Tujuh belas tahun lalu, Ethan Royce Adler, ketua geng motor DOMINION, menghabiskan satu malam penuh gairah dengan seorang gadis cantik yang bahkan tak ia ketahui namanya.
Kini, di usia 35 tahun, Ethan adalah CEO AdlerTech Industries—dingin, berkuasa, dan masih terikat pada wajah gadis yang dulu memabukkannya.
Sampai takdir mempertemukannya kembali...
Namun sayang... Wanita itu tak mengingatnya.
Keira Althea.
Cerewet, keras kepala, bar-bar.
Dan tanpa sadar, masih memiliki kekuatan yang sama untuk menghancurkan pertahanan Ethan.
“Jangan goda batas sabarku, Keira. Sekali aku ingin, tak ada yang bisa menyelamatkanmu dariku.”_ Ethan.
“Coba saja, Pak Ethan. Lihat siapa yang terbakar lebih dulu.”_ Keira.
Dua karakter keras kepala.
Satu rahasia yang mengikat masa lalu dan masa kini.
Dan cinta yang terlalu liar untuk jinak—bahkan ol
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudi Chandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Malam turun perlahan di atas gedung AdlerTech Industries.
Lampu-lampu kota mulai menyala, satu per satu, seperti rangkaian bintang buatan yang menggantikan langit. Di lantai paling atas gedung itu, hanya satu ruangan yang masih menyala terang: ruang kerja CEO.
Ruangan Ethan.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 22.47, tapi Ethan belum bergeser satu inci pun dari mejanya. Dasinya sudah dilonggarkan, jasnya tergantung di sandaran kursi, lengan kemejanya digulung sampai siku. Namun ketegangan di tubuhnya tidak melemah sedikit pun.
Sejak pulang dari Adlerion Academy, pikirannya hanya dipenuhi dua nama.
Keira. Aiden.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
“Masuk.” ucap Ethan tanpa menoleh.
Pintu terbuka. Rowan berdiri di ambang pintu, wajahnya tidak biasanya. Tidak ada ekspresi santai, tidak ada senyum tipis yang biasa ia gunakan untuk menetralisir suasana. Yang ada hanya… keseriusan yang jarang, bahkan mungkin tidak pernah, diperlihatkan di hadapan Ethan.
“Pak.” panggilnya dalam nada rendah.
Ethan baru menoleh.
Itu saja sudah cukup membuat Rowan tahu: inilah momen yang akan mengubah segalanya.
“Sudah dapat hasilnya?” tanya Ethan singkat.
Rowan melangkah masuk. Di tangannya ada satu map coklat tipis—tidak tebal, tidak berat, tapi seolah menyimpan beban satu kehidupan di dalamnya.
Ia meletakkannya di atas meja, di depan Ethan. Jari-jarinya sempat menahan satu detik lebih lama di sana, seakan ragu untuk melepaskannya.
“Tes DNA sudah dikonfirmasi dua kali,” ujar Rowan pelan. “Menggunakan sampel rambut Aiden yang kita dapat malam itu.”
Hening.
Sangat hening.
Ethan tidak langsung menyentuh map itu. Matanya hanya menatapnya, seolah benda itu bisa meledak kapan saja.
“…dan?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Rowan menghela napas dalam.
“Kecocokan genetik: 99,98 persen.”
Map itu akhirnya berpindah ke tangan Ethan.
Pelan.
Sangat pelan.
Ia membukanya, matanya bergerak cepat membaca lembar demi lembar yang sebagian besar berisi istilah ilmiah dan angka-angka. Namun satu kalimat langsung menusuk matanya, memenuhi semua ruang di pikirannya:
SUBJEK A: ETHAN ROYCE ADLER — SUBJEK B: AIDEN RHYS
STATUS: HUBUNGAN GARIS KETURUNAN — AYAH & ANAK KANDUNG
Untuk pertama kalinya… jari-jari Ethan bergetar.
Hanya sedikit.
Tapi itu cukup untuk membuat Rowan membeku di tempatnya.
“Dia… anakku.” gumam Ethan lirih. Bukan bertanya. Bukan heran.
Lebih seperti menyebut sebuah kebenaran yang telah lama terkubur.
Rowan tidak menjawab. Tidak perlu. Kebenaran sudah tertulis jelas.
“Usianya?” tanya Ethan lagi, tanpa mengangkat kepala.
“17 tahun, 1 bulan,” jawab Rowan. “Hampir tepat dengan waktu… hubungan singkat Anda dengan Bu Keira.”
Wajah Ethan mengeras. Rahangnya menegang seperti besi ditarik terlalu kuat.
“Dia menyembunyikannya,” bisiknya. “Selama ini. Dia membesarkannya… tanpa aku.”
Nada marah samar terdengar… tapi jauh lebih dominan adalah sesuatu yang lebih menyakitkan:
Kehilangan.
Tujuh belas tahun yang tidak akan pernah bisa ia ambil kembali.
Langkah pertama Aiden. Kata pertama. Luka pertama. Tawa pertamanya. Semuanya… tanpa dirinya.
“Apakah Anda ingin saya menindaklanjuti tindakan hukum?” tanya Rowan hati-hati. “Atau—”
“Tidak.” potong Ethan cepat.
Ia menutup map itu kembali, lalu berdiri perlahan dari kursinya.
“Jangan melibatkan hukum dalam hal ini. Tidak satu pun orang luar boleh tahu.”
“Lalu rencana Anda, Pak?”
Ethan menoleh ke arah jendela besar yang menghadap kota. Lampu-lampu itu memantul di pupil matanya yang kini jauh lebih tajam… lebih hidup.
“Aku akan menemuinya.” jawabnya.
Rowan terdiam sejenak. “Aiden?”
“Bukan,” balas Ethan. “Keira. Terlebih dahulu.”
Nada suaranya berubah. Lebih rendah. Lebih berbahaya. Namun juga… lebih terluka.
“Dia berutang tujuh belas tahun padaku,” lanjutnya. “Dan mulai malam ini… tidak akan ada lagi rahasia di antara kami.”
Suasana semakin sunyi.
“Kau tahu apa yang paling ironis, Rowan?” tanya Ethan pelan.
“Apa itu, Pak?”
“Dia mengatakan Aiden hanya anaknya.”
Sudut bibirnya terangkat tipis, tapi senyum itu bukan senyum bahagia.
“Itu benar,” katanya lirih. “Aiden adalah anaknya.”
Ia menoleh, penuh tekad membara yang baru.
“Dan juga anakku.”
Udara terasa berat oleh keputusan yang baru saja lahir di ruangan itu.
Ethan mengambil jasnya, menyampirkannya kembali, seperti seorang raja yang baru saja menemukan pewaris tahtanya.
“Siapkan mobil.”
“Ke mana, Pak?” tanya Rowan.
Keheningan sejenak. Lalu jawaban Ethan jatuh seperti palu takdir:
“Keira.”
...----------------...
Malam itu… hujan baru saja berhenti.
Aspal masih basah, memantulkan cahaya lampu jalan di antara bayang-bayang pepohonan yang berdiri lunglai. Di depan sebuah rumah sederhana tapi hangat, sebuah mobil hitam berhenti tanpa suara berlebihan.
Lampu depan dimatikan.
Namun aura di dalam mobil itu… berisik oleh badai yang sedang berkecamuk di dada Ethan Adler.
Tangannya masih menggenggam map cokelat tipis yang tadi diberikan Rowan. Map itu tidak lagi berat karena kertasnya—melainkan oleh maknanya.
Anakku.
Satu kata itu terulang-ulang di kepalanya, seperti gema yang tak bisa ia hentikan.
Aiden.
Putranya selama tujuh belas tahun.
Putra yang bahkan tak mengenalnya… tapi berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang sama, sikap yang sama, keberanian yang sama.
Semua itu… miliknya.
Dan juga… milik Keira.
Ethan keluar dari mobil. Udara malam menyentuh wajahnya yang tegang. Pandangannya langsung tertuju pada jendela kamar di lantai dua—lampunya mati.
Rumah itu terlihat sunyi.
Aiden tidak ada, pikirnya.
Yang tersisa… hanyalah perempuan yang sudah lama menguasai pikirannya tanpa izin: Keira.
Ia melangkah ke depan pintu. Tidak tergesa. Tidak ragu. Ketukan pertamanya pelan, tapi penuh kendali.
Tuk… tuk… tuk…
Beberapa detik berlalu.
Lalu terdengar langkah kaki dari dalam.
Pintu terbuka.
Keira berdiri di sana, mengenakan kaus rumahan sederhana dan rambut diikat asal. Wajahnya tanpa riasan, tapi justru itu yang membuatnya lebih nyata… lebih rapuh… lebih indah.
Dan ketika matanya menangkap sosok pria di depan pintu—
“E-Ethan…?” suaranya nyaris seperti bisikan terkejut.
Dada Keira langsung berdegup tak beraturan.
Langit seakan runtuh perlahan di atas kepalanya.
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” jawabnya tenang, tapi nada itu… menusuk lebih dalam dari teriakan. “Dan aku tidak suka menunda hal seperti ini.”
Keira tidak bergerak dari tempatnya.
“Sekarang?” tanyanya ragu. “Sudah malam.”
“Aku tahu,” balas Ethan. “Aku yang memutuskan waktu.”
Ada jeda.
Udara di antara mereka menegang oleh tahun-tahun yang tak terucapkan.
“Boleh aku masuk?” tanyanya akhirnya—bukan memohon, tapi tetap terdengar seperti permintaan yang berbahaya untuk ditolak.
Perlahan, Keira menggeser tubuhnya.
“Masuklah…”
Begitu pintu tertutup di belakang Ethan, dunia seolah menyempit hanya menjadi dua orang itu saja.
Tidak ada Rowan.
Tidak ada Aiden.
Tidak ada AdlerTech.
Hanya dua jiwa dan satu rahasia yang telah hidup tujuh belas tahun di antara mereka.
Ethan berdiri beberapa langkah di depan Keira. Tatapannya menjalar di sekeliling rumah sederhana itu, lalu kembali padanya.
“Kau tinggal di sini dengan Aiden?” tanyanya.
Keira mengangguk hati-hati. “Iya.”
“Sendiri?”
“Ya. Sejak lama.”
Nada itu… seperti menusuk sisi paling lunak dalam diri Ethan.
Ia bukan pria yang mudah tersentuh. Tapi membayangkan Keira menjalani semuanya sendiri—mengandung, melahirkan, membesarkan—tanpa dirinya…
Rahangnya menegang.
“Kenapa kau tidak pernah mencariku?” tanyanya pelan.
Keira mengangkat wajahnya, menatap Ethan bingung. "Maksud kamu?"
"Kau tahu apa maksudku, Keira."
Keira terdiam sejenak, mencoba mencerna situasi.
Setelah mengerti, ia pun menatap Ethan, mencoba terlihat kuat seperti biasa, seperti dia di kantor. Seperti “Keira yang bar-bar”. Tapi di malam itu, di ruang itu… pertahanan itu mulai retak.
"Saat itu... aku nggak tahu siapa kamu. Bahkan aku juga nggak ingat wajahmu. Tapi..."
Ethan menunggu Keira melanjutkan ucapannya.
“Setelah aku tahu siapa kamu... Aku nggak mau hidup Aiden ditentukan oleh nama besar Adler, uang, tahta, perusahaan… Aku cuma mau dia punya kehidupan normal.” jawaban itu akhirnya keluar.
“Dengan bohong padaku?” ujar Ethan. Suara lebih dalam. Lebih gelap. Tapi bukan marah… lebih terluka.
“Aku nggak bohong,” bantahnya cepat. “Aku cuma… nggak bilang apa-apa.”
“Itu sama saja, Keira.”
Hening.
Matanya menatap Keira. Benar-benar menatap. Bukan seperti bos menilai karyawan. Tapi seorang pria yang sedang menatap ibu dari anaknya.
“Apa Aiden tahu?” tanyanya.
“Nggak,” jawab Keira tegas. “Dan aku nggak mau dia tahu dari orang lain. Apalagi dari kamu. Bukan dengan cara seperti ini.”
Ethan perlahan maju satu langkah.
Satu langkah yang terlalu dekat.
Lalu menarik pinggang ramping Keira.
“Cara seperti apa?” ia bertanya, suara rendah namun menggema di ruang kecil itu.
“Cara penuh ambisi. Cara ingin memiliki. Cara posesif seperti itu…” suara Keira melemah di akhir kalimatnya.
Ethan menunduk sedikit, menatap tepat ke dalam mata wanita itu.
“Dengarkan aku baik-baik, Keira.”
Nada suaranya berubah menjadi lebih tenang… lebih dalam… lebih jujur daripada yang pernah ditunjukkannya padanya.
“Aku memang posesif,” katanya tanpa menyangkal.
“Aku memang ingin memiliki.”
“Tapi bukan karena kekuasaan.”
Jarak mereka kini hanya beberapa sentimeter.
“Tapi karena… selama tujuh belas tahun aku hidup tanpa tahu bahwa bagian dari diriku sedang tumbuh di dunia ini.”
Dadanya bergetar tipis ketika berkata pelan:
“Dan selama itu juga… ternyata kau masih ada di sekitarku.”
Keira membeku di tempat.
“Aku mencoba melupakanmu,” lanjut Ethan. “Aku bahkan mencoba menyukai wanita lain.”
Ia tersenyum tipis. Sedih. Tajam.
“Tapi tidak ada yang berhasil.”
Tangannya perlahan terangkat… berhenti tepat di dekat wajah Keira tanpa benar-benar menyentuhnya.
“Jadi jika kau menyebut ini posesif, maka ya… aku posesif.”
“Karena aku tidak mau lagi kehilangan kalian.”
Dua kata itu menggema di dada Keira:
Kehilangan kalian.
“Kalian?” ulang Keira pelan.
Ethan menatapnya penuh makna. Lalu mengangguk pelan.
“Hm. Kau… dan Aiden.”
Detak jantung Keira seperti berhenti sebentar.
“Aiden adalah anakku,” gumam Ethan pelan, namun tegas seperti sumpah. “Sudah terbukti. Tidak ada lagi yang bisa kau sembunyikan dariku.”
Keira tersentak.
“Kamu… melakukan tes DNA?”
Ethan mengangguk..“Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku sejak awal.”
Keira menarik napas, matanya mulai berkaca-kaca meski masih berusaha keras tetap galak.
“Kalau gitu… kenapa kamu nggak langsung nemuin dia?” tanyanya.
Ethan menjawab tanpa ragu:
“Karena yang membawanya ke dunia ini adalah kau.”
“Dan yang paling berhak memasukkanku kembali ke hidupnya… juga kau.”
Tangannya akhirnya menyentuh lembut sisi wajah Keira.
Tidak kasar. Tidak memaksa.
Hanya sentuhan yang menggetarkan ribuan kenangan dan kemungkinan.
“Aku tidak datang sebagai CEO malam ini,” bisiknya.
“Aku datang sebagai pria yang kehilangan tujuh belas tahun kehidupan putranya… dan perempuan yang tidak pernah benar-benar pergi dari pikirannya.”
Keira menelan ludah. Hatinya dan pikirannya bertarung hebat.
“Ethan…” suaranya pecah di ujungnya.
“Aku di sini,” jawab Ethan pelan, nyaris seperti sebuah janji. “Dan aku tidak akan pergi lagi.”
...****************...
up nya kurang kk
3 S😍
tutur bahasanya rapi halus tegas jarang tipo atau mungkin belum ada
semangat tor 💪💪💪