannya hidup banget—bikin aku kebawa suasana waktu baca. Aku juga lagi belajar nulis, dan karya-karya kayak gini tuh bikin makin semangat. Ditunggu update selanjutnya ya! 👍🔥
Ilham Persyada: siyap kak ..🫡
total 1 replies
Hillary Silva
Gak kebayang ada cerita sebagus ini!
Kaede Fuyou
Ceritanya bikin saya ketagihan, gak sabar mau baca kelanjutannya😍
Ilham Persyada: terima kasih Kak ... mohon dukungannya 🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!