dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 21. Selamat tinggal ayah
"Dendam lahir bukan karena benci semata, tapi karena cinta yang pernah dipatahkan dan luka yang tak pernah sempat sembuh. Saat cinta tak sempat diperjuangkan, balas dendam menjadi satu-satunya bahasa untuk bertahan."
"Sayang, kau mau sesuatu? Katakan saja, aku akan memberikannya untukmu," ujar Sean lembut, mengusap kepala Alana yang bersandar lemah di bahunya.
Alana menggeleng pelan, lalu menggenggam tangan Sean erat-erat. Jemarinya terasa dingin, membuat Sean membalas genggaman itu lebih erat, sambil sesekali meniupnya agar hangat kembali.
"Sean..." lirihnya pelan, suaranya terdengar lebih serak dari sebelumnya.
"Iya? Kau ingin mengatakan sesuatu?"
"Nanti Kalau aku lupa caranya mencintaimu... tolong ajari aku lagi, sebelum ingatan itu ikut mati bersamaku."
Wanita itu menarik napas pendek, dadanya sesak, terasa perih dan berat dalam waktu bersamaan. Bulir bening itu mulai menggenang di pelupuk matanya.
Sean menggeser posisi Alana, lalu menahan kedua bahu wanita yang dicintainya itu. Wajah pucat itu ditatapnya penuh penyesalan.
"Ambil semua waktuku... jika itu bisa menambah waktumu. Aku rela terluka, asal..." Sean menarik napas berat, kemudian melanjutkan dengan suara gemetar, "asal bukan kamu yang pergi lebih dulu, Alana."
Ia mendongakkan wajah, menahan air mata yang hampir jatuh. Dia harus kuat, setidaknya untuk istrinya.
"Jika kau merasa lelah, istirahatlah sebentar," ujarnya sambil mengusap pipi Alana yang tampak jauh lebih tirus, menatap dalam-dalam ke matanya yang sayu.
"Tidurlah sebentar..." bisiknya lembut.
"Bagaimana jika aku tertidur terlalu lama? Aku tak ingin membuatmu menunggu," ucap Alana sambil memeluk Sean erat.
"Tak apa... Kau bisa berjalan-jalan dalam mimpimu. Meski kau berkelana jauh, kau tetap bisa kembali, dan aku akan tetap menunggumu di sini."
Setelah kalimat itu diucapkan, Alana memejamkan matanya perlahan. Sean merasakan tubuh yang bersandar padanya menjadi lebih berat.
"Alana..." bisiknya pelan.
"Sayang...?"
Tangan Sean tiba-tiba gemetar hebat. Suara panjang dari alat monitor jantung memenuhi ruangan, menggema menyayat jiwa nya.
"ALANA!
Tidak! Tidak! Kau tidak boleh pergi seperti ini! Kau harus hidup... kau harus hidup agar aku bisa terus membahagiakanmu, Alana!"
"Daddy! Sadarlah!" Ryuga mengguncang tubuh ayahnya yang tertidur di ruang tunggu rumah sakit. Sean membuka mata dengan napas memburu, keringat dingin membasahi wajahnya meski udara luar begitu menusuk karena salju yang turun.
"Mommy sudah dipindahkan ke ruang pemulihan, tapi... belum bisa dijenguk," ucap Ryuga sambil menyodorkan sebotol air mineral.
Sean mengusap wajahnya, mengatur napas. "Daddy mau ke mana?" tanya Ryuga saat Sean bangkit.
"Aku harus bicara dengan dokter. Kau jangan jauh dari ruangan Mommy. Daddy akan kembali dalam 15 menit."
Di Dalam Mobil
Alejandro beberapa kali menoleh ke arah Elena, hanya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja. Setelah kejadian kemarin, pria itu terus mengawasi gerak-geriknya. Ia takut Elena akan melakukan sesuatu yang nekat. Bahkan, Alejandro telah menyembunyikan segala benda yang berpotensi membahayakan gadis itu.
Elena hanya diam. Tatapannya kosong menatap luar jendela. Wajahnya dingin, tak menampakkan sedikit pun emosi.
Alejandro meraih tangan Elena, yang tetap diam. Ia tak menepis, namun juga tak membalas genggaman itu.
Saat itulah Alejandro sadar bahwa ia belum sepenuhnya masuk ke hati gadis itu. Mungkin karena dirinya yang masih terjebak dalam bayang masa lalu, atau elena yang terlalu lelah untuk kembali percaya setelah semua yang terjadi dalam hidupnya yang terlalu singkat namun penuh dengan luka.
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah tahanan negara. Di sinilah ayah Elena, Tuan Wigantara, menjalani hukuman seumur hidupnya.
Alejandro lebih dulu keluar, bergegas hendak membukakan pintu untuk Elena. Namun gadis itu telah keluar sendiri.
"Elena... tunggu!"
Elena tak menggubris. Ia terus melangkah, tegak, dingin. Tak ada lagi ketakutan ataupun kesedihan di wajahnya.
"Elena," Alejandro menyentuh lengan gadis itu, menghentikan langkahnya. Gadis itu menoleh dan melepaskan genggaman alejandro dengan perlahan.
"Biarkan aku sendiri. Aku hanya ingin menyapa ayahku, Al," ucapnya lirih.
Alejandro hanya mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini. Kalau terjadi sesuatu, aku akan segera datang." Alejandro menghela napas nya singkat melihat kearah punggung elena yang sudah menjauh.
Elena melangkah masuk ke ruang kunjungan. Ia duduk diam di balik kaca laminasi tebal yang memisahkan pengunjung dengan tahanan. Sebuah interkom di tengah menjadi satu-satunya media suara. Menunggu kedatangan ayahnya.
Tak lama, Tuan Wigantara muncul, kedua tangannya diborgol, ditemani petugas lapas. Pakaian tahanan berwarna biru gelap itu tampak melekat sempurna pada sosoknya yang dulu dipuja, kini hanya menjadi sosok tersisa dari kejayaan semu.
Kedua matanya melebar saat melihat putrinya yang datang berkunjung.
"Selamat pagi. Bagaimana kabarmu, Ayah?" ucap Elena, suaranya terdengar seperti sapaan hangat, namun nada dingin dan sinis tak bisa disembunyikan dan itu terdengar seperti penghinaan di telinga ayahnya.
"Kau! Ini semua terjadi karena mu, anak sialan!" Tuan wigantara menggeram dan berdiri dari duduknya.
Elena tertawa singkat lalu kembali diam menatap dingin kearah ayah yang selama ini selalu dia rindukan sosoknya untuk hadir di sisinya akan tetapi, ternyata pria paruh baya itu membebankan semua kesialan nya pada elena yang padahal dirinya lah korban yang sebenarnya.
"Ternyata, selama ini aku sudah salah mengira, ternyata...selama ini aku terlalu bodoh karena menginginkan kasih sayang dari ayahku sendiri, dan ternyata semua harapan sederhana itu tidak pernah jadi kenyataan bahkan sampai detik ini," kedua netra hazel itu mulai memerah, ada airmata yang menggenang di sana. Gadis itu mengepalkan tangannya erat di bawah menahan pilu nya sekuat tenaga.
Tuan wigantara berdecih, "aku bisa saja memberikan kasih sayang ku seperti apa yang kau inginkan, jika saja kau mendengarkan ku tapi kau malah bersekongkol dengan mereka untuk menjatuhkan ku, anak sialan!" Bentak nya sangat kasar.
Elena menahan napasnya sejenak ketika kalimat "anak sialan" itu kembali terucap dari bibir ayahnya sendiri.
"Seharusnya aku membunuhmu lebih awal setelah kematian ibu mu, aku sungguh menyesal karena tidak melakukannya dan membiarkan mu hidup!" Bentak tuan wigantara berapi api.
Elena tertawa muak benar benar muak. dia pikir, setelah semua kejadian ini ayahnya sadar diri dan mau mengakui kesalahannya lalu meminta maaf, namun ternyata semua keserakahan telah mendarah daging dalam diri pria paruh baya itu, dia silau harta dan jabatan.
Elena bangkit dari duduknya, membenarkan tas di bahunya lalu kembali menatap kearah ayahnya.
"aku datang kesini hanya untuk sekedar menyapamu, ayah. tidak bermaksud apapun, tenang saja, anak Sialan mu ini akan pergi tapi sebelum itu aku ingin mengatakan suatu hal padamu, ayahku tersayang," raut wajahnya tampak dingin.
Tuan wigantara cukup kaget dengan keberanian elena, selama dalam pengawasan nya, gadis itu bukanlah sosok yang berani melawan ataupun berani bicara semacam ini tapi kini gadis itu berubah, dia tidak lagi sama.
"Semoga tuhan mau mengampuni dosa yang ayah lakukan, dan semoga ayah tidak dilempar ke neraka," usai mengucapkan kalimat itu, elena langsung melenggang pergi, tak lagi menoleh, dia meninggalkan ayahnya yang memekik murka atas ucapannya barusan.
Tuan wigantara menggenggam dadanya yang mulai berdenyut nyeri. Petugas lapas segera menghampiri dan membawanya kembali ke sel.
Saat elena berjalan di lorong rutan tersebut, dia berpas-pasan dengan seorang petugas lapas dan gadis itu tersenyum tipis sedangkan petugas lapas tersebut menganggukkan kepalanya singkat lalu berlalu pergi.
Alejandro berlari menghampiri elena, pria itu sudah cemas duluan namun melihat gadis itu baik-baik saja, dia lega.
"Ikut aku," alejandro menarik tangan elena membawa nya keluar dari rutan tersebut.
Elena menurut kemana pria itu membawanya.
"Ini untuk mu," pria tampan dengan tinggi 190cm itu menyodorkan sebuah es krim strawberry ke elena yang duduk di kursi taman.
"Terima kasih," ucap nya singkat setelah mengambil es krim tersebut.
"Apa terjadi sesuatu di sana tadi? Atau ayahmu menyakiti mu lagi?"
Elena tersenyum tipis dan menggeleng pelan lalu menatap kearah beberapa orang yang lalu lalang.
"Tidak ada, kami hanya saling menyapa dan mungkin itu adalah terakhir kali nya aku bertemu dengannya di dunia ini."
Alejandro sama sekali tidak menaruh curiga, dia merasa bahwa elena mungkin saja sudah terlanjur kecewa dan tidak ingin bertemu dengan ayahnya lagi.
Malam Harinya...
Di dalam sel tahanan, Tuan Wigantara merasakan dadanya sesak. Panik, ia segera mencari suntikan insulinnya. Selama ini, selain penyakit jantung, ia juga berhasil menyembunyikan bahwa ia mengidap diabetes melitus akut.
Pria itu langsung menancap kan jarum suntik berisi insulin ke lengannya dengan cepat.
Tangannya masih gemetar saat cairan insulin itu menembus kulit di lengannya. Ia sempat merasa lega sesaat sampai beberapa detik kemudian, dadanya kembali nyeri, jauh lebih menyiksa.
Tiba-tiba dia merasa lehernya seakan dicekik sampai Mulutnya mengeluarkan busa. Hingga Tubuhnya mengalami kejang hebat, sebelum akhirnya ambruk, dan tak bergerak sama sekali.