Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Ratih terengah, memeluk kedua Liontin itu ke dadanya. Liontin Api Biru terasa hangat, berdetak dengan kehidupan, sementara Liontin Mata Ketiadaan terasa seperti lubang es yang mengisap semua panas. Wajahnya pucat pasi, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena pertemuan langsung dengan makhluk yang didominasi oleh kekosongan mutlak.
Wijaya segera bangkit, mengabaikan darah di bibirnya. Ia berlutut di samping Ratih.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya dipenuhi ketegasan yang jarang ia tunjukkan. Ia tidak bertanya tentang Liontin, ia bertanya tentang Ratih.
Ratih menggeleng. "Sosok itu... ia bukan boneka, Wijaya. Ia adalah bagian dari ketakutan itu sendiri. Aku bisa merasakan bahwa menyatukan Liontin tanpa memahami apa Liontin Kedua itu, dan siapa dia, bisa jadi adalah perangkap."
Ia menatap Liontin Mata Ketiadaan yang ungu tua. "Luna mengatakan Liontin ini adalah kunci untuk menghentikan Sang Penghancur, tetapi Sosok itu menginginkannya kembali. Itu artinya Liontin ini memiliki kegunaan ganda. Jika kita menyatukan keduanya sekarang, kita mungkin saja membuka pintu yang salah, mempercepat Peleburan."
Keputusan Ratih sudah bulat: Mereka harus mencari tahu lebih banyak tentang Liontin Kedua dan Sosok misterius itu.
"Kalau begitu, kita tidak akan menyatukannya," kata Wijaya, tatapannya tegas, mengamankan keputusan Ratih. "Pertama, kita kembali ke atas. Lalu kita cari petunjuk. Apa pun yang bisa menahan entitas sekuat itu pasti meninggalkan jejak. Aku akan selalu melindungimu Ratih" tatapan mereka bertemu dan membuat hati Ratih merasakan getaran baru.
Disana Sagara yang ikut Ratih pulang, dan kini juga ikut masuk keruang bawah tanah mencoba memecah keheningan kedua orang itu, dengan mengeram dan mengangguk setuju, dan melonggarkan cengkeraman sihir yang sempat menekannya.
Wijaya membantu Ratih berdiri, tangannya menangkup bahu gadis itu lebih lama dari yang seharusnya—sebuah gerakan kepedulian yang sunyi. Ratih merasakan betapa tegangnya tubuh Wijaya. Di medan perang, Wijaya adalah ahli strategi yang tenang, tetapi di hadapan bahaya yang mengancam Ratih, ketenangan itu sedikit goyah.
"Aku baik-baik saja, Wijaya," kata Ratih lembut, memegang tangan Wijaya sejenak. "Terima kasih."
Melihat kelegaan yang perlahan memancar dari mata Wijaya, Ratih tahu bahwa pertarungan batin pria itu jauh lebih rumit daripada pertarungan pedang. Di antara semua temannya, Wijaya adalah yang paling menjaga, dan rasa peduli itu kini terasa seperti jangkar di tengah badai.
Setelah keluar dari Kuil bawah tanah, mereka menjelaskan situasi kepada Dara dan Jaya. Dengan kedua Liontin itu di tangan, ancaman Peleburan terasa begitu dekat, dan rencana harus disusun ulang.
Pagi berikutnya, Kael dan Aria mengumumkan keputusan mereka.
"Kami tidak bisa tinggal," kata Kael, tubuhnya sepenuhnya pulih, tetapi matanya memancarkan keseriusan yang baru. " Aku dan aria harus kembali ke desakami, disana kami ingin menemui guru kamu dan bertanya cara mengalahkan sang penghancur, dan disana aku akan mencari buku sejarah keluargamu Ratih, tunggu saja saat pertempuran itu akan dimulai, aku dan aria akan kembali kesini." Kata kaeil.
Ratih dan yang lainya hanya mampu melelpaskan mereka, Perpisahan itu terasa manis dan getir. Ada janji untuk bertemu lagi, tetapi kini, setiap sudut dunia terasa berbahaya.
Setelah Kael dan Aria pergi, para serigala salju yang dipimpin Sagara juga pamit untuk kembali ke wilayah Utara, dan empat anggota tim utama—Ratih, Wijaya, Dara, dan Jaya—merasa dunia mereka tiba-tiba menjadi lebih kecil dan lebih terpusat.
Keintiman di Reruntuhan
Malam itu, saat Ratih dan Wijaya sibuk membaca sisa-sisa gulungan yang masih bisa diselamatkan dari lumbung, Dara dan Jaya kembali ke dekat api unggun.
Dara duduk, merawat busur Jaya yang retak sedikit saat bentrokan terakhir. Jaya duduk di sampingnya, mengamati tangan Dara yang cekatan.
"Kau menghabiskan semua energimu untuk Golem itu hingga energimu belum pulih sempurna," ucap Jaya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Dara tersenyum lelah. "Kau juga. Panahmu ke jaring Aria adalah tembakan terbaikmu. Kau mengabaikan Penguasa untuk menyelamatkan satu orang."
"Kita semua punya prioritas kita," balas Jaya. Ia meraih tangan Dara, menghentikan gerakan Dara merawat busur nya . "Bagiku, melindungimu dan yang lain adalah satu-satunya tujuan. Aku… aku takut saat kau menciptakan ilusi ketakutan itu. Rasanya seperti melihatmu memberikan bagian dari jiwamu."
Wajah Dara memerah di bawah cahaya api unggun. Ia selalu kuat, sarkastik, dan tertutup oleh tembok energi murni, tetapi kini, di tengah kehancuran, tembok itu rapuh.
"Energi itu akan kembali," bisik Dara, matanya menatap mata Jaya yang intens. "Tapi keberanian untuk menggunakannya... itu datang dari melihatmu di sisiku, Jaya."
Jaya mendekat, membiarkan keheningan berbicara. Ia tidak menciumnya, tidak juga mengucapkan kata-kata cinta yang bombastis. Ia hanya meletakkan kepalanya dengan lembut di atas kepala Dara, sebuah janji perlindungan dan penerimaan. Ikatan mereka, yang tumbuh dari kekacauan, adalah sebuah percikan harapan yang berharga.
Wijaya, yang melihat adegan itu dari jauh, hanya tersenyum tipis. Ia mengalihkan pandangannya, kembali fokus pada Ratih yang sedang memegang Liontin dan gulungan tua.
Pencarian Ratih dan Wijaya berlanjut ke kuil bawah tanah. Mereka tidak menemukan gulungan, tetapi dinding batu basal kuil itu, yang awalnya terasa padat, ternyata memiliki ukiran samar yang disamarkan oleh sihir.
Ratih menggunakan Api Biru barunya, yang kini memiliki sifat membersihkan, untuk melucuti sihir penyamaran tersebut.
Ukiran itu menunjukkan ritual kuno, bukan tentang api atau cahaya, melainkan tentang Ketiadaan. Sosok yang baru saja mereka temui diukir di tengah, digambarkan sebagai Leluhur Bayangan—pelayan paling awal dari Sang Pencipta Void.
"Lihat ini, Wijaya," bisik Ratih, tangannya gemetar.
Ukiran itu menceritakan bahwa Leluhur Bayangan diciptakan dari kegagalan Penciptaan itu sendiri. Ketika dunia dibentuk, Ketiadaan mencoba menelan kembali cahaya, dan dari sisa-sisa energi yang tertolak, Leluhur Bayangan terlahir. Sosok itu tidak punya tujuan, selain untuk merasakan kekosongan, dan ia melakukan itu dengan menyerap energi kehidupan dan sihir murni.
"Dia adalah antithesis dari emosi," simpul Ratih. "Ia menarik rasa sakit, ketakutan, dan keputusasaan, mengubahnya menjadi bahan bakar untuk Sang Pencipta Void."
Wijaya menyipitkan mata pada ukiran itu. "Dan Liontin Kedua?"
Liontin Kedua, menurut ukiran kuno, disebut sebagai Liontin Penolak (Rejection Amulet).
"Itu adalah kunci yang mengikat Leluhur Bayangan di kuil ini," jelas Ratih. "Liontin ini tidak menyalurkan Api, melainkan Kehendak Murni untuk menolak Kekosongan. Liontin Kedua tidak memancarkan cahaya, tetapi menciptakan kekosongan positif yang menolak yang negatif. Inilah yang membuat Leluhur Bayangan tersedot kembali. Dan itulah mengapa Penguasa menginginkan Liontin pertamaku: untuk memperkuat energinya dan membebaskan Leluhur Bayangan."
Wajah Wijaya semakin mengeras, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. Ia melihat Ratih—yang tangannya kini memegang dua kekuatan kosmik, Liontin yang berlawanan, dengan wajah letih namun tekad membara—dan ia tahu bahwa Ratih berada di garis bidik Sang Penghancur.
"Ratih," Wijaya berbalik, memegang pundak Ratih dengan kuat, memaksa Ratih untuk menatap matanya. "Kita telah melihat apa yang bisa dilakukan Liontin itu padamu. Itu hampir mengisap jiwamu di Kuil tadi. Aku tidak peduli dengan Peleburan, Liontin, atau takdir dunia. Aku hanya peduli padamu. Kita harus mencari cara untuk menyatukan kekuatanmu dengan Liontin tanpa kau harus mengorbankan dirimu. Cari tahu apa yang terjadi jika kedua Liontin ini bersatu."
Ratih mengangguk, tatapannya membalas tatapan Wijaya dengan kejujuran yang sama. Di tengah ketidakpastian horor yang menanti mereka, rasa peduli Wijaya, janji senyap antara Jaya dan Dara, dan Api Biru di lehernya adalah satu-satunya hal yang nyata.
Liontin Kedua kini ada di tangan Ratih, tetapi bahaya sesungguhnya baru saja dimulai. Sang Pencipta Void tahu Ratih memegang Liontin itu.
Mereka harus segera mencari tempat perlindungan yang aman untuk menguji penyatuan kedua Liontin, sebelum Leluhur Bayangan kembali, kali ini, dengan kekuatan penuh.