Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27.
Sekitar satu bulan setelah kejadian terakhir, kekuatan Kodasih belum menunjukkan tanda tanda berhenti.
Ia tumbuh… terus tumbuh… seperti akar hitam yang menyebar di bawah tanah, diam namun menghancurkan apa pun yang disentuhnya.
Pada suatu malam sunyi, ketika ia tenggelam dalam meditasi yang semakin sering menyeretnya ke batas kewarasan, ia merasakan sesuatu bergerak… dari dalam dadanya.
Bayangan.
Ia menariknya perlahan.
Mula mula hanya bentuk samar.. seperti tangan yang menggapai.
Sedikit lebih jauh… berubah menjadi kepala.
Dan ketika ia menariknya sepenuhnya keluar…
…muncullah sosok kedua dirinya, terbuat dari peteng.. kegelapan pekat.. yang berdiri patuh tanpa suara.
Kodasih tersenyum tipis, senyum yang tidak lagi dimiliki manusia.
“Kowe… aku. Neng wujud sing ora bakal mati.”
(Kamu… Aku. Dalam wujud yang tidak akan mati.)
Bayangan itu menunduk dalam dalam, seperti pelayan yang bersujud pada ratunya.
Kodasih mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh pipi sosok gelap itu.
Sentuhan nya seolah membuat udara di sekeliling mereka menusuk.. dingin dan pahit.
“Nyebarno rasa wedi… rasa getun… rasa iri…
Aku pengin wong wong ngerti sapa sing saiki dadi penguasa ing tanah iki.”
(Sebarkan rasa takut… rasa kecewa… rasa iri…
Aku ingin orang orang tahu siapa yang sekarang menjadi penguasa di tanah ini.)
Bayangan itu bergetar pelan, lalu melesat naik ke atap rumah, menghilang ditelan malam.
Beberapa hari kemudian, seluruh desa diguncang mimpi buruk yang sama:
Senyum seorang wanita.
Senyum yang bukan lagi milik manusia.
Keesokan harinya, penduduk berdatangan ke rumah Kodasih, memohon perlindungan dari sesuatu yang, ironisnya, berasal dari Kodasih sendiri.
Ia menerima mereka satu per satu…
Dan setiap ketakutan, kecemasan, dan rasa gelisah yang mereka ceritakan, meluncur ke tubuh Kodasih seperti kabut hitam yang menggumpal... menyuburkan kekuatan nya lebih jauh lagi.
Sampai akhirnya Kodasih menyadari satu hal:
Ia bukan sekedar dukun lagi.
Bukan penyembuh.
Bukan penjaga batas terang dan gelap.
Ia adalah RATU.
Ratu dari rasa sakit, rasa takut, dan keinginan manusia yang paling tersembunyi.
Bayangan dalam dada nya berbisik… namun kali ini suaranya seperti suara Kodasih sendiri.
“Kowe wis tekan pucuke, Dasih… Saiki wong wong ora mung butuh kowe… Wong wong kuwatir tanpa kowe. Wong wong wedi ninggalke kowe.
Lan rasa wedi iku… dadi duweke kita.”
(Kamu sudah sampai puncak nya, Dasih… Sekarang orang orang bukan hanya butuh kamu… Mereka khawatir tanpa kamu. Mereka takut meninggalkanmu.
Dan rasa takut itu… menjadi milik kita.)
Kodasih membuka kada mata nya..
Sayap bayangan nya membentang lebar, menyentuh dinding ruangan seperti helaian kain malam yang hidup.
Dengan suara tenang seperti genangan air beku, ia berbisik:
“Urip…, saiki giliranku sing nyekel.”
(Hidup… sekarang giliranku yang memegangnya.)
Semakin hari, semakin banyak orang datang.
Semakin banyak rasa takut, ragu, iri, sakit, dan cinta tak terbalas yang ia makan.
Tetapi bagi Kodasih… semua itu tidak lagi cukup.
Di tengah joglo yang diterangi dupa dan kemanyan, asap melingkar seperti cincin kegelapan.
Sayapnya mekar penuh.. dua helai kegelapan yang berdenyut seperti jantung kedua.
“Desa iki wis kebak rasa sing tak pangan…” gumamnya.
(Desa ini sudah penuh dengan rasa yang sudah kumakan…)
Bayangan dalam dada nya menjawab, suara nya seperti gesekan logam dengan tulang:
“Pancen… wong desa iki gampang entek.
Nanging njaba kono… akeh rasa, akeh sedih, akeh kahanan sing iso dadi pangananmu.”
(Benar… orang desa mudah habis.
Tapi di luar sana… banyak rasa, banyak duka, banyak keadaan yang bisa menjadi makananmu.)
Kodasih membuka mata.
Tatapannya tenang.. namun penuh ancaman.
“Wektu kanggo metu saka desa.”
(Saatnya keluar dari desa.)
🌑🌑🌑
Pada saaat malam bulan mati. Langit seperti sumur gelap tanpa dasar.
Kodasih melesat menuju kota kecamatan, tempat di mana ratusan hati yang retak berkumpul dalam kesibukan sehari hari.
Saat ia menjejakkan kaki di alun alun, bayangan di bawah tubuh nya menyebar seperti air hitam yang merayap.
Tidak ada seorang pun yang melihat nya.
Tapi mereka merasakan:
Dada berdebar tanpa sebab.
Pikiran gelisah.
Ingatan buruk kembali muncul dari masa lalu.
Cinta lama yang membusuk mengambang ke permukaan.
Rasa iri bangkit tanpa alasan.
Kodasih melihat semua nya… dan menikmati setiap detik nya.
Ia duduk di kursi taman, mengamati aliran manusia seperti memandangi sungai penuh korban.
Setiap rasa yang tercerabut, mengalir masuk ke tubuh nya sebagai benang hitam yang menyatu ke dalam kulit nya.
Bayangan dalam dirinya mengerang..., kenyang... dan bahagia...
“Kowe ndeleng, Dasih?
Iki dudu desa…
Iki kerajaan pertama kanggo kowe.”
(Kau lihat, Dasih?
Ini bukan desa…
Ini kerajaan pertama mu.)
Kodasih menatap lampu kota yang berkedip kedip tersengal sengal...
“Lan aku butuh kerajaan sing luwih gedhe.”
(Dan aku butuh kerajaan yang lebih besar.)
Beberapa saat kemudian.
Seorang pejabat kecamatan.. Pak Camat .. mendekat. Lelaki yang terkenal murah senyum, tetapi hati nya selalu digerogoti rasa takut yang tak pernah ia akui.
“Nyi… kulo bade takon. Nopo njenengan niku… Nyi Dasih, dukun sing kondhang soko dusun Akar Wangi ?”
(Nyi… saya ingin bertanya. Apakah Anda itu… Nyi Dasih, dukun yang terkenal itu dari dusun Akar Wangi ?)
Kodasih menatapnya perlahan.
“Njaluk mu opo?”
(Apa yang kau minta?)
Pak Camat menelan ludah, suara nya pecah.
“Kulo… kulo resah, Nyi. Kulo wedi gagal. Wedi kepaten jabatan. Wedi disengit i wong wong.”
(Saya… saya gelisah, Nyi. Saya takut gagal. Takut kehilangan jabatan. Takut dibenci orang orang.)
Kodasih tersenyum lembut.
Terlalu lembut.
“Wedi iku… gampang diresiki.”
(Rasa takut itu… mudah dibersihkan.)
Bayangan di punggungnya merayap turun, menyusup di bawah bangku tak terlihat, tak terdengar.
Pak Camat merinding. Tetapi ia tidak mampu mundur.
“Tenang wae,” bisik Kodasih, manis namun mematikan,
“aku mung arep nyopot rasa sing gawe kowe ringkih…”
(Tenang saja… aku hanya ingin mengambil rasa yang membuatmu lemah…)
Bayangan itu menghunjam dadanya.
Tubuh Pak Camat menegang. Mulutnya terbuka tanpa suara.. seolah jeritannya dicabut paksa dari tenggorokannya.
Wajah nya membeku seperti topeng ketakutan yang tak sempat diselesaikan pemahatnya.
Beberapa detik kemudian, bayangan itu kembali ke Kodasih, membawa sepotong “ketakutan manusia” yang masih basah dan berat.
Pak Camat terjatuh. Napasnya tersengal… tapi wajahnya bersih.
Kosong.
Tenang.
Seolah sebagian dirinya telah dicabut.
“Wis, Pak,” ujar Kodasih sambil berdiri.
“Kowe ora wedi maneh.”
(Sudah, Pak. Kau tidak takut lagi.)