Setelah terpeleset di kamar mandi, Han Sia, gadis modern abad 25, terbangun di tubuh Permaisuri Han Sunyi tokoh tragis dari novel yang dulu ia ejek sebagai “permaisuri paling bodoh”.
Kini terjebak di dunia kerajaan kuno, Han Sia harus berpura-pura sebagai permaisuri yang baru sadar dari koma, sambil mencari cara untuk bertahan hidup di istana penuh intrik dan penghianatan. Namun alih-alih pasrah pada nasib, ia justru bertekad mengubah sejarah. Dengan kecerdasan modern dan lidah tajamnya, Han Sia siap membalikkan kisah lama dari permaisuri lemah menjadi wanita paling berkuasa dan akan membuat mereka semua menyesal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Fajar belum menyingsing, namun cahaya biru pucat mulai merayap di balik gunung. Embun tebal menggantung di atas rerumputan, membuat setiap langkah seolah menginjak permukaan kaca dingin. Di kejauhan, suara burung hantu terakhir terdengar sebelum digantikan bisikan angin pagi.
Han Sunyi sudah bangun bahkan sebelum ayam jantan pertama berkokok. Ia merapikan rambutnya menjadi sanggul sederhana khas prajurit wanita, lalu mengenakan jubah kelana yang ringan. Tidak lagi jubah Wen Lang, tetapi pakaian hitam biru yang lebih memudahkan pergerakan.
Ketika ia keluar tenda, Zhi Dao dan Bai Ren sudah sibuk menyiapkan perlengkapan.
“Zhi Dao,” panggil Sunyi.
Zhi Dao menoleh cepat. “Siap, Nona!”
“Kau bertanggung jawab atas Mei Lian. Jangan biarkan dia jauh darimu.”
Zhi Dao mengusap tengkuknya, gugup. “Baik… meskipun aku tidak yakin dia akan benar-benar mendengarkan perintahku…”
Dari belakang, Bai Ren menyikut lengannya. “Hei, kau prajurit agung Han Sunyi, bukan pengantar barang. Sedikit percaya diri!”
Zhi Dao mendengus kecil. “Mulutmu selalu lebih tajam dari pedang.”
Namun sebelum mereka melanjutkan, tirai tenda perempuan terbuka.
Mei Lian keluar dengan mata masih mengantuk sedikit, tapi wajahnya bersih dan segar. Gaun perjalanan yang ia kenakan berwarna hijau muda, cocok dengan kulitnya yang cerah. Rambutnya dikepang rapi, tapi sebagian jatuh lembut di pipi, membuatnya tampak seperti bunga yang belum sepenuhnya mekar.
Ketika pandangannya bertemu Zhi Dao, ia buru-buru menunduk.
“Pagi,” ucapnya pelan.
Zhi Dao tertegun sesaat, sebelum membungkuk kikuk. “P–pagi.”
Bai Ren memijat pelipisnya. “Dua orang ini… bisa membuat bunga jambu jatuh tanpa ditiup angin.”
Han Sunyi hanya menggeleng kecil sambil tersenyum.
Tepat saat itu, langkah berat mendekat.
Li Feng muncul dari arah timur, diikuti Yu Qian dan empat prajurit naga putih yang paling elite. Ia tidak mengenakan jubah kaisar mewah. Hanya mantel perang hitam sederhana dengan bordir naga perak di dada kirinya. Tidak banyak, tidak mencolok—tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia bukan laki-laki biasa.
Ketika melihat Sunyi, langkahnya melambat sejenak. Hanya sekejap. Namun cukup untuk membuat Yu Qian menahan senyum.
“Sunyi,” sapa Li Feng.
“Kaisar,” jawab Sunyi dengan anggukan sopan.
Li Feng ingin mengatakan sesuatu tentang perjalanan, tentang keselamatannya tetapi wajah Sunyi yang tetap dingin membuatnya mengubah cara bicara.
“Kita bergerak.”
Perjalanan Menuju Bendungan Utara
Mereka berangkat sebelum matahari terbit. Suasana sepi kecuali suara tapak kuda dan gesekan dedaunan pagi.
Mei Lian menunggang kuda kecil yang disediakan pasukan. Zhi Dao berada tepat di sampingnya, memperhatikan setiap gerak.
“Jika ada sesuatu terjadi, kau turun dari kuda dan berlindung di belakangku,” kata Zhi Dao.
“Tapi aku bisa—”
“Tidak ada tapi.” Nada Zhi Dao tegas, tapi tidak kasar. “Kau bukan prajurit. Tugasmu hanya memberi kesaksian nanti. Dan menjaga nyawamu jauh lebih penting.”
Mei Lian menatapnya panjang, lalu tersenyum lembut. “Baik. Aku akan mendengarkanmu.”
Zhi Dao merasakan telinganya panas. "Sial." Bahkan perintah tegas pun tidak mengurangi betapa gugupnya ia dekat gadis itu.
Di sisi lain, Bai Ren memandang keduanya sambil menggumam, “Aku rasa aku tidak siap menghadapi cinta pertama dua makhluk hidup sekaligus.”
Han Sunyi yang menunggang kuda di depan menoleh sedikit, menyahut pelan, “Diam, Bai Ren.”
“Baik, baik, Nona!”
Sementara itu, di barisan paling depan, Li Feng berkuda di sisi Sunyi.
Ia sempat mencuri pandang beberapa kali.
"Sunyi" panggil Li Feng pean
"Ya yang mulia ?"
"Aku menyesal sudah membuat kau harus sembunyi karena ku" ujar Li Feng
Kuda Sunyi melambat sejenak, tapi ia tidak menoleh. “Penyesalan tidak mengubah apa pun.”
Li Feng menggenggam tali kudanya erat.
“Tapi tindakan mengubahnya,” katanya tegas.
Sunyi tetap tidak menjawab, tetapi tatapan matanya sedikit melembut beberapa detik sebelum kembali dingin.
----
Ketika rombongan memasuki hutan utara, kabut semakin tebal. Pepohonan tinggi menjulang seperti raksasa yang mengawasi, dan embun yang menetes dari dedaunan membuat udara terasa lembap.
Yu Qian memberi isyarat. “Yang Mulia, kita hampir sampai ke jalur barat. Dari sini harus berhati-hati jalur ini bisa digunakan untuk sabotase.”
Li Feng mengangguk. “Semua waspada.”
Namun tepat saat itu, Sunyi menarik tali kudanya tiba-tiba.
“Berhenti.” seru Han Sunyi
Seluruh rombongan menghentikan langkah.
“Kenapa?” tanya Li Feng.
Sunyi turun dari kuda, berlutut, dan menyentuh tanah.
“Ada bekas langkah… tapi sangat ringan.”
Zhi Dao turun dan mengecek juga. “Bukan langkah prajurit biasa. Ini seperti jejak pemburu atau mata-mata.”
Bai Ren mencium udara. “Ada bau bahan bakar…”
Sunyi berdiri. “Seseorang menyiramkan minyak tanah di jalur ini.”
Mei Lian terkejut. “Untuk apa?”
Li Feng menjawab, “Untuk membakar hutan ketika kita lewat.”
Yu Qian memucat. “Yang Mulia! Ada jebakan!”
Dan benar saja dalam detik berikutnya, suara “SWIISSHH!” terdengar dari arah utara.
Anak panah menyala api terbang dari balik pepohonan.
“SEMUA TIARAP!!” teriak Sunyi.
Li Feng meraih lengan Sunyi, menariknya ke tanah tepat saat panah melintas di atas mereka dan—
BRAAAAK!
Api menyambar semak dan dedaunan, jalur barat langsung terbakar.
Prajurit Naga Putih membentuk barisan perlindungan.
Zhi Dao cepat menarik Mei Lian ke belakang pohon besar. “Tetap di sini!”
Mei Lian tidak sempat bicara ia hanya mengangguk sambil memeluk tasnya erat-erat.
Sunyi mencabut pedangnya. “Ada lebih dari enam penyerang.”
Li Feng sudah berdiri di sisinya. “Aku dengar delapan.”
Mereka saling menatap sesaat.
Untuk pertama kalinya sejak pertemuan tadi malam… tatapan itu bukan tentang masa lalu.
Tapi pertempuran.
bersambung