Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Awalnya Persahabatan
Tembang Gula-Gula masih mengalun. Elvi Sukaesih sedang mendendangkan kata gula-gula-gula-gula berulang kali. Kurang jelas kenapa Tini memilih lagu itu sebagai lagu kemenangan untuk Dijah.
“Ayo—ayo, bubar. Yang mau kerja, sudah bisa berangkat kerja. Yang mau nyuci, silakan tampung air. Yang mau keluar dari kos-kosan, silakan dibereskan pakaiannya. Harga diri seorang manusia itu terletak pada kemampuannya menepati janji,” seru Tini dengan mic. Ia masih duduk di depan pintu kamar Boy.
“Udah! Berisik!” sergah Boy, menurunkan volume speaker sambil menutup sebelah telinganya.
“Aku mulai suka sama speaker-mu ini,” ujar Tini seraya bangkit dan menyerahkan mic pada Boy. Tini menyeberangi halaman menuju Mak Robin yang sedang membawa Dijah masuk ke dalam kamarnya.
“Aku nggak apa-apa, kok, Mak.” Dijah tertawa di depan pintu kamarnya.
“Apa pula kau nggak apa-apa. Bibir kau luka, Jah!” seru Mak Robin.
Dijah mengusap bibirnya dengan leher kaus oblong yang ia kenakan. Sambil melihat bagian leher kausnya Dijah berkata, “Enggak apa-apa, Mak. Masih luka kecil,” ucapnya.
“Oke, Mak. Dari sini aku yang tangani,” kata Tini yang baru saja masuk ke kamar Dijah.
“Udah macam dokter pula kau kutengok,” tukas Mak Robin, menarik ujung rambut Tini dan berlalu dari kamar Dijah. Saat Mak Robin berbalik menuju keluar, “Bah! Kapan kau bangun? Kok diam-diam aja kau?” tanya Mak Robin pada anaknya.
Robin berdiri di depan pintu kamar masih dengan seragam paginya. Celana panjang yang kekecilan dan kaus dalam yang warnanya tak lagi putih. Kerak air liur masih menempel di kedua pipi mulut bocah laki-laki itu.
“Besok pagi si Robin bangun tidur aku kasi mic. Biar nggak diem-diem aja,” ucap Tini.
“Kalo udah siap urusan kau, mandilah kau Tini!” Mak Robin menggandeng anaknya kembali ke kamar.
Dijah duduk di lantai kamarnya dan menarik kotak sepatu bekas dari bawah tempat tidur.
“Apa itu?” tanya Tini, ikut duduk di lantai melihat benda yang dikeluarkan Dijah.
“Obat luka,” jawab Dijah, membuka kotak sepatu dan mengorek isinya mencari salep luka.
“Sini aku bantu,” kata Tini, mengambil salep luka dari tangan Dijah dan sebuah cotton bud untuk menitikkan salep itu. “Obat luka kamu lengkap banget, Jah.” Tini melirik kotak sepatu sekilas.
“Persediaan. Aku nggak tau kapan digebukin,” ucap Dijah.
“Siapa?” tanya Tini penasaran. Selama hari ini, ia memang tidak tahu dari mana Dijah memperoleh luka-lukanya.
“Mantan suamiku,” jawab Dijah.
“Kok bisa pisah?” tanya Tini.
“Aku nggak mau, aku nggak cinta. Jadi dia suka nyiksa aku,” jawab Dijah.
“Enggak cinta kok bisa nikah?” tanya Tini lagi. Ia sudah siap menotolkan luka Dijah dengan salep. Saat menanyakan hal itu, Tini tak mau berlama-lama memandang wajah Dijah. Ia tak ingin wanita itu merasa diintimidasi.
“Dipaksa bapakku,” jawab Dijah, beringsut mundur dan membuka kantong belanjaan yang tadi ditentengnya. “Aku nggak punya apa-apa, Tin. Aku cuma punya Dul. Kasian Dul, kalau aku nggak ngerawat dia baik-baik. Harapanku cuma masa depan Dul. Aku nggak punya masa depan lagi,” ucap Dijah, menarik piring seng dan mengambil pisau. Ia mulai mengupas bawang merah di atas plastik.
“Siapa bilang?” tanya Tini. “Seminggu ke depan juga termasuk masa depan, Jah. Masih bisa bernapas juga masa depan. Kamu ngomongnya, kok, gitu.” Tini duduk di lantai menyandari tepi ranjang.
“Aku heran. Lastri itu—aku nggak ada ganggu cowoknya. Kenal aja enggak. Kenapa dia nggak nyalahin cowoknya ketimbang nyalahin aku? Kenapa dia tutup mata sama kesalahan cowoknya? Takut kehilangan? Cepat atau lambat pasti ketauan asli cowoknya kayak apa. Kok malah sanggup ngata-ngatain aku kayak gitu. Padahal aku nggak kenal dia. Bawa-bawa anakku. Siapa yang mau ngasi makan, katanya.” Dijah menyeka air matanya memakai kerah kaus.
“Kamu nangis?” tanya Tini.
“Ngupas bawang, Tin,” jawab Dijah.
“Oh, iya.” Tini menghela napas. “Tadi kamu mau bilang apa ke aku? Sebelum gelut sama si Lastri?”
“Oh, itu .... Enggak apa-apa. Enggak usah dipikirin,” kata Dijah.
“Jah, sini.” Tini menepuk lantai di sebelahnya.
Dijah menoleh dan meninggalkan dua butir bawang yang membuatnya menangis. Setelah menghela napas sejenak demi melegakan paru-parunya, Dijah ikut duduk di sebelah Tini.
“Ambil, coba satu.” Tini menyodorkan sekotak rokok pada Dijah. “Kata Pak Paijo, merokok sebatang bisa membantu mengeluarkan setan dari atas kepala. Sakit kepala berkurang dan kita jadi sedikit lega,” tutur Tini.
“Ini rokok atau obat sakit kepala, Tin?” tanya Dijah dengan raut serius, mengambil sebatang rokok dan mengikuti cara Tini menyalakannya.
“Coba aja, Jah. Masih gratis. Nanti kalo suka beli sendiri,” ujar Tini.
“Sayang duitnya, Tin. Mending buat jajan Dul,” sahut Dijah.
“Bapakmu sadis juga, ya, Jah. Bisa kayak gitu ke kamu,” tukas Tini.
“Enggak taulah, Tin. Udah nasibku. Dulu aku ngerasa nggak bisa membela diriku sendiri. Sekarang aku ngerasa bebas, Tin. Walau aku masih babak belur. Setidaknya nggak ada yang bisa maksa aku. Bapakku pemalas, Tin. Hobinya judi. Itu juga yang bikin aku malu untuk didekati laki-laki. Siapa yang mau sama janda kayak aku. Muka biasa-biasa aja. Keluarga kayak gitu. Aku punya anak. Mantan suami bajingan.” Dijah mengembuskan asap rokoknya.
“Bapakku juga pemalas, Jah. Harusnya bapak-bapak itu bersyukur hidup di jaman sekarang, ya, Jah. Kalau jaman dulu, pasti disuruh perang. Manusia, kok, nggak ada bersyukurnya.”
Dijah memandang Tini dengan raut serius. “Iya, bener juga kamu Tin.” Dijah dan Tini lalu tertawa terbahak-bahak.
Itu hanya sekilas tentang Dijah yang diketahui Tini. Selebihnya, Tini hanya memperoleh cerita dari sepotong-sepotong perkataan Dijah yang harus ia urutkan sendiri. Perempuan pertama yang ia rasa menarik untuk dijadikan sahabat, tetap tak mau terlalu terbuka padanya. Hidup Dijah bagai tertutup selubung yang ingin tetap ditutupnya rapat-rapat.
“Tin, di mana aku bisa dapet uang cepet? Aku lagi perlu uang,” kata Dijah tiba-tiba.
“Ini yang mau kamu omongi dari tadi?” tanya Tini.
Dijah mengangguk dengan enggan. “Iya. Aku mau bawa beli obat ibuku. Kalau beli resep yang biasa, kok, sembuhnya kok lama. Mau beli yang agak bagus,” kata Dijah.
“Mau pinjeman?” tanya Tini.
“Jangan, Tin. Aku nggak yakin kapan bisa bayarnya. Mulung sehari Cuma dapet 30 ribu. Kerja di cafe 50 ribu. Itu habis buat makan dan belanja anakku,” jelas Dijah.
“Uang yang cepet itu dapetnya nggak enak, Jah. Kamu harus mengkhianati hati dan tubuhmu sendiri. Apa kamu mau megang-megang burung orang?” tanya Tini tak bersemangat. Ia ingin membantu, tapi Dijah bisa dipastikan tak akan menyukai idenya.
“Megang burung maksudnya? Burung beneran atau burung laki-laki, Tin?” tanya Dijah dengan alis mengernyit.
“Burung laki-laki, Jah. Yang lumer kalau kena panas dan gempal kalau kena dingin. Belum pernah liat?” tanya Tini dengan wajah serius.
Dijah menggeleng. “Enggak yakin aku. Kayaknya belum,” sahut Dijah.
“Jadi, kamu kok bisa punya Dul?” tanya Tini bingung. Dijah sepertinya menjawab jujur, tapi Tini benar-benar tak mengerti.
“Aku lupa gimana,” jawab Dijah setengah melamun.
“Aneh,” sahut Tini. “Apa besok kamu mau ikut aku? Ada bapak-bapak gemuk yang sering nawarin aku megang anunya. Pegang sebentar dapetnya bisa banyak. Bapak ini memang bisanya pegang-pegang aja. Kamu pegang dia, nanti dia pegang susumu. Gimana?” tanya Tini tak yakin.
“Dapet banyak, ya? Langsung dikasi? Pasti?” tanya Dijah.
“Bisa dikasi uang muka sama asistennya. Beneran mau?” tanya Tini lagi.
Dijah mengangguk. “Aku mau coba, Tin. Apa susahnya? Kamu aja bisa. Masa aku nggak?” Dijah balik bertanya dengan raut optimis.
“Sebenarnya baik menjadikan seseorang itu panutan. Tapi, denger kalimatmu .... Aku, kok, jadi agak kesel, ya? Aku juga khawatir. Bisa-bisa bapak tua gemuk itu kamu bantai karena nyentuh kamu,” tukas Tini, melirik wajah Dijah yang masih sama seriusnya.
“Oke, nanti sore kita coba. Aku anter dan aku tungguin kamu sampe selesai,” ucap Tini, menepuk pundak Dijah.
To Be Continued
no 1 ga ada yg nmanya bosen..masih tetep ketawa, seperti pertama baca..
no 2, baru kang pirza