Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM PERTAMA YANG DINGIN
Ia mengingat kembali cara Arru merangkul Shima. Cara tatapan pria itu berubah protektif, posesif, seakan dunia harus menjauh satu langkah dari istrinya.
“Pria seperti Arru Vance,” lanjut Laura, suaranya rendah tapi penuh racun,
“tidak seharusnya jatuh ke tangan wanita sepertinya.”
Arya diam.
Diamnya itu memberi Laura ruang untuk berpikir.
Ia menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca jendela. Senyumnya perlahan kembali tenang, terukur, dan berbahaya.
“Mereka terlihat sempurna karena kita hanya melihat permukaannya,” katanya lembut.
“Tak ada pernikahan tanpa celah. Apalagi yang dibangun terlalu cepat.”
Arya akhirnya meliriknya. “Apa maksudmu?”
Laura menoleh, matanya berkilat. “Arru itu pebisnis. Dingin. Mengontrol. Dan Shima… terlalu bersih untuk dunia seperti itu.”
Ia menyilangkan kaki, suaranya semakin yakin.
“Orang seperti Arru tidak mencintai tanpa syarat. Dan perempuan seperti Shima… tidak akan selamanya kuat hidup di bawah bayangan kekuasaan.”
Mobil melaju semakin jauh.
“Kalau mereka dipisahkan,” lanjut Laura pelan,
“Itu bukan karena aku jahat.”
Ia tersenyum tipis.
“Itu karena mereka memang tidak seharusnya bersama.”
Arya tak menjawab. Tapi jemarinya mencengkram setir lebih kuat emosi di dadanya belum mati, hanya tertidur.
Laura menyandarkan kepala, menutup mata. Dibenaknya, rencana mulai tersusun. Bukan serangan langsung. Bukan skandal murahan. Ia tahu satu hal dengan pasti untuk menghancurkan pernikahan seperti milik Arru dan Shima, yang perlu dirusak bukan cinta melainkan kepercayaan dan Laura… sangat pandai menunggu momen yang tepat.
Pintu kamar utama mansion Vance tertutup pelan di belakang mereka.
Sunyi.
Shima berdiri beberapa langkah dari ambang pintu, seolah belum yakin apakah ia benar-benar diizinkan berada di ruang itu. Kamar Arru jauh dari bayangannya tentang kamar seorang miliarder tidak berlebihan, tidak penuh warna. Dominasi hitam, abu-abu, dan kayu gelap menciptakan kesan tenang, dingin, dan terkontrol. Persis seperti pemiliknya.
Arru melepaskan jam tangannya, meletakkannya rapi di meja kecil dekat jendela.
“Kau bisa berganti pakaian,” katanya datar.
“Aku akan keluar sebentar.”
Shima menoleh cepat. “Tuan…”
Arru berhenti melangkah, menatapnya singkat. “Tenang saja. Aku tahu batas.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar kamar, menutup pintu dengan suara halus namun tegas. Tidak dibanting. Tidak ragu. Seolah keputusan itu sudah dipikirkan matang.
Shima menghembuskan napas perlahan.
Baru saat itu ia benar-benar menyadari… ia berada di kamar suaminya.
Matanya bergerak mengelilingi ruangan. Ranjang besar dengan sprei abu-abu bersih, lampu temaram yang hangat, jendela tinggi yang memperlihatkan lampu kota berkilau di kejauhan. Semuanya terasa terlalu rapi, terlalu teratur seakan tidak memberi ruang bagi kekacauan emosi.
Langkahnya terhenti di depan sebuah lemari besar yang menempel di dinding.
Shima membukanya perlahan.
Ia terdiam.
Lemari itu terbagi rapi menjadi dua sisi.
Sebelah kanan gaun, kemeja, mantel, dan pakaian miliknya. Semua sudah tersusun, digantung, bahkan dilipat dengan rapi. Ukurannya pas. Warnanya sesuai seleranya.
Sebelah kiri pakaian Arru. Dominasi hitam, putih, abu-abu. Tegas. Maskulin. Tanpa satu pun warna cerah.
Tidak ada jarak.
Tidak ada pemisah.
Seolah sejak awal, kamar ini memang disiapkan untuk mereka berdua.
“Ini…” gumam Shima pelan.
Dadanya terasa hangat dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan. Bukan karena cinta ia belum berani menyebutnya begitu. Tapi karena rasa diakui. Diberi tempat.
Ia berganti pakaian dengan gerakan pelan, pikirannya penuh oleh hari yang panjang resepsi, tatapan orang-orang, tarian, genggaman Arru yang terlalu meyakinkan untuk sekadar akting.
Beberapa menit kemudian, ketukan terdengar di pintu.
Satu kali.
Singkat.
“Aku masuk,” suara Arru terdengar rendah dari balik pintu.
“Silakan,” jawab Shima.
Arru melangkah masuk. Ia sudah mengganti pakaiannya kaus hitam sederhana dan celana rumah gelap. Rambutnya sedikit lebih berantakan dari biasanya, namun wajahnya tetap dingin.
Namun tatapannya… berhenti sejenak saat melihat Shima.
Tidak terang-terangan.
Tidak vulgar.
Hanya jeda sepersekian detik yang terlalu lama untuk disebut kebetulan.
“Kau cocok di kamar ini,” katanya akhirnya.
Shima tersenyum kecil, canggung. “Saya justru merasa… seperti sedang masuk ke dunia orang lain.”
Arru mendekat beberapa langkah. Tidak terlalu dekat. Tapi cukup untuk membuat Shima sadar akan kehadirannya.
“Mulai malam ini,” ucapnya pelan, “itu juga duniamu.”
Shima menelan ludah. “Tuan Arru… tentang kita.”
“Aku tahu,” potong Arru tanpa menaikkan suara.
“Ini pernikahan kontrak.”
Ia menatap Shima lurus. “Tapi jangan pernah merasa kau hanya pelengkap.”
Arru melangkah ke sofa di dekat jendela, meletakkan bantal di sana.
“Malam ini aku tidur di sini.”
Shima terkejut. “Tapi ini kamar Anda.”
Arru menoleh, tatapannya tenang tapi tegas. “Dan kau istriku. Aku tidak ingin kau tidur dengan perasaan terpaksa.”
Ia menambahkan, lebih pelan, “Aku tidak terburu-buru dalam hal yang bernama kepercayaan.”
Hening kembali menyelimuti ruangan.
Shima berbaring perlahan di ranjang, menatap langit-langit. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut melainkan karena sesuatu yang asing dan hangat.
Lampu dimatikan. Hanya cahaya kota yang tersisa.
Dalam gelap, suara Arru terdengar rendah, hampir seperti bisikan.
“Shima.”
“Ya?”
“Besok, dunia akan terus menilai kita.”
“Tapi di balik pintu ini… kau aman.”
Shima memejamkan mata. “Terima kasih, Tuan Arru.”
Arru terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Panggil aku Arru… saat tidak ada orang lain.”
Shima tersenyum tipis dalam gelap.
Untuk pertama kalinya sejak ia menikah, malam tidak terasa menakutkan.
Dan Arru Vance lelaki dingin yang menikahinya karena kontrak ternyata memberi ruang yang bahkan tidak ia minta.
Ruang makan itu luas, dipenuhi cahaya pagi yang lembut. Meja panjang dari marmer putih tersaji rapi hidangan tertata sempurna, terlalu sempurna untuk seseorang seperti Shima yang terbiasa makan seadanya di ruang jaga rumah sakit.
Shima duduk dengan punggung tegak, mengambil makanan secukupnya. Tidak berlebihan. Tidak terburu-buru. Ia memotong roti perlahan, lalu menyesap teh hangat sebelum menyentuh apa pun yang lain.
Arru duduk di seberangnya.
Ia tidak langsung makan.
Tatapannya sesekali jatuh pada Shima cara wanita itu memilih menu paling sederhana di meja, cara ia selalu menaruh sendok dengan rapi sebelum minum, bahkan cara ia berhenti makan ketika merasa sudah cukup.
“Kau selalu makan seperti itu?” tanya Arru akhirnya, datar.
Shima mengangkat wajahnya. “Seperti apa?”
“Pelan, teratur, tidak berlebihan.”
Shima tersenyum tipis. “Kebiasaan lama. Kalau makan terlalu cepat, perut protes.”
Arru mengangguk singkat. Ia baru mengambil kopi setelah itu, menyesapnya satu kali.
“Hm.”
Tidak ada percakapan beberapa detik. Hanya suara peralatan makan yang sesekali beradu pelan.
“Jadwalmu hari ini?” Arru bertanya lagi, seolah sekadar basa-basi.
“Operasi jam delapan. Setelah itu visit pasien,” jawab Shima jujur. “Seperti biasa.”
Arru hendak menanggapi ketika langkah kaki terdengar mendekat.
Ethan muncul, mengenakan setelan rapi, sebuah tablet di tangannya. Ia menunduk sopan.
“Tuan Arru.”
Arru mengangguk. “Laporkan.”
Ethan membuka tablet. “Pukul sembilan rapat dewan direksi. Sebelas tiga puluh pertemuan dengan investor Eropa. Sore, kunjungan ke proyek medis di distrik utara.”
Arru mendengarkan tanpa ekspresi. Setiap poin hanya dibalas dengan anggukan singkat.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.