Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Suasana Sidang Yang Menegangkan
Pukul sembilan pagi, Ardian berdiri di halaman depan gedung Pengadilan Agama. Di tangannya, sebuah map coklat berisi berkas-berkas yang sudah dipersiapkannya sejak semalam. Jasnya masih rapi, meski keringat dingin membasahi punggungnya. Pandangannya tajam menatap pintu masuk, menanti sosok yang sangat ingin ia temui—Eva.
Beberapa menit kemudian, mobil putih berhenti di pinggir jalan. Pintu terbuka, dan keluarlah Eva bersama sahabatnya -- Julia. Perempuan itu tampak anggun dalam balutan blouse putih dan rok panjang abu-abu. Wajahnya cantik seperti biasa, tetapi ada tatapan dingin di matanya yang langsung menusuk ke dada Ardian.
Untuk sesaat, Ardian hanya bisa memandangi Eva dari jauh. Ada rasa bersalah yang menyesakkan, bercampur dengan kerinduan yang sulit ia bendung.
Eva melangkah dengan tenang ke arah pintu pengadilan. Ardian buru-buru menyusul, memanggilnya dengan suara setengah berbisik.
"Eva, tunggu."
Eva menghentikan langkahnya, menoleh sekilas dengan ekspresi datar. Namun, bukan dia yang berucap, melainkan Julia. "Apa lagi, Ardian?" suaranya terdengar penuh emosi saat melihat Ardian. Laki-laki yang tega menyakiti perasaan sahabat nya.
Ardian berdehem pelan saat mendengar nada sinia Julia. Lalu, dia mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia menatap Eva dan berkata, "Aku minta waktu sebentar. Hanya lima menit. Setelah itu, kalau kamu tetap mau lanjut, aku janji enggak akan menghalangi."
Julia mengangkat alis, seolah tak percaya. Dia ingin menyahut. Namun, suara Eva membuat nya terkejut. "Baiklah. Lima menit," katanya dingin.
"Eva, jangan...!" seru Julia
"Tenang saja, aku enggak bakal terpengaruh oleh hal apapun. Aku janji." ucap Eva menenangkan sahabatnya
Akhirnya, Julia pasrah melihat Eva dan Ardian yang berjalan ke taman kecil di samping gedung. Suasana di sana cukup ramai.
Ardian menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara dengan suara lirih, penuh penyesalan. "Eva, aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah menghancurkan kepercayaan kamu. Tapi aku... aku benar-benar mencintai kamu. Tidak ada satu hari pun yang aku jalani tanpa menyesali semua ini."
Eva menunduk, menggenggam erat jemarinya sendiri. Ia berusaha keras menahan air mata yang hampir menggenang. Dia sudah bertekad untuk tidak menangis lagi.
"Aku tidak butuh janji atau kata-kata manis mu, Mas Ardian. Aku butuh bukti, tapi semua itu sudah terlambat." jawab Eva dengan suara bergetar.
"Aku sudah putuskan. Aku akan menceraikan Lisna. Aku akan ambil hak asuh Aiden. Aku ingin membangun hidup baru bersama kamu, Eva. Aku ingin memperbaiki semuanya. Demi kita."
Eva mendongak, menatap Ardian lurus-lurus. Ada luka di mata indah itu. Luka yang dalam. Dia benar-benar syok dengan laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu.
"Bagaimana dengan Lisna? Bagaimana dengan Aiden? Kamu pikir semuanya sesederhana itu?" tanyanya getir.
Ardian mengepalkan tangannya. "Aiden tetap anakku. Aku akan bertanggung jawab penuh sebagai Papanya. Tapi aku tidak bisa mempertahankan pernikahan yang salah. Aku ingin membangun keluarga kita... yang sebenarnya, Eva."
Untuk pertama kalinya sejak bertemu, ada keraguan di mata Eva. Hatinya bergetar hebat. Cintanya pada Ardian belum sepenuhnya padam, tapi rasa sakit itu terlalu dalam.
"Kamu egois." desis Eva
"Aku melakukan semua ini demi mempertahankan pernikahan kita, Eva. Aku hanya mencintai kamu."
"Kamu mengkhianati pernikahan kita, Mas. Cinta kita sudah berakhir sejak kamu memutuskan untuk menikah lagi."
"Tidak akan pernah berakhir, karena aku yang memutuskan semuanya. Ayolah, Eva. Hentikan gugatan mu itu, mari kembali bersamaku. Aku janji, aku akan memperbaiki pernikahan kita. Lagi pula, papa enggak bakal setuju kalau kita bercerai. Kamu paling tahu, jika papa sangat menyayangi kamu."
Eva tersenyum getir dengan akhir kalimat suaminya. "Kamu begitu kekeuh mempertahankan pernikahan kita bukan karena Papa kan, Mas?"
Ardian terperangah, tubuhnya sedikit menegang. "Tentu saja tidak!"
Eva menggeleng pelan dan menyeringai tipis, "Semuanya sudah terlambat, Mas. Aku menyayangi Papa layak nya almarhum Papaku. Tapi, aku enggak bisa mempertahankan pernikahan kita lagi. Semuanya sudah selesai."
Mereka terdiam lama. Hanya suara angin yang berhembus di antara mereka. Ardian merasa, Eva begitu sulit di bujuk. Harus dengan cara apa lagi dia membujuk perempuan yang dia nikahi lima tahun lalu ini
Ketika Eva akhirnya melangkah pergi menuju ruang sidang. Ardian hanya bisa diam dengan perasaan gundah gulana dengan situasi saat ini.
***
Kini, Eva dan Ardian duduk di kursi yang terpisah di dalam ruang sidang yang beraroma kayu tua dan penuh dengan aura ketegangan. Hari ini adalah sidang perdana mereka dalam perkara perceraian yang penuh dengan luka dan kekecewaan. Suasana ruang sidang terasa hening, hanya terdengar detak jam dinding tua yang seolah mengiringi ketegangan di antara keduanya. Hakim ketua pun mengambil palu, mengetukkannya perlahan ke meja, tanda sidang segera dimulai.
Hakim ketua, seorang pria paruh baya dengan wajah tegas namun berusaha netral, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya menatap tajam ke arah Eva dan Ardian. Ia mengambil berkas di depannya, membuka lembar pertama, lalu mengalihkan pandangannya kepada Eva.
"Saudari penggugat," ucapnya dengan suara lantang, "apa benar nama anda Eva Alexia?"
Eva, yang sejak tadi menundukkan kepala, mengangkat wajahnya perlahan. Dengan suara pelan namun tegas, ia menjawab, "Iya, Pak Hakim."
Hakim kemudian mengalihkan tatapannya pada Ardian, yang duduk dengan sikap santai namun menyimpan kegelisahan di matanya.
"Saudara tergugat, apa benar nama anda Ardian Wicaksana?" tanyanya lagi.
Ardian mengangguk cepat. "Iya, Pak Hakim," sahutnya.
Hakim menarik napas sejenak, lalu berkata, "Saudari Eva, apakah anda tidak ingin mempertimbangkan kembali keputusan anda untuk bercerai dari saudara Ardian? Barangkali masih ada ruang untuk memperbaiki hubungan ini."
Eva menggeleng dengan perlahan, namun tegas. "Tidak, Pak Hakim. Saya tetap pada pendirian saya," jawabnya tanpa ragu.
Hakim mencatat sesuatu di dokumen di depannya sebelum kembali bertanya, kini beralih kepada Ardian. "Baiklah. Lalu bagaimana dengan saudara Ardian? Apakah anda juga berkeinginan untuk berpisah? Ataukah anda masih ingin mempertahankan pernikahan ini? Mungkin masih ada kesempatan untuk berdamai?"
Ardian, dengan suara berat yang terdengar dibuat-buat, menjawab, "Sebenarnya, tidak, Pak Hakim. Saya masih ingin mempertahankan pernikahan kami. Saya yakin, kami masih bisa memperbaiki semuanya."
Hakim lalu menoleh kembali kepada Eva. "Saudari Eva, anda mendengar pernyataan dari saudara Ardian. Ia masih ingin mempertahankan rumah tangga kalian. Apakah anda tetap pada keputusan anda?"
Eva mengepalkan tangan di pangkuannya, berusaha menahan emosi. "Saya tetap pada pendirian saya, Pak Hakim," katanya, suaranya bergetar. "Saya ingin berpisah darinya. Saya tidak sanggup lagi hidup bersama orang yang telah mengkhianati pernikahan kami. Dia... dia telah menikah siri tanpa seizin saya. Lalu, untuk apa saya mempertahankan hubungan ini yang sudah ternoda?"
Ruangan terasa lebih tegang saat kata-kata Eva menggantung di udara. Beberapa orang yang hadir dalam sidang itu mulai saling berbisik pelan. Hakim mengerutkan kening, sementara Ardian tersenyum kecil — senyum yang tidak menyiratkan penyesalan, melainkan lebih kepada arogansi.
Dengan nada enteng, Ardian berkata, "Dan saya tidak ingin berpisah darinya, Pak Hakim. Saya masih mencintainya. Saya terpaksa menikah lagi karena saya menginginkan seorang anak. Bukankah di negeri ini pria diperbolehkan menikah lebih dari satu? Jadi saya rasa, ini bukanlah alasan yang cukup untuk mengakhiri pernikahan kami."
Ardian sempat melirik Eva dengan pandangan mengejek, membuat Eva merasa dadanya sesak. Ia tak percaya, bahkan di depan hakim, Ardian masih berusaha membenarkan pengkhianatannya.
Merasa tak sanggup lagi menghadapi permainan kata-kata Ardian, Eva memandang ke arah pengacaranya, Richard Samuel, seorang pria muda dengan ketenangan yang menenangkan. Seolah mengerti tanpa perlu kata-kata, Richard mengangguk kepada Eva, memberi isyarat agar ia tenang.
Richard lalu berdiri perlahan, dengan gestur sopan, menatap Hakim Ketua dan berkata dengan nada hormat namun tegas, "Maaf menyela, Pak Hakim. Izinkan saya berbicara."
Hakim mengangguk singkat. "Silakan, Pak Richard."
Richard mengatur napasnya, memastikan setiap kata yang akan ia ucapkan terdengar jelas dan kuat di seluruh ruangan. "Memang benar," katanya, "dalam hukum negara ini, seorang pria diperbolehkan menikah lebih dari satu. Namun, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah bahwa seorang suami harus mendapatkan izin dari istri pertama. Selain itu, dia juga harus membuktikan kemampuannya dalam hal finansial dan menunjukkan keadilan dalam memperlakukan kedua istrinya."
Richard melirik ke arah Ardian, lalu kembali menatap hakim. "Jika pernikahan kedua dilakukan tanpa seizin istri pertama, maka secara hukum pernikahan tersebut dianggap tidak sah di mata hukum negara, dan dapat menjadi alasan kuat untuk perceraian. Dalam hal ini, klien saya, Saudari Eva Alexia, merasa terkhianati dan dirugikan, baik secara emosional maupun hukum."
Eva menghela napas panjang, merasa sedikit lega mendengar pembelaan pengacaranya. Namun di sisi lain, hatinya tetap terasa berat. Ini baru permulaan dari perjalanan panjang dan melelahkan yang harus ia tempuh untuk mendapatkan kembali hak dan harga dirinya.
Hakim mengetukkan palu satu kali. "Sidang akan dilanjutkan dengan mendengarkan bukti dan saksi dari kedua belah pihak," katanya tegas.
Sidang pun berlanjut, membawa Eva dan Ardian semakin dalam ke dalam proses perpisahan yang penuh luka itu.
***