Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Sidang Dadakan di Ruang Tamu
"Mbak Sumi! Singkirkan piring itu. Di rumah ini, kita tidak makan roti bakar gosong yang penuh karsinogen. Buang! Ganti dengan bubur kacang hijau yang sudah saya masak subuh tadi. Gavin butuh nutrisi, bukan racun."
Suara melengking Bu Laras menyambut pagi yang seharusnya tenang itu. Aroma kopi yang biasa menyeruak dari dapur kini lenyap, digantikan bau jamu yang menyengat dan aroma santan yang terlalu pekat.
Kiana berdiri di ujung tangga, menatap kekacauan di ruang makan open-plan miliknya. Matanya yang masih berat karena kurang tidur memindai pemandangan absurd di depan sana.
Bu Laras duduk di kursi utama—kursi yang biasanya diduduki Kiana. Dia mengenakan daster sutra mahal bermotif batik, rambutnya sudah disanggul rapi seolah dia mau pergi kondangan jam tujuh pagi. Di sebelah kanannya, Alea duduk diam, menunduk menatap mangkuk bubur dengan wajah tertekan.
Dan Gavin? Suaminya itu duduk di seberang Alea sambil memijat pelipisnya, tampak seperti orang yang ingin menenggelamkan diri ke dalam cangkir tehnya.
"Pagi yang indah untuk memulai Perang Dunia Ketiga," gumam Kiana pelan, lalu melangkah mantap menuju meja makan.
Kiana menarik kursi di sebelah kiri Gavin. Namun, baru saja pantatnya hendak menyentuh alas duduk, tangan Bu Laras terulur cepat menahan sandaran kursi itu.
"Siapa yang suruh kamu duduk di situ?" tanya Bu Laras ketus. Matanya menatap Kiana dari balik kacamata bacanya yang melorot di hidung.
Kiana menegakkan tubuh, menatap mertua Gavin itu dengan alis terangkat. "Ini kursi saya, Bu. Ini rumah saya. Saya bebas duduk di mana saja, bahkan di atas kulkas kalau saya mau."
"Tidak sopan," cibir Bu Laras, lalu mengibaskan tangannya seolah mengusir lalat. "Kursi itu untuk tamu. Kalau kamu mau makan, ambil piringmu dan makan di dapur kotor bersama asisten rumah tangga. Kamu tidak pantas duduk satu meja dengan keturunan ningrat seperti cucuku."
Gavin menggebrak meja pelan, membuat sendok di piring berdenting. "Bu! Cukup. Ini bukan keraton jaman Majapahit. Kiana istri Gavin. Dia makan di sini."
Bu Laras mendengus, tapi melepaskan tangannya dari kursi. Kiana duduk dengan gerakan anggun yang disengaja, menyilangkan kakinya, dan menatap Mbak Sumi yang berdiri gemetar di pojok dapur.
"Mbak Sumi, kopi saya mana? Americano, double shot. Tanpa gula," pesan Kiana tegas.
"Jangan bikin kopi!" potong Bu Laras cepat. Dia menatap Mbak Sumi dengan mata melotot. "Bikin teh chamomile. Wanita ini emosinya tidak stabil, makanya suka main tangan sama anak kecil. Dia butuh penenang, bukan kafein."
Kiana tertawa pendek. Tawa yang kering dan tanpa humor. Dia mengabaikan Bu Laras dan menatap lurus ke arah Alea.
"Alea, habiskan sarapanmu. Nanti telat sekolah," ucap Kiana lembut, berusaha menetralkan suasana.
Alea mendongak sedikit, matanya melirik takut-takut ke arah Kiana, lalu ke arah neneknya.
"Jangan berani-berani kamu perintah cucu saya," sambar Bu Laras. Dia mengambil serbet dan mengelap sudut bibir Alea dengan gerakan yang terlalu keras untuk disebut kasih sayang. "Alea tidak akan sekolah hari ini. Kakinya sakit. Dia trauma. Saya sudah telepon wali kelasnya dan bilang kalau Alea sedang dalam masa pemulihan pasca-kekerasan dalam rumah tangga."
Sendok di tangan Kiana berdenting keras jatuh ke piring.
"Ibu ngomong apa ke sekolah?" tanya Kiana, suaranya rendah tapi tajam. "Ibu sadar kalau Ibu baru saja mencemarkan nama baik saya dan Gavin?"
"Nama baik?" Bu Laras tertawa sinis. Dia meletakkan sendoknya, lalu mencondongkan tubuh ke depan, menantang Kiana. "Nama baik apa yang kamu punya? Wanita karir yang ambisius, yang rela melakukan apa saja demi harta, bahkan menyingkirkan anak tirinya pelan-pelan?"
"Bu Laras," potong Gavin, suaranya meninggi. "Jaga bicara Ibu. Alea itu jatuh dari sekolah. Jatuh karena didorong temannya. Saya juga dulu sering jatuh waktu kecil."
"Jatuh didorong?" Bu Laras menatap Gavin dengan tatapan mengasihani yang dibuat-buat. "Oh, Gavin, Gavin... malang sekali nasibmu, Nak. Kamu sudah buta. Matamu sudah tertutup oleh pesona wanita ular ini."
Bu Laras menunjuk lutut Alea yang tertutup piyama panjang.
"Luka itu bukan luka jatuh, Gavin! Itu luka memar karena benturan benda tumpul! Saya sudah lihat sendiri tadi malam saat mengganti perbannya. Itu pasti dipukul pakai gagang sapu atau... atau remote TV!" Bu Laras mengarang bebas dengan penuh percaya diri.
"Demi Tuhan, Bu!" Gavin membanting serbetnya ke meja. "Kiana yang mengobati Alea di! Kiana yang belikan es krim supaya Alea berhenti nangis!"
"Itu taktik!" bantah Bu Laras tak mau kalah. "Itu pola klasik pelaku kekerasan! Habis menyiksa, lalu bersikap manis supaya korbannya bingung dan tergantung padanya. Itu namanya gaslighting, Gavin! Kamu tidak baca artikel psikologi?!"
Kiana hanya diam. Dia mengambil selembar roti tawar yang untungnya belum dibuang Bu Laras, mengoleskan selai kacang dengan tenang. Gerakannya santai, seolah dia sedang mendengarkan musik jazz, bukan tuduhan kriminal.
"Saya akan lapor ke KPAI," ancam Bu Laras saat melihat Kiana tidak bereaksi. "Siang ini juga, saya akan bawa Alea visum ke dokter kenalan saya. Biar semua jelas. Dan setelah buktinya keluar, saya pastikan hak asuh Alea jatuh ke tangan saya. Kamu, Gavin, kamu dianggap lalai karena membiarkan predator tinggal satu atap dengan anakmu."
"Ibu mau rebut Alea?" Gavin berdiri, wajahnya memerah menahan marah. "Langkahi dulu mayat Gavin."
"Jangan tantang orang tua!" bentak Bu Laras. "Kamu ini kenapa jadi begini? Dulu kamu penurut, Gavin. Dulu kamu hormat sama Ibu. Sejak nikah sama perempuan ini, kamu jadi pembangkang! Kamu... kamu pasti sudah diguna-guna!"
Mata Gavin membelalak tak percaya. "Diguna-guna? Ibu sadar nggak sih ini tahun 2025? Kiana itu lulusan luar negeri, CEO perusahaan logistik, mana sempat dia main dukun?!"
"Justru itu!" Bu Laras menepuk meja. "Orang jaman sekarang itu menghalalkan segala cara. Dia kasih kamu minum apa tiap pagi? Dia taruh apa di bantal kamu? Pantas saja kamu lengket terus sama dia dan lupa sama almarhumah Sarah. Pasti ada susuk atau jampi-jampi yang dia pakai!"
Kiana mengunyah roti tawarnya pelan-pelan, menelan kunyahan terakhirnya, lalu menyeka sudut bibirnya dengan tisu. Dia meletakkan tisu itu di meja dengan gerakan elegan.
"Sudah selesai dramanya, Bu?" tanya Kiana tenang. Suaranya kontras dengan nada tinggi Bu Laras dan Gavin.
Kiana berdiri, merapikan bajunya yang kusut. Dia berjalan menuju kitchen island, mengambil ponselnya yang tergeletak di sana.
"Kalau Ibu mau main detektif Canan, minimal risetnya yang benar. Jangan pakai asumsi sinetron azab," ucap Kiana sambil mengutak-atik layar ponselnya.
"Mau apa kamu?" Bu Laras menyipitkan mata curiga. "Mau telepon pengacaramu? Silakan! Pengacara keluarga Sarah jauh lebih mahal dan lebih hebat!"
"Nggak perlu pengacara buat menghadapi fitnah receh begini," jawab Kiana santai.
Dia berjalan ke ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan, berdiri di depan Smart TV 85 inci yang menempel megah di dinding. TV itu hitam kelam, memantulkan bayangan mereka bertiga yang tegang.
"Ibu bilang saya memukul Alea, kan? Ibu bilang saya gaslighting Alea? Ibu bilang Gavin diguna-guna?" Kiana menatap mertuanya dengan senyum miring yang berbahaya.
"Memang begitu kenyataannya!" tantang Bu Laras. "Kamu tidak bisa mengelak. Lutut Alea buktinya!"
"Oke. Kita buktikan," kata Kiana. Jari jempolnya menekan ikon Smart View di ponselnya. "Mbak Sumi! Tolong ambilkan popcorn. Bu Laras kayaknya bakal butuh camilan buat menelan ludahnya sendiri."
Layar TV besar itu berkedip nyala. Logo mirroring muncul sebentar, lalu berganti menjadi tampilan menu aplikasi CCTV rumah yang terintegrasi. Sistem keamanan rumah Gavin memang canggih, mencakup setiap sudut eksterior dan area umum interior, termasuk taman belakang dan garasi.
"Apa ini?" tanya Bu Laras, mulai terlihat gelisah tapi tetap berusaha angkuh. "Kamu mau pamer kalau rumah ini banyak kameranya?"
"Bukan pamer, Bu. Tapi edukasi," jawab Kiana. Dia menggulirkan jari di layar ponselnya,