Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Antonio duduk di kursi panjang ruang tamu dengan raut wajah tegang. Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu, menandakan kegelisahan yang tak mampu disembunyikan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin, namun pikirannya tidak berada di sana.
Pikirannya penuh dengan bayangan tentang Gabriel—lelaki yang kini menjadi kekasih Serena. Dalam pandangan Antonio, pemuda itu hanyalah pengganggu yang tidak memiliki masa depan. Penampilannya yang berantakan, pakaian seadanya, serta cara bicaranya yang lugas dianggap tidak pantas untuk mendekati anak dari keluarga yang sudah memberi nama besar pada Serena.
“Anak itu tidak pantas mendekati Serena,” ucap Antonio pada Melvia, ketika mereka sedang berbincang di ruang makan.
Melvia menatap suaminya dengan pandangan tenang. “Pa, mungkin apa yang dikatakan oleh Serena benar, Gabriel hanya penampilannya saja yang kurang rapi, tapi sebenarnya dia baik.”
Antonio menyandarkan tubuhnya dengan napas berat. “Kamu tidak tahu apa yang kulihat, Ma. Lihat dari caranya berjalan, dari cara dia menatap orang yang lebih tua. Ada pembangkangan di matanya. Lelaki seperti itu hanya akan menyeret Serena pada masalah.”
Melvia tidak membantah lagi. Ia tahu betul, jika suaminya sudah berbicara seperti itu, tidak akan mudah melunakkan hatinya. Antonio memang terbiasa menilai seseorang dari tampilan luar, bukan dari isi hati.
Yang tidak pernah disadari Antonio adalah, Gabriel bukan sembarang pemuda. Lelaki itu sebenarnya cucu dari keluarga besar Navarro—salah satu nama yang disegani di bidang bisnis otomotif dan investasi internasional.
Namun, karena sikap Gabriel yang diluar dari kepercayaan Julian. Rasa kecewanya muncul pada didikkan Wilton anaknya. Gabriel dikenal sebagai badboy yang sering berkelahi, pulang malam, bergonta-ganti pasangan dan sulit diatur selama ini.
Hingga membuat Julian, mempercayakan satu-satunya harapan pada Nicholas. Namun, keluarganya belum tahu jika Gabriel sudah berubah sedikit demi sedikit karena Serena.
Serena memberikan kesempatan pada Gabriel untuk berubah, jika memang pria itu ingin menjalin kasih dengannya, hingga tanpa ada hubungan s*ks bebas saat bersamanya pun, pria itu mau menuruti membuat kesepakatan dengan Serena.
Sayangnya, justru itulah yang membuat Antonio semakin membenci. Dalam benak Antonio, seseorang yang menolak menunjukkan asal-usulnya hanyalah orang yang tidak memiliki arah. Dia bersikap keras pada Serena demi kebaikan anaknya sendiri.
*
*
Langit malam menurunkan kegelapannya perlahan ketika Serena menuruni tangga. Setiap langkah terasa berat. Sakit yang menjalar di tubuhnya seolah menjadi pengingat pahit dari luka yang belum kering. Aroma masakan dari ruang makan tercium samar, tapi sama sekali tidak membangkitkan selera.
Antonio sudah duduk di meja makan, mengenakan kemeja putih rapi seperti biasa. Sorot matanya tajam menatap setiap gerakan anak angkatnya. Sementara Melvia duduk di sebelahnya dengan wajah yang berusaha tetap tenang.
“Bagus, akhirnya kamu pulang juga. Syukurlah kalau masih ingat rumah,” suara Antonio terdengar datar namun penuh sindiran.
Melvia segera menimpali dengan nada lembut, “Pa, sudahlah. Kita makan dulu. Jangan bahas hal lain malam ini.”
Namun, permintaan itu hanya menjadi angin lalu. Antonio menaruh sendoknya, menatap Serena dengan pandangan penuh tuntutan. Pria itu tak pernah tahu cara berbicara tanpa menekan.
Serena duduk perlahan, berusaha menutupi rasa sakit yang masih terasa di setiap gerakan. Tangannya bergetar saat mengambil sendok. Makanan di hadapannya terasa hambar, seolah kehilangan rasa.
Antonio melanjutkan ucapannya tanpa ampun. “Kamu sudah putuskan hubungan kalian itu? Paman tidak mau kamu berurusan lagi dengan anak yang tidak jelas. Mulai besok, kamu dapat guru privat supaya lebih fokus belajar.”
Serena menunduk, matanya menatap piring tanpa benar-benar melihat. Kata-kata itu menusuk, tapi dia terlalu lelah untuk membantah. Lidahnya kelu. Setiap suapan terasa seperti menelan batu.
“Se, kamu punya mulut kan? Kenapa tidak jawab Paman, hah?”
Serena mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan matanya kosong namun penuh perih. “Paman, cukup. Se sudah capek. Dari dulu Paman tidak pernah mencoba mengerti Se. Terserah Paman mau atur hidup Se seperti apa. Se tahu, Se cuma boneka buat Paman, kan? Dan satu lagi, tanpa Paman suruh pun, hubungan Se dengan Gabriel akan berakhir. Paman senang, kan? Maaf, Se sudah kenyang.”
Serena berdiri, berusaha melangkah menjauh dari meja makan. Namun, rasa perih di tubuh membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Dia menahan napas, berjalan perlahan, dan akhirnya menghilang di balik tangga.
Melvia menatap punggung anak itu dengan hati yang bergetar. Ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
“Tuh, Ma,” Antonio bersuara dingin. “Anak yang kamu bela terus itu makin berani melawan. Lihat saja, makin dewasa bukan makin tahu sopan santun. Itu semua pengaruh pergaulan dan pacarnya yang tidak jelas itu.”
Melvia tidak langsung menjawab. Pandangannya masih terarah ke arah tangga yang baru saja dilalui Serena. “Pa, kamu tidak merasa ada yang aneh dengan Se?”
“Maksud kamu, aneh bagaimana?”
“Cara jalannya, Pa. Seperti ….”
Antonio terdiam. Pikiran itu sempat melintas, tapi ia menolak mengakuinya. Pria itu hanya menghela napas berat dan kembali memandang makanannya yang kini sudah dingin.
“Semoga dia masih tahu batas pergaulannya. Jangan sampai dia mempermalukan keluarga ini.”
Melvia tidak membalas. Hatinya terasa sesak. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan ada yang salah. Namun, Serena terlalu tertutup untuk bercerita. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, berharap anak itu tidak sedang menanggung sesuatu yang tidak seharusnya.
Sementara itu, di kamar atas, Serena duduk di tepi ranjang dengan mata kosong menatap lantai. Tangannya menggenggam ujung selimut, menahan air mata agar tidak jatuh lagi. Dalam diamnya, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyembunyikan semuanya. Tidak ada yang boleh tahu—terutama Melvia. Karena begitu rahasia itu terbuka, hidupnya akan benar-benar berakhir.
*
*
Nicholas menatap layar ponselnya, sorot matanya tajam dan penuh hasrat. Informasi mengenai wanita yang menemaninya semalam terpampang jelas, Serena Salvatierra, seorang mahasiswi semester lima dari fakultas yang berbeda dengan Gabriel. Kenyataan ini menjadi alasan dia menyempatkan diri datang ke kampus untuk menemui Gabriel siang tadi.
"Serena," gumam Nicholas, senyum miring terukir di bibirnya. Jari telunjuknya menyentuh lembut wajah wanita itu di layar ponsel. Tidak sulit baginya mendapatkan foto Serena, bahkan yang telah dia abadikan saat adegan paling intim.
Ingatan akan malam itu sontak membuat hasrat Nicholas kembali membara, mendesak, menuntut untuk dilepaskan. Dia menelan ludah, membiarkan pikirannya melayang bebas. Nicholas memejamkan mata, menyandarkan punggungnya di sofa, sementara tangannya mulai bergerak, meraba dan menyelusup masuk ke dalam celananya sendiri, mencari kelegaan.
Namun, lamunannya terenggut paksa. Telinganya menangkap suara yang familiar, memecah keheningan dari arah belakangnya.
"Kamu sudah pulang?"
Seketika, Nicholas menarik tangannya keluar dan mematikan ponselnya. Dia menghela napas panjang, menatap wanita yang kini berdiri di ambang pintu: Isabella, istrinya, dalam balutan gaun dinas.
"Hmm," jawab Nicholas, suaranya terdengar dingin dan kaku, seperti biasa. Isabella sudah terbiasa dengan sikap suaminya yang tak pernah hangat.
Menyadari suaminya akan berdiri, Isabella segera menghampiri dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Tangannya langsung melingkari leher Nicholas, dan dia mencium leher pria itu dengan penuh kerinduan.
"Aku merindukanmu. Kamu tidak pulang ke rumah kemarin malam," bisik Isabella, menjilati daun telinga Nicholas dengan lembut.
"Apa Julian tidak memberitahumu kalau aku diberikan lembur hampir setiap hari?" tanya Nicholas, menyingkirkan tangan Isabella dari lehernya dengan sedikit kasar.
"Ya, tapi kamu tidak menghubungiku. Aku merin—"
"Aku lelah. Aku mau istirahat!" Nicholas langsung bangkit, mendorong tubuh Isabella menjauh, dan berjalan meninggalkan sang istri.
Keterkejutan menghantam Isabella. Ini adalah penolakan frontal pertama dari Nicholas. Meskipun dia tahu suaminya bersikap dingin dan bahkan secara terang-terangan mengatakan tidak mencintainya, Nicholas selalu mau ketika mereka berhubungan intim. Kali ini, semuanya berbeda.
Harga diri Isabella terluka, dan kecurigaan mulai merayap dalam benaknya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kelelahan benar-benar menjadi alasannya?
Sementara itu, Nicholas telah berada di kamar mandi. Di bawah pancuran air, dia mengerang, menggerakkan tangannya di bawah sana. Pikirannya dipenuhi bayangan adegan panas bersama wanita yang hanya dalam semalam berhasil membuatnya jatuh cinta.
"Aah... Serena!" Nicholas merintih, menyebut nama wanita itu saat gerak tangan dan khayalannya semakin liar, semakin menggila. "Oh, sial! Serena...."
Napas Nicholas tersengal di bawah guyuran air shower. Bibirnya tersenyum lebar, senyum kemenangan seorang pria yang merasa wanita itu telah berhasil mencuri hati, pikiran, dan segalanya dari dirinya. Beberapa detik kemudian, dia mulai membersihkan diri, mengusap sabun pada tubuh kekarnya. Sabun itu terasa perih pada bekas-bekas cakaran tajam dari wanita yang baru saja dia sebut namanya.
To be continued…