Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Kala menemukan mobil Kayanara parkir di depan gedung fakultas, Naren tersenyum senang. Rasanya sudah tidak sabar untuk melihat ekspresi perempuan itu setelah menerima hadiah spesial darinya.
Dengan langkah melambung, Naren berjalan menghampiri mobil. Ditinggalkannya Eric di belakang, dibiarkan anak itu kesetanan tanpa sudi menjawab panggilan.
Kaca mobil diturunkan persis ketika tangannya menyentuh handle pintu. Tampaklah olehnya wajah Kayanara yang terlihat nyaris tanpa ekspresi.
Untuk beberapa lama, Naren keheranan. Bukan ini yang ada dalam bayangannya. Kayanara seharusnya heboh dan mereog, mencak-mencak padanya, mengamuk seperti orang kesetanan yang tak lagi punya kendali atas dirinya sendiri. Kalau begitu kan, Naren bisa menjadikannya sebagai senjata supaya ayahnya tahu bahwa si nenek sihir ini memang tempramental dan tidak cocok dijadikan istri.
“Nunggu apaan? Buruan masuk.” Bahkan nada suaranya pun terdengar datar. Tidak ada percikan emosi yang berusaha disembunyikan.
Meski masih keheranan, Naren tetap lanjut masuk ke dalam mobil. Bersikap biasa saja seolah tidak ada yang salah.
Sampai ketika mobil melaju, Naren akhirnya gatel sendiri sebab Kayanara masih tidak memberikan reaksi atas hadiahnya.
Naren melirik sedikit ke samping. Mencoba menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. Untuk kemudian sampai pada dua kemungkinan: hadiahnya belum dibuka atau Kayanara memang tidak takut pada hadiahnya.
Untuk memastikan mana yang benar, Naren mengawali pembukaan suara dengan berdeham pelan. Berhasil. Kayanara menoleh padanya, memecah konsentrasi menyetir yang sejak tadi dipertahankan.
“Apa?” tanya perempuan itu.
“Hadiah dari gue udah lo buka?” tembaknya tanpa tedeng aling-aling. Tanpa sadar, posisi duduknya menyerong ke arah perempuan itu.
“Oh!” Tiba-tiba saja Kayanara memekik. Pegangannya pada kemudi terlepas sebab kedua tangannya refleks menepuk satu sama lain.
Hal itu membuat jantung Naren nyaris jatuh ke perut selama sepersekian detik. Untung saja Kayanara segera meraih kemudi lagi sebelum mobil mereka hilang kendali.
Kemudian, ekspresi datar di wajah Kayanara perlahan memudar. Perempuan itu kini tersenyum lebar, matanya berbinar.
“Udah gue buka!” serunya. “Makasih ya Naren, gue nggak menyangka lo bisa effort banget nyari tahu tentang gue sampai ngerti kalau gue lagi butuh pakan buat ikan hias di rumah.”
Bagai orang bodoh, Naren berakhir melongo. Effort untuk mendapatkan cacing sutera tidak main-main, dan dia tidak pernah berharap akan mendapatkan ucapan terima kasih seperti ini.
“By the way, lo nanya ke siapa? Kayaknya gue nggak ada cerita deh ke bapak lo ataupun Mahen.”
Naren tak menggubris pertanyaan tersebut. Dia hanya tersenyum kecut, lalu mengembalikan posisi duduknya seperti semula. Wajah masamnya terpampang jelas, tatapan kesalnya menembus sampai ke kaca mobil depan—mungkin mampu menghantarkan kendaraan yang merayap pelan di depan mereka.
“Effort-nya udah dapat, tinggal akhlaknya yang belum. Yuk, bisa, yuk, dikit lagi.”
“Talk to my hand.” Naren menyahut malas.
Untuk sekarang ini, otaknya terasa mati. Seperti kehabisan akal harus menyingkirkan nenek sihir ini dengan cara apa lagi.
Oh, apakah dia harus melemparkan Kayanara ke kandang buaya saja, agar perempuan itu habis dimakan tanpa sisa? Sepertinya tidak apa-apa untuknya berakhir di penjara. Tinggal bilang tidak sengaja, sewa pengacara, dan voila! hukumannya bisa diringankan atau bahkan divonis bebas sekalian.
Nggak boleh, dosa.
“Diem.” Naren menampar suara batinnya sendiri. Kepalang kesal setengah mati.
Sementara itu, selagi Naren meratapi kegagalannya yang ke-sekian kali, Kayanara justru bersorak riang. Beruntunglah ia terlahir sebagai manusia yang tidak takut hewan apa pun, sehingga tak peduli seberapa banyak Naren membawakannya, dia tidak akan gentar.
Try me, Baby. Try my ‘till you’re sick!
Tantangan itu Kayanara teriakkan di dalam hati. Karena semakin ke sini, dia semakin bersemangat untuk menunjukkan kepada Naren bahwa mereka adalah lawan yang sepadan. Bahwa kehadirannya layak diterima, dan Naren tidak seharusnya macam-macam.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Hujan sudah berhenti, tetapi mendung di wajah Naren justru semakin menggelap ketika tiba di rumah. Kondisinya yang kontras jelas membuat Mahen yang menyambut kepulangannya jadi mengernyit kebingungan.
“Kena—“ Pertanyaannya tak sampai selesai sebab Naren sudah lebih dulu pergi. Anak itu bahkan tidak mengucap salam ketika memasuki pintu, tidak juga mencium tangannya seperti biasa.
Kini, karena hanya tersisa Kayanara, dia pun berjalan mendekati perempuan itu untuk mengorek informasi.
“Hai, Mahen!” Perempuan itu menyapa riang.
“Hai, Kay. Is everything going well?”
“Yeah,” Bibir Kayanara mulai menipis. “Well I think ... today is the best day ever.”
“Something good happened, huh?” tanya Mahen penasaran. Karena kondisi Kayanara
berbanding terbalik dengan Naren.
“Kurang lebih begitu.” Kayanara menghentikan langkah sebentar. “Gue belum ashar by the way. Boleh numpang nggak?”
“Sure,” Mahen mengangguk dengan segaris senyum tipis. “Follow me.”
Mahen mengantar perempuan itu ke salah satu kamar ART yang kosong. Kamar itu sudah lama tidak ditempati karena Teh Hayati dan Mbok Minah sudah dipindahkan ke kamar lain yang lebih luas. Kasur single dan lemari yang sebelumnya ada di sana juga sudah diboyong ke kamar lain, sehingga kamar itu sekarang hanya serupa ruangan kosong yang cukup luas.
“Ambil wudhunya di keran belakang ya, udah tahu kan tempatnya?”
Kayanara mengangguk.
“Kalau gitu, aku tinggal dulu ke atas buat periksa Naren. Kalau udah selesai sholat chat aja, nanti aku langsung turun. Atau kalau mau nunggu Ayah di atas, langsung naik aja juga nggak apa-apa.”
Kayanara mengangguk lagi.
Dengan begitu, Mahen melesat pergi meninggalkan perempuan itu. Kakinya mengayun lebar. Dua anak tangga dilibas sekaligus demi menghemat waktu.
Di lantai dua, ruang keluarga tampak kosong, Naren tidak ada di sana. Maka, Mahen langsung membelokkan langkah ke arah kamar mereka.
“Lah?” Mahen terheran-heran. Sebab, pintu kamar tak kunjung terbuka meski kenopnya dia dorong berkali-kali. Pintunya dikunci, hal yang jarang sekali terjadi.
“Ren?” panggilnya. Dia mengetuk pelan beberapa kali, sambil menempelkan telinga di daun pintu.
Tetapi, nihil, Naren sama sekali tidak menanggapi.
“Ren?!” teriaknya. Ketukannya berubah menjadi gedoran heboh. Kalau dilakukan terus-menerus, pintu itu mungkin akan roboh.
“Ren, Abang tahu kamu denger. Bukain dong, Abang mau masuk!”
Masih hening.
“NARENDRA SUKMAJAYA!”
Bahkan sudah ngegas pun, masih tidak ada jawaban dari dalam sana.
Tak menyerah, Mahen menggunakan jurus lain. Saku celana dirogoh, ponsel dikeluarkan secepat kilat, dan nomor Naren ditekan dengan cepat. Satu tangannya berkacak di pinggang. Matanya menatap lurus pintu di hadapan seperti sedang memindai keberadaan Naren di dalam.
Telepon diangkat setelah dering ke-empat. Hanya untuk membuat telinga Mahen seperti dijatuhi bom atom ketika suara Naren menggelegar begitu hebat.
Seolah mengerahkan seluruh tenaga di dalam dirinya, anak itu berteriak, “Just leave me alone, Abang!”
Bersambung....