"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: Sisi Gelap Sistem dan Teh Beracun
Apartemen Sudirman Park.
Pukul 23.00 WIB.
Rian duduk sendirian di sofa kulit ruang tamunya yang luas. Lampu ruangan sengaja ia matikan, membiarkan cahaya kota Jakarta dari jendela besar menjadi satu-satunya penerangan.
Di jarinya, melingkar sebuah cincin perak polos.
Itu adalah Cincin Pendeteksi Racun (Grade B).
Rian baru saja mencobanya tadi. Saat ia dekatkan ke cairan pembersih lantai di kamar mandi, cincin itu bergetar pelan dan berubah warna menjadi ungu samar. Saat ia dekatkan ke air mineral, cincin itu diam dan tetap perak.
"Barang gila," gumam Rian. "Sistem ini beneran mikir gue bakal diracun orang?"
Rian menarik napas, lalu memanggil menu yang paling membuatnya penasaran sejak tadi.
"Sistem, buka Black Market."
[PERINGATAN!]
[Anda akan memasuki Area Terlarang (Black Market).]
[Item di sini tidak menggunakan Poin Kebahagiaan, melainkan POIN DOMINASI.]
[Poin Dominasi diperoleh dari: Menghancurkan pesaing, Mengambil alih aset lawan, atau Membuat musuh ketakutan.]
[Lanjutkan? Y/N]
Rian menelan ludah. Poin Dominasi?
Jadi, selain bikin orang bahagia, dia juga harus bikin musuh takut?
"Yes."
Layar hologram yang biasanya berwarna biru cerah, mendadak berubah menjadi merah darah bercampur hitam. Musik interface-nya pun berubah menjadi humming rendah yang mencekam.
[BLACK MARKET - TIER 1]
Daftar barang yang muncul membuat bulu kuduk Rian meremang:
Serum Kejujuran (Truth Serum) - 500 Poin Dominasi
Efek: Target akan menjawab jujur semua pertanyaan selama 10 menit. Tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan.
Lalat Mata-mata (Spy Drone Micro) - 800 Poin Dominasi
Efek: Drone seukuran lalat dengan kamera 4K dan penyadap suara. Bisa dikendalikan pikiran jarak 1KM.
Virus Perusak Data (Digital Killer) - 1.000 Poin Dominasi
Efek: Menghapus jejak digital atau menghancurkan server lawan tanpa bisa dilacak.
Kontrak Budak (Slave Contract) - 5.000 Poin Dominasi
Efek: Mengikat target secara jiwa. Jika target berkhianat, jantungnya akan berhenti.
Rian menutup layar itu cepat-cepat. Napasnya memburu.
"Gila... ini bukan alat bisnis. Ini alat mafia."
Terutama item nomor 4. Kontrak Budak? Itu sudah melanggar kemanusiaan.
"Gue nggak mau jadi monster," bisik Rian. "Gue cuma mau jualan nasi."
[Sistem Note: Di puncak gunung kekuasaan, angin bertiup kencang, Host. Anda tidak harus menjadi monster, tapi Anda harus punya taring untuk membunuh monster.]
Rian terdiam. Kata-kata dingin Sistem itu ada benarnya. Semakin tinggi dia naik, semakin banyak serigala yang mengincar dagingnya.
Keesokan Harinya.
Kawasan Industri Pulo Gadung.
Mobil Alphard Rian memasuki area pabrik perakitan mesin. Ini adalah pabrik milik Pak Gunawan, vendor yang kemarin disepakati Rian untuk merakit Mesin Pengemas Vakum (sesuai cetak biru Sistem).
Rian turun didampingi Maya dan Pak Teguh.
Penampilan Rian hari ini Smart Casual. Kemeja putih digulung sesiku, celana chino, dan sepatu loafers.
"Pabriknya sepi banget, Pak?" tanya Maya sambil melihat sekeliling. Mesin-mesin besar terlihat berdebu, dan hanya ada sedikit pegawai yang lalu lalang.
"Pak Gunawan bilang bisnisnya lagi lesu kalah sama impor China," jawab Rian. "Makanya dia semangat banget pas saya tawarin proyek perakitan ini."
Seorang pria paruh baya bertubuh kurus dengan kacamata tebal keluar dari kantor utama.
"Pak Rian! Selamat datang!" sapanya ramah, tapi Rian melihat keringat dingin di pelipisnya.
[Mata Dewa Aktif]
[Target: Gunawan (55 th)]
[Status Mental: Gugup, Takut, Tertekan]
[Tingkat Kejujuran: 40/100 (Waspada!)]
Rian mengernyit. 40? Rendah sekali.
Padahal di telepon kemarin Pak Gunawan sangat antusias dan jujur. Kenapa tiba-tiba berubah?
"Mari Pak, Bu, masuk ke ruangan saya dulu. Kita ngopi-ngopi sebentar sambil bahas kontrak," ajak Pak Gunawan.
Mereka masuk ke ruang rapat yang dingin. Di sana sudah ada seorang pelayan wanita yang menyajikan tiga cangkir teh hangat.
"Silakan, Pak Rian. Ini teh Oolong terbaik simpanan saya," kata Pak Gunawan, tangannya sedikit gemetar saat menyodorkan cangkir ke Rian.
Rian menatap cangkir itu. Aromanya wangi. Asapnya mengepul.
Maya sudah hendak mengambil cangkirnya.
"Tunggu," kata Rian pelan.
Tiba-tiba, jari Rian terasa panas.
Cincin perak di jarinya bergetar halus. Sangat halus, tapi cukup untuk membuatnya sadar.
Perlahan, warna cincin itu berubah dari perak menjadi Ungu Pekat.
[PERINGATAN!]
[Terdeteksi Zat Berbahaya: Arsenik Dosis Rendah]
[Efek: Diare akut, muntah darah, dan gagal ginjal jika dikonsumsi rutin.]
Jantung Rian berhenti berdetak sesaat.
Racun? Di pertemuan bisnis?
Ini bukan sekadar persaingan. Ini percobaan pembunuhan—atau setidaknya percobaan untuk membuat Rian cacat/sakit parah.
Rian menatap Pak Gunawan. Pria tua itu tidak berani menatap mata Rian. Dia terus melihat ke arah pintu, seolah ada orang lain yang mengawasi.
"Pak Gunawan," suara Rian dingin menusuk tulang.
"Y-ya, Pak Rian?"
"Bapak tahu kan, saya punya prinsip dalam berbisnis?"
Rian mengambil cangkir teh itu. Pak Gunawan menahan napas, berharap Rian meminumnya.
Tapi Rian justru menuangkan teh itu ke tanaman hias di pojok meja.
Cesss...
Tanah di pot itu sedikit berbuih.
Wajah Pak Gunawan pucat pasi seputih kertas. Maya yang cerdas langsung sadar ada yang tidak beres. Dia menjatuhkan cangkirnya sendiri. Prang!
Pak Teguh langsung siaga, tangannya meraba pistol taser di balik jasnya. "Bos?"
"Pak Gunawan," Rian berdiri perlahan. "Siapa yang nyuruh Bapak?"
"S-saya nggak ngerti maksud Bapak..."
"Jangan bohong!" bentak Rian. "Teh ini ada racunnya. Bapak mau bunuh saya di sini, atau Bapak cuma disuruh bikin saya sakit biar proyek ini batal?"
Pak Gunawan langsung jatuh berlutut, menangis gemetar.
"Ampun Pak Rian! Ampun! Saya dipaksa! Anak saya... anak saya diculik mereka!"
"Mereka siapa?"
"Orang-orang dari Rasa Nusantara Group... Mereka bilang kalau saya ngerjain proyek Bapak, pabrik ini bakal dibakar dan anak saya nggak bakal pulang..."
Rian mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih.
Rasa Nusantara Group.
Raksasa industri makanan terbesar di negeri ini. Konglomerat yang menguasai pasar mie instan, bumbu, dan snack.
Ternyata, viralnya Warung Nasi Bahagia dan rencana ekspansi bumbu Rian sudah tercium radar mereka. Dan mereka tidak main bersih. Mereka main kasar.
"Maya, rekam pengakuan ini," perintah Rian.
"Pak Teguh, kunci pintu. Jangan ada yang keluar."
Rian menatap Pak Gunawan yang masih bersujud.
Dulu, Rian mungkin akan lari ketakutan.
Tapi sekarang? Dia punya Sistem. Dia punya pasukan. Dan dia baru saja melihat menu Black Market.
"Bangun, Pak," kata Rian. "Kita akan jemput anak Bapak."
Rian menatap ke udara kosong, seolah bicara pada lawan yang tak terlihat.
Oke, Rasa Nusantara. Kalian mau main kasar? Gue layanin.
"Sistem."
[Ya, Host?]
"Gue butuh Lalat Mata-mata dan Serum Kejujuran sekarang. Tukar Poin Dominasi... ah, gue belum punya Poin Dominasi ya?"
[Sistem Note: Karena Anda baru saja lolos dari Percobaan Pembunuhan dan berhasil mengintimidasi pelaku (Pak Gunawan), Anda mendapatkan Poin Dominasi Awal.]
[Poin Dominasi Diterima: +500]
"Cukup buat satu Serum," Rian menyeringai iblis. "Cukup buat bikin penculik itu nyanyi."
Hari itu, Rian belajar satu hal:
Untuk menjadi Malaikat bagi karyawannya, dia harus siap menjadi Iblis bagi musuhnya