 
                            Area Dewasa
Lanjutan dari kisah Kimy dan Satria dengan berbagai kekocakannya. 
Diharapkan baca seasons pertama yang menguras air mata karena cekikikan sebelum mampir ke sini. 
Kelanjutan tentang cerita Satria-Kimy, tapi didominasi kisah cinta Thomas yang berupaya meraih cinta dari seorang janda cantik bernama Amora. 
Akankah Thomas mampu menaklukkan hati Janda Cantik sekelas Amora??
Ataukah dia akan berpindah haluan meraih hati diriku?? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 tahun lalu...
Kimy dan Satria tiba di vila sewaan mereka dengan disambut suasana senja yang romantis. Keduanya adalah pasangan yang paling terakhir tiba, Kimy yang sudah hamil besar jadi sering minta berhenti untuk pipis, namun bukan hanya itu, sekitar 3-4 kali mobil yang mereka tumpangi berhenti di rumah makan ataupun di minimarket terdekat untuk membeli cemilan untuk si Ibu Hamil.
"Sunset!" seru Kimy riang saat melihat panorama indah yang menghiasi langit kala itu. Padahal beberapa saat lalu, dia terus saja mengeluh capek, bahkan kakinya nampak sedikit bengkak.
"Ibu udah nyiapin aer anget untuk kamu ngerendem loh." Satria mengingatkan.
Tapi Kimy tak acuh, bahkan saat ini kakinya sudah menapak di pasir putih yang lembut tanpa alas. "Coba aku bawa cat sama kanvas, aku pasti— Aaaarrrggghhh." Betapa kesal dirinya yang melupakan benda-benda berharga yang bisa membuat Babymoon berjamaah ini makin bermakna.
"Kan kita ke sini mau babymoon." Satria memeluk tubuh kecil istrinya dari belakang tubuh Kimy, melingkarkan kedua tangannya di perut buncit yang entah kebetulan atau memang respon dari bayi mereka yang ikut senang, bayi di dalam perut yang baru memiliki bobot sekitar 1000 gram itu terus bergerak-gerak dalam perut ibunya.
"Senja!" ucap Kimy pelan sambil ikut mengelus bayi mereka.
"Apa?" Satria bingung.
"Aku mau nama si Dedek Senja," pinta Kimy, menengadahkan wajahnya untuk menatap wajah suaminya.
"Senja itu kan magrib, Moy. Masa si Dedek artinya magrib, gak keren banget. Bayi Bule arti namanya magrib," keluh Satria.
"Senja, Kak. Senja. Senja itu cantik, romantis, melankolis, dan lembut. Aku mau si Dedek kayak gitu."
Satria tak menimpali, meski hatinya mencibir ucapan istrinya sendiri.
Lembut, cantik, romantis, melankolis? Produsennya aja macem gini.
Meski Satria pun menginginkan anak mereka memiliki sifat yang Kimy sebutkan tadi, tapi dirinya sendiripun sangsi, apa bisa putri mereka memiliki sifat yang berlawanan dengan sifat yang dimiliki kedua orang tuanya.
"Harus sering-sering diasuh sama Mama, jangan sama Ibu kalau gitu," celetuk Satria.
Dan kedua pasangan minim akhlak itupun terbahak-bahak mengingat perbedaan sifat kedua wanita yang mereka sayangi itu.
🌊
🌊
🌊
🌊
🌊
🌊
Menyesal, itu yang Amora rasakan sekarang. Melihat semua orang bersuka ria menikmati indahnya pemandangan laut biru dengan hamparan pasir putih yang lembut, Amora malah mengingat kembali sosok pria yang tiba-tiba saja menghilang dan dengan jahatnya dia membawa sepotong hati Amora.
Otak Amora tak hentinya memvisualisasikan wajah tampan pria yang begitu ia rindu, senyumnya, tawanya, wajah seriusnya dia saat berpikir, bahkan saat wajah tampan itu menggodanya dengan jail pun Amora masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Ya, hati Amora akhirnya mengakui jika dirinya sedang merindukan Thomas.
Dari kejauhan terlihat Kimy dengan perut buncitnya sedang berjalan-jalan menyusuri pinggir pantai sambil bergandengan tangan dengan Satria, dan itu semakin membuat hati Amora teriris perih. Dia ingin seperti itu juga, menyusuri pantai berpasir lembut itu dengan tangan Thomas yang menggenggamnya erat, seperti yang Satria lakukan kepada adiknya.
"Kamu dimana sih?"
"Kenapa kamu gak perjuangin aku?"
"Cinta kamu cetek tau!"
"Tapi aku kangen." Amora bermonolog kesal, meremas pasir kemudian melemparkan jauh ke laut, begitu seterusnya.
"Kamu lagi apa?" tanya suara pria yang menyapa dirinya.
Amora menoleh, tersenyum kecil kemudian kembali menatap batu karang besar yang tak henti-hentinya dihantam ombak. "Sunbathe (berjemur). Matahari sama udaranya bikin aku fresh," jawabnya pada Rahardian yang ikut duduk dengan sebelumnya menjadikan sandal untuk menjadi alas duduk pria tua itu.
Rahardian menatap jauh lautan yang ada di hadapannya. Menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan.
"Apa arti lautan buat kamu?" tanya Rahardian.
Amora menoleh, heran dengan pertanyaan sang ayah. Meski dia dan ayahnya bekerja di perusahaan yang sama, dan hidup di atap rumah yang sama juga, namun untuk mengobrol santai sepertinya jarang sekali mereka lakukan berdua saja, dan hampir tak pernah seingatnya. "Laut? Maksudnya?"
"Kata pertama saat kamu liat laut itu apa? Karena kata orang banyak kata yang tersembunyi dalam birunya laut itu, berbeda orang berbeda juga maknanya."
"Entah. Yang pasti aku suka laut. Aku selalu suka, karena kita emang jarang ke sini." Amora tersenyum kali ini ia menatap cakrawala. "Kalau menurut Ayah, laut itu apa?" Amora balik bertanya.
"Rindu." Matanya tetap menerawang pada hamparan laut di hadapannya.
Jawaban Rahardian kembali mengingatkan Amora pada Thomas. Dan sepertinya, kali ini Amora setuju dengan ucapan ayahnya.
Aku juga rindu. Rindu kamu. I miss you like crazy.
"Kenapa?" tanya Amora. "Kenapa rindu? Punya momen apa Ayah dengan laut dan kerinduan?"
"Kamu pasti tau, kalau Ayah itu adalah laki-laki yang paling gak peka di seluruh dunia, bahkan saat Ibu kamu terang-terangan deketin Ayah dulu aja, Ayah masih gak sadar dengan perasaan Ibu kamu. Apalagi dengan perasaan Ayah sama Ibu." Rahardian terkekeh mengingat kejadian puluhan tahun silam. "Sampai suatu hari, Ibu kamu ngajak Ayah pergi ke pantai, berdua aja, gak seperti biasanya, karena biasanya kita biasanya jalan-jalan tuh barengan sama temen-temen kampus yang lainnya. Ayah kaget awalnya, tapi kata Ibu, dia lagi pengen sendiri, tapi takut sendiri, jadi minta temenin Ayah." Rahardian menghela sekejap, "seharian itu kita jalan-jalan aja di pantai tanpa tujuan, sampai akhirnya Ibu bilang, 'kita kayak orang pacaran gak sih?', Ayah masih belum bisa nangkep ucapan Ibu kamu, cuek aja. Cuma jawab gini aja." Seraya mengedikkan kedua bahunya mereka ulang adegan masa lalu tersebut.
"Marah dong Ibu? Kebayang deh sama aku Ibu nyerocos kayak petasan di kawinan." Amora cekikikan.
"Tapi Ibu gak ngelakuin itu, dia cuma diem aja abis itu, gak ngomong apa-apa. Kayak gak nganggep Ayah ada. Jalan sendiri aja, bahkan saat beli makanan yang dijual pedagang yang lewat pun, Ayah gak ditawarin makanan yang dia beli." Kali ini Rahardian menceritakannya dengan sangat kesal.
...30 tahun lalu… ...
Ini akhir pekan, dia yang beberapa malam terakhir ini kurang beristirahat berniat ingin menuntaskan kerinduan akan empuknya kasur di kamarnya dengan tidur seharian di akhir pekan.
Tapi apalah daya, manusia hanya bisa merencanakan tapi tetap Tuhan lah yang menentukan. Niatnya menghabiskan sisa akhir pekannya dengan tidur di kamar tidur pupus sudah karena tiba-tiba saja malam tadi, teman perempuannya yang bernama Dina memintanya untuk ditemani menyendiri.
Ditemani menyendiri. Permintaan yang cukup aneh.
Ya, aneh memang, tapi tak heran sih, sebab gadis itu adalah gadis yang tingkah lakunya paling absurd di antara teman-temannya yang lain. Ada saja ide gilanya yang berhasil membuat semua orang geleng-geleng kepala dengan tingkahnya.
Tapi anehnya banyak sekali pria di kampusnya yang begitu mendambakan perempuan yang memang sangat cantik dan cerdas itu.
"Kalau aja mereka tau gimana soaknya otak elu, gak akan kayaknya mereka capek-capek nulis-nulis surat cinta and puisi buat elu." Itulah yang sering teman mereka katakan jika Dina memamerkan surat cinta dari para penggemarnya.
"Kamu mau ditemenin nyendiri di mana?" tanya Rahardian saat senyum Dina menyapa netra matanya.
"Mantai yuk!" ajaknya semringah sambil menutup pintu mobil, tak seperti seorang wanita yang sedang dilanda kegalauan.
Mereka berdua menikmati indahnya pantai seperti sepasang kekasih, mengobrol, tertawa dan bahkan saling beradu lelucon, ya meski tetap Dina yang mendominasi.
"Kita kayak orang pacaran gak sih?" tanya Dina sembari bermain kejar-kejaran dengan ombak.
Rahardian terkejut awalnya, setelah dipikir mereka memang seperti sepasang kekasih, berjalan berdua, bercanda dan tertawa di sebuah destinasi yang memang sering dikunjungi oleh para pasangan kekasih. Karena bingung harus menjawab apa, Rahardian hanya mengedikkan bahunya, dan itu adalah hal yang sepertinya menjadi awal perubahan suasana hati Dina. Si Cantik nan ceria.
Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Dina setelahnya, bahkan gadis itu seolah tak melihat keberadaan Rahardian di sana. Dia lebih banyak diam, berkejaran dengan ombak seorang diri, menyapa para turis asing dengan kecentilannya, hingga membeli jajanan yang dijual para pedagang yang lewat pun, Dina tak sedikitpun menawari Rahardian.
Rahardian murka. Jelas, pastinya. Bayangkan saja siapa yang tak marah jika menjadi orang yang tak dianggap padahal dia selalu ada di samping dirinya.
"Na!" seru Rahardian saat Dina sedang memesan bakso yang dijual di lokasi pantai.
"Eh, kamu masih ada di sini?" Seolah terkejut. Cuma akting.
"Apa kamu bilang? Kamu kenapa sih? Jangan bilang kamu lupa kalau kamu ngajak aku ke sini! Jangan bilang juga kalau kamu gak nganggap aku ada!" Rahardian benar-benar marah karena sikap wanita itu.
Bukannya menbalas ucapannya apalagi marah, Dina malah tertawa. Tertawa mengejek lebih tepatnya. "Akhirnya kamu ngerasain apa yang aku rasain," ucapnya dengan getir. Ada rasa sesak dan sakit di dadanya saat kalimat itu berhasil keluar.
"Maksudnya?" Masih dengan nada tinggi.
"Iya. Itu yang aku rasain selama ini, ada tapi gak dianggap, ada tapi gak dirasa, ada tapi gak diliat. Itulah aku buat kamu." Matanya mulai berkaca-kaca.
"Na!" Rahardian begitu terkejut dengan respon gadis yang biasa berbicara tanpa berpikir itu, selama kenal Dina baru kali ini Rahardian melihat perempuan itu menangis. Sialnya, dialah pelakunya.
"Elu kenapa sih, Na?" Rahardian mendekat, duduk di tempat duduk dari papan kayu yang sengaja dibuat di antara dua pohon.
Dina tak menjawab, hatinya terlalu sakit saat itu hingga tak sepatah katapun yang mampu terucap dari bibirnya.
"Elu ngomong apa sih? Atau elu sebenarnya kenapa?" Rahardian begitu bingung melihat Dina menangis sambil menutup wajah, seperti malu dilihat menangis oleh dirinya.
Setelah lama menunggu akhirnya Dina melepaskan kedua tangan yang menutupi wajahnya. "Aku mau sendiri."
"A, a, apa?" Rahardian masih belum paham.
"Aku mau sendiri, aku malu."
"Malu? Malu sama siapa?" Sejak kapan perempuan itu punya rasa malu?
"Malu sama kamu, tapi terutama sama diri aku sendiri." Wajahnya tertunduk saat menjawabnya. Karena kenyataannya Dina memang sangat malu.
"Why?"
"Karena aku dengan bodohnya udah membohongi diri aku sendiri selama ini bahwa kamu suka sama aku—"
"Aku suka sama kamu," potong Rahardian.
"Bukan suka seperti itu, karena aku suka kamu itu lebih dari yang kamu tau, aku suka kamu sebagai lelaki bukan temen. Aku sayang kamu, bahkan lebih. Apa kamu gak bisa liat semua perhatian yang udah aku lakuin selama ini ke kamu?"
Rahardian tertegun. Suka? Sayang? Apa ini?
"Apa kamu tau itu? Gak kan? Jangan kan untuk membalas rasa yang aku miliki buat kamu, bahkan kamu sendiri aja gak bisa liat siapa aku buat kamu."
"A, a, aku—" Rahardian kehilangan kata untuk menjawab. Dia terlalu syok dengan ungkapan perasaan yang perempuan yang selama ini hanya ia anggap teman. "Maafin aku, Na. Tapi sumpah demi apapun, kalau aku emang beneran gak tau apa yang kamu rasain ke aku."
"Dasar beloon!" ucap Dina sambil bangkit dari duduknya, "bayarin basonya. Aku gak punya uang!"
Dan sejak hari itu tak ada lagi Dina yang selalu berhasil membuat tawa harinya.
...Minta Kopi sama Kembang boleh? 🤭...
mirip bersin nya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
ampe berair mata ku ya Allah gustiiiiiiii 😄😄😄.
bingung mau nulis apa ketawa dari awal ampe ahir udah cukup 😄😄.
si bumil mode kalem 😅😅.
baca doa makanya kalau mau bobo onta 😄😄.