NovelToon NovelToon
Kacang Ijo

Kacang Ijo

Status: tamat
Genre:Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:336.5k
Nilai: 4.9
Nama Author: Chika cha

Cover by me

Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.

Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.

Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.

Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.

Lanjut baca langsung disini ya👇

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah Pertama di Dunia Abri

Situasi canggung di rumah Moza tadi masih menggantung di udara, bahkan hingga kini ketika mereka sudah duduk di dalam mobil, keduanya belum saling bicara.

Moza terus menatap keluar jendela, mencoba menetralkan rasa gugup dan detak jantungnya yang tak kunjung normal. Di sisi lain, Abri hanya fokus menyetir, seolah gadis di sebelahnya tak ada. Pria itu begitu tenang, atau mungkin terlalu tenang. Apa memang begini aslinya? Tapi Moza yakin, Abri tak sedingin itu.

Mobil yang dikemudikan Abri perlahan memasuki kawasan Batalyon. Abri menurunkan kaca jendela mobilnya begitu sampai di depan pos jaga, lalu membunyikan klakson singkat begitu palang di buka dan Abri melaju masuk ke dalam zona militer.

Senyum Moza seketika terbit, teringat sekitar mungkin kurang lebih lima belas tahun lalu, ia masih tinggal di kawasan militer seperti ini. Sepanjang mata memandang semuanya serba hijau, dari mulai bangunan, juga lingkuang di sana, hijau semua. Sangat menyegarkan mata Moza. Jujur ia sangat rindu tempat seperti ini. Rasanya seperti pulang ke rumah utama.

Matanya menangkap beberapa prajurit berlalu lalang dengan motor trail, sebagian lagi berlatih turun dari gedung menggunakan teknik rappelling dengan tali. Gerakan mereka lincah, terlatih, dan membuat Moza terpana. Ia tak bisa menahan decak kagum.

Lalu matanya beralih ke sekelompok prajurit yang sedang bergulat di tengah lumpur, bertarung dengan belatih di tangan. Moza sampai meringis melihat salah satu dari mereka terpukul. Tapi yang mengejutkan, bukannya marah atau mengaduh, mereka malah tertawa bersama. Seolah luka dan

Tak jauh dari sana, segerombolan prajurit tengah berlari mengelilingi markas bertelanjang dada, bercelana loreng, wajah dicat warna hijau, merah hati, dan hitam. Di tangan mereka tergenggam senjata. sakit adalah bagian dari tawa mereka.

Moza sontak membeku. Senyum yang tadinya merekah mendadak lenyap. Tubuhnya kaku, matanya kosong. Ia duduk lebih tegak, tangannya mencengkram seatbelt dengan gemetar. Nafasnya mulai memburu.

Senjata. Itu... pemicu traumanya.

Meski sudah bolak-balik menemui psikiater, bayangan penyekapan berdarah di basement mall beberapa bulan lalu masih menghantui. Kenangan itu melekat kuat, dan pemandangan senjata barusan menyulut semuanya.

Abri yang menyetir di sampingnya langsung sadar. Ia melirik singkat, melihat keringat dingin yang mulai membasahi dahi Moza, wajah yang tadinya berseri kini penuh ketegangan.

"Are you okay?" Tanya Abri pelan.

Moza tersentak kecil. "Eh?!" Seketika Moza menoleh, mendapati Abri yang tak sepenuhnya menatapnya karena masih fokus mengendarai mobil. Kerutan di dahi pria itu tergambar jelas menandakan pria itu bingung melihat perubahan sikap Moza. Ia masih sesekali menoleh karena belum mendapatkan jawaban dari bibir gadis itu.

Sebelum menjawab, mati-matian Moza memejamkan mata, manarik dan membuang nafas beberapa kali secara perlahan. Mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya, menghilangkan bayangan itu dari benaknya. Ia tak ingin air matanya tumpah di sini. Ia harus kuat.

"I'm okay," jawabnya akhirnya, dengan suara bergetar dan senyum palsu yang memaksa diri untuk terlihat baik-baik saja. Menyembunyikan trauma yang menggerogotinya agar tak di ketahui Abri.

Abri bukan orang bodoh, yang tak tau reaksi apa yang barusan ia lihat dari gadis di sebelahnya itu. Gadis itu ketakutan. Ketakutan dengan apa? Itu yang Abri tidak ketahui.

Namun untuk saat ini, ia memilih untuk diam. Hanya mengangguk kecil sebagai respon terakhir.

Mobil yang di tumpangi keduanya berhenti di depan salah satu kantor. Abri mematikan mesin, menarik kunci, lalu membuka pintu.

"Ayo turun," ucapnya.

Moza menarik nafas panjang begitu turun dari dalam mobil. Gugup, tentu saja gugup. Ini langkah pertamanya untuk benar-benar menuju status sebagai istri Abri. Ia mencoba tersenyum menenangkan diri. “Bisa, Za. Kamu pasti bisa,” gumamnya pelan.

Tapi langkahnya terhenti ketika sadar... semua mata prajurit di sana menatapnya. Dari ujung kepala sampai kaki. Matanya otomatis menunduk. Ia memeriksa bajunya. “Apa aku kelihatan aneh? Jangan-jangan bajunya nggak cocok? Aduh, Mami…” Batinnya cemas sendiri akan penampilannya, takut malah malu maluin Abri.

Abri memperhatikan reaksi para prajurit yang terang-terangan menatap Moza. Ada yang sampai menganga, ada yang menggeleng-geleng kagum, dan ada yang hampir meneteskan air liur. Seragam Persit yang dikenakan Moza hari ini memang terlalu cantik dipadukan dengan wajah lembut dan pipi merona itu.

“Ekhem!” deham Abri keras sebagai kode pada seluruh prajurit yang memerhatikan Moza agar berhenti menatap gadis itu.

Taukan, tampang-tampang monyet baru sekali melihat pisang. Nah, begitulah tampang prajurit disana.

Para prajurit langsung siaga. Yang mengerti maksud Abri segera membuang pandangan, ada yang langsung berdiri tegak, bahkan ada yang kabur sambil menggaruk-garuk kepala. Tatapan Abri cukup untuk membuat siapa pun lari terbirit-birit. Tatapan “jangan coba-coba” ala Kapten Abri.

Cemburu kah?

Moza sempat tersentak mendengar dehaman itu. Tapi pipinya makin memerah saat sadar Abri kini berdiri di sampingnya.

"Ikuti saya." Katanya Abri datar mulai melangkah. Moza mengangguk kecil dan mengikutinya dari belakang.

Sepanjang jalan, tak sedikit prajurit yang memberikan hormat pada Abri dan di balas dengan anggukan dan senyuman ramah oleh pria itu. Kontras sekali dengan sikap dinginnya ke Moza tadi.

Beberapa prajurit mulai menggoda. Dari mulai Senior maupun junior Abri melihatnya membawa anak jenderal Hamzah untuk pengajuan.

"Kiw, kiw... Kapten main jalur orang dalam nih, mantap!”

Abri mengabaikan lanjut melangkah. Tapi langkahnya terhenti ketika Dwika muncul di hadapan keduanya, menghadang jalan mereka. Mau tak mau keduanya berhenti.

"Minggir!" kata Abri malas berdebat.

Tapi namanya Dwika, mana mau dia mendengarkan ucapan bernadakan perintah dari Abri itu. Ingat pangkat mereka sama. Ia malah menatap Abri dan Moza secara bergantian dengan bibir mengatup menahan tawa. Wajahnya Sangat menjengkelkan.

Lalu selanjutnya Dwika malah bersiul menggoda "ada yang mau pengajuan nih..." Tidak lupa ia mengedipkan sebelah matanya genit. Boleh Abri giles gak si ini manusia?

Di goda seperti itu membuat rasa ingin menghilangkan Dwika dari muka bumi muncul seketika. Kakinya berayun siap menendang Dwika, namun dengan sigap Dwika melompat menjauh dan tawanya pecah saat itu.

“Gandeng dong, Bri. Masa calon istri jalan sendiri? Lihat tuh pasangan lain, gandengan semua.” Kompor Dwika menunjuk beberapa pasangan yang akan pengajuan juga berjalan saling bergandengan.

Moza langsung salah tingkah. Pipi merahnya makin jadi. Sementara Abri sudah mendelik. Buldoser mana buldoser? Abri ingin menggilas manusia satu ini hingga gepeng menjadi keripik Dwikara cap tuyul.

Belum juga siap berurusan dengan Dwika, para anggota semprulnya malah datang berbondong-bondong. Tentu saja di ketuai oleh Gilang. Mau keroyokan jilid dua, heh?

Abri memutar bola matanya malas melihat tingkah mereka.

"Mau apa?" Tanya Abri dingin.

Gerombolan itu menghentikan langkahnya tepat di hadapan Abri dengan tubuh yang merinding, Abri mode dingin begini seremnya tak tertolong. Prajurit yang di banting Abri kemarin juga ada di sana. Ia bahkan beringsut mundur, takut kejadian dua hari lalu terulang kembali. Sakit di tubuhnya saja belum hilang ini. Jangan sampai di banting lagi.

Tapi pertanyaan Abri tidak di gubris oleh Gilang and the gang, mata mereka langsung tertuju pada Moza yang berdiri menunduk di samping sang kapten yang menurut mereka gadis cantik itu kini tengah tertekan, kasian sekali. Hati mereka masih berat untuk merelakan gadis itu pada kapten patah hati mereka. Tapi melihat tatapan Dwika yang mengintimidasi mereka mau tak mau mereka harus mencoba merelakannya. takut ancaman Dwika pagi tadi benar terjadi.

"Nona Moza, calon istri kapten Abri?" Tanya Gilang. Dan itu membuat kening Abri berkerut. Dia tidak salah dengarkan mereka menyebut Moza sebagai calon istrinya. Memang iya, Moza itu calon istrinya hanya saja kan mereka semua ini tidak setuju jika Abri dan Moza sampai menikah. Bahkan sampai pagi tadi pun mereka semua masih mendiamkannya. Lalu ini apa?

Abri menoleh pada Dwika yang saat ini tersenyum puas menatap ke arah anggota Abri itu dan itu membuat Abri tau jawabannya. Dwika lah yang membuat mereka seperti ini.

Moza ingin menjawab, tapi tertahan ketika mendengar decakan Abri.

Tiba-tiba Ibam mengulurkan tangan, “Ibam,”

Belum sempat bersentuhan, tangan itu ditepis oleh Abri. “Jangan coba-coba,” desisnya tajam.

Ibam mengangkat bahu. “Bias aja dong, Ndan. kan kita cuma Kenalan doang ini, bukan dibawa lari. Pelit banget." cibirnya.

Dwika terkekeh lalu ikut menimpali "jangan pegang bam. Di caplok calon suaminya terus di hap! Baru tau rasa." Peringat Dwika sambil meledek Abri "Za, awas loh kamu juga jangan dekat dekat nanti di hap sama dia." tunjuk Dwika terang-terangan pada Abri.

Tuhan! manusia satu ini bener-benar membuat kesabaran Abri menipis. Abri itu terkenal si kapten paling sabar sebatalyon, buktinya hanya dia kapten yang masih bisa mengendalikan kesabarannya sampai saat ini padahal anggotanya tidak ada yang waras satupun. Jangan sampai cap itu hilang karena ulah Dwika, si Komandan pleton sebelah.

“Ipar kamu, Dwi?” Tanya salah seorang prajurit yang ada di sana.

Dwika mengangguk bangga. "Cantikkan?" Kompornya sambil melirik Abri yang sudah mengeraskan rahangnya. Ia memang sengaja menguji seberapa tidak tertariknya pria itu pada adik iparnya. Tidak mungkin sekali gadis secantik Moza tidak memikat pria patah hati ini kan? Bohong kalau kata Dwika.

"Bukan main bang... Ada gak yang kayak nona Moza lagi bang? Kalau ada bilang sama bapak jenderal sisakan samaku satu," Ujar Denis.

Dwika menggeleng "sayangnya, Moza yang terkahir. Mau ambil, di persilahkan. jalannya masih luas Pumpung belum masuk ke ruang pengajuan." lirik Dwika lagi pada Abri yang kini sudah melotot padanya.

"Wah, ser–" Denis tidak jadi melanjutkan candaannya saat melihat raut wajah Abri. Sungguh tampangnya jadi double-double mengerikan menghunus sampai ke lambungnya. Dia yakin tidak akan lama lagi, kaptennya itu pasti akan membabat habis satu kesatuan ini kalau masih ada yang terus mengganggunya. Lihat saja cara menatapnya yang sudah tak seteduh biasanya.

"Halo, ah ya. Siapa komandan siap." Tiba-tiba saja Denis menempelkan ponselnya sebagai dalih untuk lari dari sana. Cukup sampai sini, dia tidak ikut ikutan.

"Bam, yok bam. Komandan manggil," ia menepuk pundak Ibam mengajaknya ikut pergi dari sana.

"Lang, vin. Yok. Komandan panggil! Bubar!" Ia juga tak lupa menyeret Gilang dan juga Marvin. Hanya Dico yang tidak ada di sana karena ia masih menyelesaikan tugasnya yang tidak selesai-selesai di ruangan Abri.

Denis setia kawan kok, biar yang lain yang di amuk oleh Abri, jangan mereka. Akhirnya mereka menuruti Denis tanpa tau jika mereka sudah di bohongi. Mereka percaya saja saat Denis mengatakan jika komandan memanggil mereka.

Sementara Dwika sendiri kini menepuk pundak Abri sambil berbisik "langkahmu sudah benar." Sambil melirik Moza "nanti sebelum pulang mampir kerumah za, Jasmine katanya kangen. Rileks ya za, gak usah gugup, semua pasti udah di urus papi. Kamu tinggal duduk manis aja." Ujar Dwika pada sang ipar melihat raut gugup di wajah Moza. Ia ingat pengajuannya enam tahun lalu bersama Berlian pun berjalan mulus berkat Hamzah–ayah mertuanya.

Dwika Pamit pergi dari sana meninggalkan Abri yang kini sudah menghela nafas berat.

"Kalian semua juga bubar! Atau mau saya banting satu satu!" Peringatnya mengusir yang lain juga. Kepalanya mendadak pusing sekarang.

“Ayo,” kata Abri lagi pada Moza, yang sejak tadi diam.

Moza hanya mengangguk pelan, mengikuti sang kapten menuju langkah besar berikutnya—pengajuan pernikahan.

1
'Nchie
🤣🤣🤣🤣ih lucu banget Ray...nunggu gede nya Ray seru nih😂makasih banyak bonusnya ..thor ..sehat2 selalu 😊
Bun cie
trims boncap nya kak..
duh junior nya bang abri dan moza luar biasa bikin bahagia😍
Shanty
ditunggu kisah rayden nya ya kakak cantik 😁
Novie Achadini
lanjut abri samoe jendral besar dong thor
dewi_nie
makasih Thor bonchap level 1nya..
lanjut cerita saudara abri ya Thor..cayo semangat2,,,💪💪💪🔥
Chusnul Chotimah
makasih Thor bonchap nya,,ku tunggu lanjutan dari bang Argan atau Aidan pun boleh thorr..semua karyamu keren thorrr👍👍👍👍
Peni Sayekti
bisa aja komandan Lay. gak kebayang cempaknya papa abri jadi parasut Tiger /Grin/
syora
siap thorrrrrr
syora
semangattttt untuk karya karyanya thorrr😍😍😍😍😍😍😍
8G-Carrisa Talitha Sinaga
😁😁 nanti ada kisah seperti my letnan g ka,,
trus berlanjut gitu,,besarny Raiden sm Ara 😘🙏🙏
Dwi Atefia
coklat susu kapan up thor
Chika cha: sabar ya kak
total 1 replies
Risha Bie
aaa makasih banyak thor buat bonchapnya tp masih kurang...
Arieee
mantap🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
Tini Uje
ih..hatiku berisik bgtt thor pengen bonchap lagi 🤣terimakasih othor 🫰
Nick_Hen
terimakasih othor...sehat sehat..lanjut cerita
waode febrianmita
ceritanya baguss bangettttt bakalan kangen sama cerita novel in🥲 pokoknya the best den buat si pembuat cerita lopppyouuuu thor🥰
Aan_erje
cerita nya bagus..ada kesel nya ada tegang nya dan ada juga yang menguras emosi serta air mata pembaca..tp banyak jg yg manis2 nya dan bikin kita ikutan baper...paket komplit lah
Slamet Hariadi
lanjut dong.kalau gitu extra partnya banyak.....banyak aq tunggu lho
Novie Achadini
ruaaaaarrrr biasa tjor ceritanya bagus bgt
Widayati
makasih thor, akhirnya....
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!