Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab:24 Ada Yang Main Kotor
Malam itu semakin larut. Lista masih ada di dalam cafe. Berbaring di sofa, di ruangan kasir.
Semua lampu di matikan, seolah cafe itu tutup dan benar-benar tak ada orang. Lista memilih untuk tetap tinggal di sana, daripada harus pulang ke rumah.
Suara motor datang ke halaman cafe, Lista langsung duduk, ia tak panik. Karena ia kenal suara motor itu.
Alka membuka pintu cafe, suasananya hening, hanya lampu kuning redup yang menerangi. Ia melangkah gontai masuk ke meja kasir.
Tapi tak lama langkahnya terhenti, matanya membulat sempurna. "BANGSAT!! HANTU!" Alka nutup tirai kasir panik. Wajahnya pucat.
"PALA LO HANTU!" balas Lista, berteriak dari dalam. Sebelum tawanya pecah.
Alka kembali membuka tirai kasar. Menatap lama pada Lista yang tengah duduk di sudut sofa.
"Gila, lo. Kenapa nggak bersuara? Ngomong apa kek? Kaget gue!" omel Alka sambil berjalan menghampiri, lalu memukul lengannya pelan.
Lista meringis kecil. "Salah sendiri masuk kayak maling."
"Lah gue kira lo udah pulang! Di dalam gelap begini," balas Alka cepat.
"Niatnya mau pulang. Tapi..." Lista menatap langit-langit, suaranya turun setingkat lebih pelan. "Gue nggak tenang, gue masih penasaran siapa pemilik obat itu."
Alka ikut diam. Dada yang sempat heboh karena kaget, kini jadi berat mikirin hal yang sama.
"Kira-kira itu punya siapa?" tanya Lista tanpa menatap Alka.
"Gue nggak tahu, Ta." Alka menyandarkan kepalanya ke sofa. "Athar nggak mungkin. Cakra juga... sebego-begonya dia, nggak bakal nyentuh yang kayak gitu."
"Ya... kecuali mereka udah berubah," celetuk Lista pelan.
Alka langsung ngelirik tajam. "Jangan sembarangan kalau ngomong."
"Iya, iya, cuma kemungkinan..."
Keheningan diantara mereka kini menggantung. Alka memijat pelipis, sementara Lista menatap langit-langit cafe.
Tak lama Lista menegakkan tubuhnya, menggeliat kecil. Tapi tak lama keningnya mengerut. "Ka, Ka."
"Sssttt!" Lista mendadak panik mencodongkan tubuhnya ke arah kaca jendela. Tatapannya fokus.
"Apa?" Alka ikut noleh.
Lista berbisik nyaris tak terdengar. "Ada orang..."
Alka langsung berdiri, napasnya tercekat. "Athar? Cakra?"
Lista menggeleng pelan. "Bukan... tinggi... pakai hoodie."
Alka langsung mengerti maksudnya. Ia langsung bangkit, melangkah pelan ke pintu masuk. Begitu sosok itu bergerak, Alka langsung lari mendekat.
"WOII! SIAPA LO!!" teriak Alka.
Begitu mendengar suara Alka. Orang itu panik, berlari dari sana dan naik ke atas motornya.
Motor hitam tanpa plat sudah menyala. Orang itu cuma sempat menoleh sebelum memutar gas kencang. Dalam sekejap motor itu melesat menghilang ke jalan gelap.
Alka berdiri terengah, keringat dingin merayap ke tengkuk.
Motor itu asing. Bukan milik Athar. Bukan milik Cakra. Dan jelas bukan orang yang seharusnya mantau cafe itu tengah malam.
Alka nendang krikil kecil, lalu kembali masuk.
"Ta, Ta." suara Alka parau. "Kita salah. Ternyata bukan mereka."
Lista memeluk bantal sofa, wajahnya ikut tegang. "Kalau bukan mereka... berarti ada orang lain yang masuk ke sini."
Alka langsung mengeluarkan ponselnya. "Gue panggil Athar sama Cakra. Kita kelarin bareng-bareng."
"Harus sekarang?" tanya Lista.
"Ya sekaranglah!" Alka menyahut cepat. "Gue udah keburu penasaran, dan gue nggak mau kita saling tuduh lagi."
Alka duduk gelisah di sofa, sebelah kakinya terus ia ayunkan. Matanya terus menatap parkiran, berharap Athar dan Cakra datang malam ini juga.
Setelah hampir satu jam. Suara motor kini memecah sunyi di halaman cafe. Athar langsung turun, langkahnya lebar saat masuk.
Athar masuk ke ruangan kasir, wajahnya masih datar. "Mau bahas apa lagi? Gue males kalau mau ribut!"
Alka menoleh, tatapannya menusuk. "Gue lagi nggak cari ribut!"
Athar membuang napas kasar. "Yaudah ngomong sekarang, mau apa?"
"Bentar, nunggu Cakra dulu. Kita lurusin malam ini juga." Alka berusaha nahan emosinya.
Alka dan Athar saling menatap, sorot mereka tajam. Rahang Athar mengeras, napas Alka memburu.
Lista yang tengah duduk menatap keduanya. Ada senyum samar muncul di wajahnya. "Kalau pada mau berantem, berantem aja kali. Nggak usah di tahan gitu."
"Diem lo." bentak keduanya sambil mengalihkan tatapannya.
Lista nyengir lebar, langsung nutup muka dengan bantal. Tapi tak lama di balik bantal itu, ia tertawa kecil.
Suara motor di luar kembali memecah keheningan, Alka dan Athar langsung noleh. Cakra berjala masuk dengan wajah yang masih penuh emosi.
Ia masuk ke ruang kasir, natap kedua temannya bergantian. "Mau pada nyalahin gue lagi?" ujarnya.
Alka membalas tatapan itu, ia menghela napas panjang. Lalu mulai bicara. "Gue yakin pelakunya bukan kalian."
"Kenapa tiba-tiba lo yakin? Bukannya tadi siang lo ngotot diantara kita pelakunya." sahut Athar cepat, suaranya masih tegas.
Alka berdecak kecil. Lalu menceritakan apa yang barusan ia dan Lista lihat.
Athar dan Cakra langsung saling melempar pandangan. Sorot yang penuh emosi itu, kini berganti menjadi bingung.
"Lo lihat orangnya nggak?" tanya Cakra dengan suara yang mulai pelan.
"Motonya asing. Nggak ada plat. Dan gayanya, bukan lo berdua. Gue yakin." tatapan Alka menusuk.
Athar yang tadi tersinggung, kini mulai melunak. "Artinya... orang luar yang main kotor di cafe ini?"
Alka mengangguk pelan, yakin. "Gue nggak tahu apa tujuan dia, sampai berani naruh barang itu di sini."
Cakra menyilangkan tangan di dada. Tatapannya lurus ke lantai. "Atau jangan-jangan... coba deh kalian pikirin. Lo pada pernah punya masalah nggak sama orang lain?"
"Masalah sama siapa? Sehari-harinya aja gue bareng kalian," sahut Athar.
"Mungkin lo, Ka. Masalah dance atau apa?" tatapan Cakra lebih serius.
Alka menggeleng cepat sambil berdiri. "Nggak mungkin dan gue nggak pernah punya musuh. Kalaupun ada orang yang iri sama kemampuan gue, harusnya dia udah menang. Karena gue gagal di audisi kemarin." jelas Alka.
Lista menegakkan duduknya, menatap ketiganya bergantian. "Gue harap sih, kita masih bisa saling percaya satu sama lain. Masalah ini udah jelas."
Alka mendengus pelan. "Jelas apanya? Kita belum nemu jawabannya lho! Sekarang kita harus hati-hati!"
Suasana kembali hening. Bukan hening nyaman. Tapi hening penuh ancaman. Tak ada lagi yang bersuara, semuanya fokus pada pikirannya masing-masing.