bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hanya masalah kecil
Amira bersiap. Nafasnya teratur, matanya menatap tajam ke segala arah. Di belakangnya, Renata bersembunyi dengan tubuh gemetar, setengah berjongkok sambil memegang bahu Amira erat-erat.
“Amira, apakah kamu sanggup melawan mereka?” tanya Renata dengan suara pelan dan gemetar.
“Tenang, Bu. Ini masalah kecil,” jawab Amira santai.
Dari balik pepohonan, satu per satu pria berbaju hitam muncul. Sebagian membawa anjing penjaga, yang lain membawa senjata tajam, bahkan ada dua orang yang menenteng pistol. Wajah-wajah mereka kaku dan penuh kewaspadaan. Mereka mengepung Amira dan Renata perlahan, membentuk lingkaran yang sempit.
Amira mengedarkan pandangan. Sekitar tiga puluh pria bertubuh tegap kini berdiri mengelilinginya.
Renata hampir kehilangan kekuatan di kakinya. Betisnya bergetar hebat. Ia terbiasa dikelilingi bodyguard, bukan sebaliknya—dikepung oleh sekelompok pria bersenjata di tengah hutan asing.
“Amira... bagaimana ini?” ucap Renata ketakutan.
“Tenang, Mah. Ada aku di sini. Mama tenang saja, siapkan saja uang pembayarannya kalau-kalau dibutuhkan,” sahut Amira santai.
“Mira, kita sedang dikeroyok!” seru Renata kesal.
Tiga puluh orang itu melangkah semakin dekat. Setiap langkah mereka menambah tekanan dalam dada Renata. Belum lama ia selamat dari kecelakaan pesawat, kini harus menghadapi sekelompok pria asing di hutan tak dikenal.
Ia melirik ke arah Amira yang masih terlihat tenang. Dalam hati, ia bergumam, “Anak ini pasti akan menghajar mereka semua. Aku harus tenang. Amira pasti bisa.”
Namun, tiba-tiba Amira menangis keras.
“Hiks... hiks...”
Renata melotot. “Kenapa Amira menangis?” gumamnya kaget.
Amira menatap pria-pria itu dengan wajah penuh kepanikan. “Paman! Untunglah kalian datang! Saya dan ibu tua ini tersesat di hutan. Kami sudah dua hari dua malam tidak makan. Saya terus menggendong ibu saya yang sudah tua. Lihatlah mukanya... kasihan sekali, bukan? Tolong kami, Paman,” ucap Amira dengan suara memelas dan air mata yang terus mengalir.
Apa-apaan si Amira? Kenapa tidak menghajar mereka semua? Kenapa malah menangis?batin Renata geram.
Salah seorang pria, tampaknya pemimpin mereka, bertanya, “Kalian dari kelompok mana?”
“Saya tidak dari kelompok mana pun, Paman. Saya hanya anak malang yang berbakti pada orang tua. Ibu saya ini ingin jalan-jalan ke hutan, tapi kami tersesat. Kami dikejar babi hutan, lalu kehilangan arah,” jelas Amira dramatis.
“Penyusup atau bukan, kalian tetap harus ikut kami. Hutan ini milik Tuan kami. Tidak sembarangan orang bisa masuk wilayah ini,” ucap sang pemimpin.
Ia memberi perintah, “Kalian, gendong wanita tua itu.”
“Tidak bisa, Paman. Ibu saya tidak mau digendong sembarang orang,” sahut Amira cepat.
“Kamu masih sanggup menggendong ibumu?”
“Masih sanggup, Paman.”
“Ya sudah, kamu bawa sendiri.”
Dengan tenang, Amira membopong Renata. Mereka berjalan diapit oleh tiga puluh pria bersenjata menuju tempat yang belum diketahui.
“Mira, kenapa kamu tidak hajar mereka?” bisik Renata lirih sambil tetap berada di pelukan Amira.
“Duh, Bu... mereka ada tiga puluh orang, bersenjata pula. Mana bisa aku melawan mereka?”
“Kata kamu sanggup melawan mereka,” balas Renata jengkel.
“Aku ini bukan Wonder Woman, Bu. Aku cuma tukang ojek. Paling banter, aku bisa hajar sepuluh orang. Ini tiga puluh orang dan mereka semua terlatih!”
“Terus gimana kalau nanti mereka mencelakai kita?”
“Kita pikirkan nanti saja, Bu,” jawab Amira, tetap dengan gaya santainya.
Renata hanya mengangguk pasrah. Ia mendesah pelan, lalu bersandar di bahu Amira sambil berkata pelan, “Oke, lah.”
Dengan napas berat, mereka terus melangkah, meninggalkan rasa takut dan harapan yang menggantung di udara hutan yang mulai diselimuti kabut sore.
Mereka terus berjalan, sialnya renata malah tdur rasanya amira mau membuang mertuanya itu ke hutan tapi teringhat tagihan yang harus dibayarkan renata kepadanya dia bertahan menggendong renata
Renata terbangun saat sampai kesbuah tempat pinggir hutan ada sebuah bangunan besar dengan halaman yang luar seluruh area di kasih pagar tinggi dan ada beberpa menara disetiapsudut dan ada orang yang berjaga
Digerbang ada sebuah logio yang familiar bagi renata
Seketika rasa takut semakin tinggi
“kenapa aku bisa masuk ke markas alesandro” gumamnya dalam hati
Dia mulai menghubungkan kejadian jatuhnya pesawat yang dia tumpangi dengan nama alesandro, orang yang menjadi musuh besar ibu mertuanya viona
Mereka diantar kesbuah ruangan yang terpisahdari markas besar mereka
“Kalian di sini dulu. Jangan coba-coba lari. Kalau lari, kami akan langsung menembak mati,” ancam salah satu penjaga dengan suara datar.
Amira mengangkat tangan. “Paman, apakah ada makanan? Kami benar-benar belum makan dua hari.”
Penjaga itu melirik sekilas. “Tenang saja. Nanti akan kami kirim,” jawabnya sebelum pergi meninggalkan mereka.
Sementara itu, di markas rahasia Allesandro, di sebuah ruangan gelap yang penuh dengan senjata, seorang lelaki muda memainkan pistolnya sambil duduk santai di sofa kulit.
“Tuan Muda Aston, ada dua orang terdampar di hutan. Mereka mengaku tersesat,” lapor Rio, salah satu anak buahnya.
Aston menoleh lambat. “Kenapa masih bertanya? Tembak saja langsung.”
“Tidak sebaiknya diselidiki dulu, Tuan?” tanya Rio hati-hati.
Aston tersenyum miring. “Kebetulan besok aku mau latihan menembak. Jadikan mereka sasaranku.”
“Tapi, Tuan...”
“Sudah! Atau kamu yang jadi sasaran tembak!” bentaknya tajam.
Rio segera mundur tanpa berkata apa-apa.
...
Sudah seminggu Andika hidup tanpa arah. Hari-harinya hanya diisi dengan kemarahan. Robert menjadi sasaran pelampiasan, meski tak bersalah. Anehnya, hanya Bianka yang bisa sedikit menenangkannya.
“Kita harus ikhlas menerima takdir, Dika. Jangan menyiksa dirimu seperti ini terus,” ucap Bianka lembut.
“Aku mau ibuku, Bian...” jawab Andika dengan suara parau.
“Kamu harus move on. Pasti itu yang diinginkan ibumu. Beliau ingin kamu jadi lelaki kuat, bukan seperti ini,” tutur Bianka sambil menggenggam tangannya.
Andika terdiam. “Terima kasih, Bian,” ucapnya lirih.
Setelah mendengarkan saran dari bianka akhirnya andika mau menghadiri acara pemakaman Renata secara simbolik
Andikamennghadap kepada batu nisan yang bertuliskan nama renata sembagai simbol pemakaman ibunya karena jenazah ibunya belum ditemukan namun logika sudah mengatakan kalau renata dan amira tidak akan selamat, dan amira? Amira sama sekali tidak andika pikirkan
Andika menatap nisan itu dengan mata sembab. Ia menaruh buket bunga lili putih, lalu berlutut perlahan. "Mah maafin dika selama hidup dika selalu mengecewakan mamah, walau jenazah mamah belum dtemukan aku ikhlas dan aku berjanji akan membanggakan mamah untuk menjadi lelaki yang baik untuk calon istriku binaka” ucap andika.
Bianka berdiri di sampingnya, memegang payung kecil. Matanya ikut berkaca-kaca, tapi tetap tampil anggun.
“Cantik juga bianka rasannya dia ga pantes sama andika, aku kan yang sekarang jadi pewaris harta viona” ucap bagus dalam hati
Serina diam-diam memperhatikan bagus walau dia tidak ada raa lagi sama bagus tapi tetap saja hati istri mana yang tidak panas melihat suami melirik wanita lain.
Di sisi lain, Viona memegang tongkatnya dengan erat. Raut wajahnya dingin, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa bersalah. Ia tahu, kematian Renata tak lepas dari intrik keluarganya sendiri.
“Kamu harus membalaskan dendam pada Alessandro,” ucap Viona dengan suara dingin, namun tegas.
“Iya, Oma. Aku sendiri yang akan membunuh Alessandro,” jawab Bagus, matanya menyala penuh ambisi.
“Hati-hati dengannya. Dia licik, cerdik, dan tahu cara membalikkan keadaan. Tapi Oma akan selalu membantumu,” lanjut Viona.
“Terima kasih, Oma.”
…
“ANDIKAAA!” teriak Renata dalam tidurnya.
Amira terlonjak bangun. “Ada apa, Mah?”
Renata terduduk, wajahnya pucat. “Aku mimpi dikubur Andika… dia nangis, sedih sekali waktu menutup liang lahatku.”
Amira menyodorkan segelas air. “Kalau menurut primbon Jawa, itu artinya sebaliknya. Mungkin sekarang Andika lagi bahagia—udah lupa sama Mamah.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Alah, paling juga dia sekarang lagi peluk-pelukan sama Bianka di hotel bintang lima,” sahut Amira ketus.
Renata memelototinya. “Kenapa? Kamu cemburu, ya?”
“Cih, ngapain cemburu? Aku kan sudah diangkat jadi anak Mamah. Ngapain juga mikirin orang yang cintanya buat perempuan lain?”
Renata menarik napas panjang. “Ya sudah, aku tidur lagi. Semoga besok jadi hari yang lebih indah.”
Pagi itu, cahaya matahari belum sepenuhnya muncul ketika suara kasar membangunkan mereka.
“Bangun kalian!” bentak seorang penjaga sambil menodongkan pistol ke arah Amira dan Renata.
Amira membuka matanya perlahan, mendapati moncong senjata hanya beberapa inci dari wajahnya.
“Aih... Mamah, doanya tidak terkabul,” gumam Amira sambil menguap. “Baru semalam Mamah berdoa agar hari ini jadi hari yang indah. Ternyata malah jadi hari terakhir.”
Renata menelan ludah, wajahnya pucat pasi. “Amira... kita mau dibawa ke mana?”
Amira berdiri perlahan. “Entahlah, sepertinya kita akan jalan-jalan ke neraka”
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus