Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Bu Rokaya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata dengan suara berat,
"Sebenarnya berat untuk mengatakan ini, Nak Nay... Tapi Umar sudah punya calon istri. Dia sudah dijodohkan dengan anak Pak Kyai."
Nay menatap ibu Rokaya dengan mata yang tiba-tiba membesar, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Selama ini ia memang sudah mendengar kabar soal perjodohan itu, tapi mendengarkan langsung dari Bu Rokaya membawa rasa yang berbeda, seolah dunianya tiba-tiba sempit dan bergetar. Dia merasakan seperti ada bayangan yang mencoba menghancurkan harapannya, tapi dia berusaha menekan gelombang perasaan itu agar tidak meledak. Tangannya mengepal pelan di pangkuan.
"Apakah aku ini cuma pengganggu?" pikir Nay dengan suara hati yang berbisik getir.
"Padahal aku cuma ingin melihat Umar dan Citra bahagia..."
Ia menundukkan kepala sejenak, berusaha meredam kecemasan dan amarah yang mengancam untuk keluar. Dalam kesunyian itu, Nay memilih diam, menjaga diri agar tak terseret dalam konflik yang tidak dia cari.
Nay menunduk, bibirnya bergerak pelan seolah berbicara dengan hati sendiri.
"Kenapa aku merasa begini? Apa yang harus kulakukan?" gumamnya dalam diam, dadanya sesak menahan perasaan yang sulit dijelaskan.
Kesabaran dan keikhlasan berusaha ia jadikan tameng menghadapi kenyataan pahit yang baru saja terungkap. Di ruang keluarga, mereka berempat duduk membisu. Umar tampak tegang, matanya tajam menatap ke arah ibu. Ketika ibu mulai bicara tentang perjodohan itu, hati Umar memberontak. Ia tak mampu lagi menahan diri.
"Tapi Bu," suaranya bergetar namun tegas,
"Saya menolak perjodohan ini. Saya tidak menyukai Citra."
Napas Umar terengah, bibirnya sedikit bergetar saat lanjut berbicara, "Saya menghormati ibu, tapi ini masa depan saya. Saya harus jujur pada perasaan sendiri."
Mata Umar berkaca-kaca, namun ia mencoba menahan luka yang mungkin timbul. Kalimat itu keluar seperti usaha terakhir untuk menjaga hati sang ibu tanpa melukai lebih dalam.
Pak Usman menatap Umar dengan tajam, suaranya sedikit meninggi.
"Umar, ibu kamu belum selesai bicara, nak. Jangan suka memotong pembicaraan orang tua. Itu tidak sopan!" Umar menunduk sejenak, dagunya bergetar saat melihat Nay yang duduk di sampingnya. Rasa segan dan ciut nyali memenuhi dada mereka berdua.
"Maafkan saya, Pa. Saya tidak bermaksud tidak sopan," ujar Umar pelan tapi penuh tekad.
"Tapi ini tentang hidup saya. Saya harus diberi kesempatan untuk menyampaikan perasaan saya."
Matanya menatap tajam tapi tetap tulus, berusaha meyakinkan tanpa terlihat marah atau menantang. Bu Rokaya, sambil menyunggingkan senyum simpul, mengusap tangan Umar lembut.
"Kalau Umar sudah menyukai dan merasa cocok dengan kamu, nak Nay, mau tidak mau ibu dan bapak harus memberikan restu. Supaya apa? Supaya kalian tidak terjerumus ke jalan yang salah. Menikahkan kalian, jelas itu kewajiban orang tua."
Ucapan itu turun dari bibirnya dengan nada tegas tapi mengandung kehangatan, seolah menutup rapat kekhawatiran yang tersembunyi.
Umar menarik napas dalam-dalam begitu mendengar ucapan ibunya. Sebuah beban yang selama ini menggelayuti hatinya mulai mereda sedikit demi sedikit. Matanya bergerak cepat, menatap bergantian antara ibu dan ayahnya, mencoba menangkap tiap ekspresi yang terukir di wajah mereka. Saat ibunya dengan tenang menyebutkan soal perjodohan dengan Citra di awal pembicaraan, hatinya sempat bergetar kaget. Namun, ketika ayahnya melanjutkan dengan suara tegas,
“Umar, dengar baik-baik! Segeralah menikahi Nayla, jangan terus menjalani hubungan pacaran seperti ini. Aku takut nanti ada yang melamarnya duluan,”
Umar merasa getarannya berubah menjadi sesuatu yang lain. Dia dan Nayla saling menatap, seakan kata-kata itu meluncur dari mata mereka tanpa perlu bersuara. Senyum samar terbit di bibir Umar, matanya yang satu berkedip pelan, sebuah kode rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh Nayla. Dalam hatinya, pertanyaan mulai berbisik lirih,
“Apa ayah benar-benar ingin aku menikahi Nayla secepat ini? Apakah ini pilihan yang tepat?” Meski bingung, ada harapan kecil yang menghangat di relung hati Umar.
Dia menangkap kerut di dahi Pak Usman yang berulang kali disembunyikan di balik tangan, wajahnya penuh kekhawatiran. Namun, di hati dia sendiri bergolak dilema yang tak kalah berat. Matanya menatap tajam ke arah Nay, mencoba menguak misteri pikiran gadis itu yang tetap tersimpan rapi. Nay duduk diam, pandangannya kosong menatap jauh ke luar jendela.
“Apa aku siap?” gumamnya pelan, jari-jari kecilnya menggenggam erat ujung bajunya.
Hatinya mengikat erat pertanyaan tentang pernikahan yang terasa seperti pusaran, impian dan rencana masa depan yang selama ini ia rajut, apakah akan terkoyak atau tertambat?
Dalam hening itu, mereka berdua terjebak dalam ketidakpastian. Tapi satu hal jelas: cinta di antara mereka masih membara, seperti bara api yang menuntun mereka mencari jalan keluar, walau tak tahu bagaimana ujungnya nanti.
Umar duduk tak sabar, matanya tak lepas dari Nay yang tak jauh darinya.
"Pak, Bu, aku pengen segera melamar Nay. Ijab qobul aja dulu, pestanya bisa tahun depan," ujarnya cepat, seperti ingin segera menghalalkan hubungan itu.
Pak Usman dan Bu Rokaya saling berpandangan, lalu terkekeh mendengar permintaan anaknya.
"Memangnya Nay mau kamu nikahi, Umar?" goda Pak Usman sambil menyunggingkan senyum.
Umar tanpa ragu mencolek lengan Nay yang duduk diam, membuat Nay menoleh kaget. Sementara itu, Pak Usman menggeleng pelan dan berbisik pada Bu Rokaya,
"Anak zaman sekarang, di depan orang tua pun gak malu godain perempuan."
Bu Rokaya tersenyum hangat, membalas bisik suaminya,
"Biar saja, Pak. Anak kita memang sudah saatnya berumah tangga. Nay juga sopan dan baik. Insyaallah, mereka cocok sebagai pasangan suami istri."
Umar dan Nay asyik tenggelam dalam percakapan mereka sendiri tentang lamaran yang tinggal menunggu waktu. Nay tak berhenti mengungkapkan betapa pentingnya memberitahu orang tuanya tentang niat itu. Matahari mulai merunduk perlahan di balik cakrawala. Seusai sholat Maghrib berjamaah, Nay berdiri dengan sedikit ragu, lalu menyapa kedua orang tua Umar.
“Saya pamit dulu, Bu, Pak,” ucapnya pelan, matanya sesekali menatap Umar.
Umar dengan sigap berdiri, mengambil jaket Nay, dan berjalan membawanya pulang ke kosannya. Setelah pasangan itu berlalu meninggalkan halaman, Pak Usman dan Bu Rokaya tetap di tempat, terbenam dalam percakapan serius. Wajah mereka serius, penuh harap dan kelegaan sekaligus.
“Sudah waktunya Umar dan Nay melangkah ke jenjang yang lebih serius,” gumam Pak Usman, matanya mengikuti tawa riang pasangan muda yang kini mulai menjauh. Bu Rokaya mengangguk pelan, suaranya penuh keyakinan,
“Kita sebagai orang tua memang harus memberikan dukungan. Biarkan mereka membangun hubungan yang baik, yang halal dan diridhoi.”
Kedua wajah itu saling bertukar pandang penuh arti, merasakan getir manis harapan di udara senja itu.
Dalam hati Umar dan Nay mengalir rasa bahagia yang sama, seperti aliran sungai yang tenang setelah hujan reda. Nay menutup matanya sejenak, merasakan hangatnya dukungan orang tua Umar yang tanpa syarat.
"Alhamdulillah," gumamnya lirih dalam hati, bibirnya membentuk senyum kecil penuh harap.
"Akhirnya mereka menerima aku. Aku ingin jadi bagian keluarga ini, membawa kebahagiaan untuk orang-orang yang kusayangi."
Di sisi lain, Umar menggenggam tangan Nay erat-erat, dadanya berdebar kuat. Pikiran tentang pernikahan yang sebentar lagi tiba membuatnya tersenyum penuh keyakinan.
"Bersama Nay, wanita yang sudah lama kucinta, dan dukungan orang tua kami, aku siap melewati suka dan duka," bisiknya pelan, pandangannya penuh rasa syukur dan cinta.
*****
Di depan kost Nay, malam sudah merambat dengan dinginnya. Nay yang baru saja mengganti seragam guru dengan pakaian longgar, duduk santai sambil menyesap teh hangat. Umar berdiri di sebelahnya, tatapannya serius tapi penuh harap.
"Bagaimana, Nay? Kamu setuju nggak kalau kita nikah secara sederhana dulu, cuma dihadiri kedua keluarga saja? Pesta pernikahan kita tunda sampai tahun depan," ujar Umar dengan suara sedikit terburu-buru, matanya menatap dalam penuh kerinduan.
Nay menunduk sebentar, lalu tersenyum lembut.
"Enggak masalah, Mas. Aku juga sudah lama ingin kita segera melewati ijab kabulnya. Pesta bisa kita siapkan nanti, asal kita sudah sah dulu," jawabnya dengan suara yang hangat dan penuh ketulusan.
Rasa lega dan bahagia mengalir di dadanya, seolah beban selama ini menghilang. Di hadapan Umar, pria yang selama ini selalu dia doa dan impikan, Nay merasa semuanya akan segera jadi nyata.
"Aku bersyukur bisa berjodoh dengan pria seperti Mas Umar, dia baik, penyayang, dan selalu ada untukku. Ini adalah momen yang sudah lama aku nantikan. Semoga pernikahan kami kelak berjalan lancar dan membawa berkah,"
Nay berbicara dalam hati, mencoba menenangkan diri. Menjadi istri Umar dan menjalani hidup bersama hingga maut memisahkan, itulah tekad yang menggelayut erat dalam sanubarinya.