Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab, duapuluh empat. Tanda lahir
"Apa yang terjadi dengan istriku. Siapa yang berbuat ini!" Gavin berteriak lantang. Tatapannya terhenti pada sosok Soraya, yang wajahnya berubah pias saat melihat Bella pingsan di pelukan Gavin.
"Kamu, apa yang telah kamu perbuat pada istriku?!" tatap Gavin tajam seolah mau menguliti wajah Soraya, " kenapa pakaian istri saya basah?!" tatapnya nyalang pada kerumunan.
"Aku tidak sengaja menabrak istri kamu. Aku sudah minta maaf tapi dia marah-marah," ucap Soraya memelas. "Dia juga memaki-maki aku, padahal aku tidak sengaja." Soraya mulai terisak. Hatinya sangat sakit melihat reaksi Gavin yang begitu perhatian pada Bella.
"Awas kamu, jika terjadi sesuatu dengan istri saya, aku akan buat perhitungan dengan kamu. Martin, jaga perempuan itu jangan sampai lepas. Aku mau bawa Bella ke rumah sakit." Gavin menggendong tubuh Bella menyeruak kerumunan, untuk membawanya ke rumah sakit.
"Tunggu sebentar, aku adalah dokter. Izinkan aku memeriksa istri Anda." seorang lelaki paruh baya menawarkan diri, "Anton, ambilkan peralatan medisku di mobil." perintah lelaki itu pada supirnya.
"Tolong baringkan istri Anda, yang lain saya mohon beri ruang dulu." kerumunan itu berpencar. Beberapa dari mereka saling berbisik.
"Aku melihatnya tadi, perempuan itu sengaja menuang minuman itu pada istrinya." Gavin mendengar bisikan itu, kedua netranya langsung menatap tajam ke arah Soraya. Dia sudah menduga, pasti Soraya sengaja cari masalah dengan istrinya.
'Tunggu, aku akan balas perbuatanmu ini Soraya. Aku pastikan kamu tidak akan lolos dari semua ini,' geram Gavin. Rahangnya sampai mengeras menahan amarah.
Dokter tua itu memeriksa denyut nadi Bella dengan stetoskop. Setelah selesai memeriksa.
"Istri Anda sedang hamil ya?" guman dokter itu pada Gavin. Gavin menggangguk. Soraya terkejut mendengar ucapan dokter itu.
"Bagaimana keadaan istri saya dokter?" ucap Gavin khawatir.
"Istri Anda sepertinya shock. Mungkin dia pernah mengalami traumatis. Yang lainnya baik-baik saja." dokter itu menutup kembali kancing bagian atas Bella yang sengaja dibuka untuk memudahkan pemeriksaan.
Disaat hendak merapikan pakaian Bella. Tanpa sengaja dokter itu melihat seperti tanda lahir sebesar koin di sekitar bahu Bella.
Beberapa saat dokter itu terdiam. Tanda lahir itu mengingatkannya pada kenangan beberapa tahun dulu. Tanda itu mirip dengan tanda yang dimiliki putrinya. Tapi sayang, putrinya telah hilang dua puluh dua tahun yang lalu. Sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Meskipun mereka telah mencarinya kemana-mana.
"Ugh ...." Bella menggeliat. Kesadarannya telah pulih. Dia heran karena tubuhnya terbaring di atas sofa. Bella mengucek kedua belah matanya. Dan semakin heran ketika melihat Gavin dan seseorang yang mengenakan stetoskop di lehernya.
"Aku di mana?" bisiknya lirih dan berusaha mengingat apa yang telah terjadi padanya. Tapi ingatan itu samar. Bella menggelengkan kepalanya, memusatkan memorinya.
Lalu ingatan akan orang-orang yang berkerumun mengelilinginya tadi, tergambar jelas di memorinya.
"Bella kamu sudah sadar?" Gavin bergegas membantu istrinya duduk.
"Bang, bawa aku pulang," desah Bella. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya di tubuh Gavin. Kondisinya sangat rapuh dan ketakutan. Gavin terkejut melihat istrinya yang berubah.
"Kamu kenapa, jangan takut. Aku ada disini." Gavin membingkai wajah Bella dengan kedua telapak tangannya. Memaksa Bella untuk melihat wajahnya, "ada apa, kenapa kamu ketakutan sekali. Apa yang diperbuat perempuan itu padamu?" Gavin menudingkan telunjuknya pada Soraya.
Bella mengikuti telunjuk Gavin. Pandangan itu terbentur pada sosok Soraya. Dipandangi seperti itu, Soraya salah tingkah.
"Dia menyiramku dengan minumannya," bisik Bella.
"Itu tidak benar. Tadi aku kesandung dan tanpa sengaja minumanku tumpah."sangkal Soraya panik.
"Kamu pasti bohong!"
"Kamu boleh tanyakan pada mereka, Gavin. Istrimu telah memfitnahku," ucap Soraya memelas hendak mencuri simpati orang banyak.
Martin mendekati Gavin dan berbisik.
"Bos, gedung ini dilengkapi CCTV, ada baiknya hal itu diperiksa biar jelas." Martin memberi saran.
"Baiklah, untuk melihat siapa yang benar, sebaiknya CCTV diperiksa."
Soraya jadi panik. Dia menjadi salah tingkah. Saat rekaman CCTV dibuka jelas terlihat, kalau Soraya yang datang menghampiri Bella dari arah belakang. Tidak seperti perkataannya, bahwa dia tidak sengaja. Di layar CCTV jelas terlihat, bahwa dia sengaja menyiram Bella. Lalu keduanya berselisih.
"Kamu masih mau mengelak. Dasar pembohong!" sergah Gavin menatap tajam Soraya.
"Maafkan aku Gavin. Sebenarnya a-aku ...." Soraya berusaha menyentuh lengan Gavin. Ucapannya terputus karena Gavin menepiskan lengannya yang hendak menyentuhnya.
"Pergi kamu! Sebelum aku berubah pikiran." ungkap Gavin tegas tanpa memberi Soraya kesempatan berbicara lebih lanjut lagi.
Dengan menahan malu, Soraya berlalu diiringi tatapan sinis dan cemoohan beberapa orang. Soraya mengepalkan tangannya. Sorot matanya tampak sangat terluka.
'Aku tidak akan menyerah semudah ini.' desisnya sebelum pergi meninggalkan gedung aula itu.
"Pak dokter, terimakasih banyak, ya. Telah berkenan memeriksa istri saya." Gavin memandang dokter tua yang masih berdiri disampingnya.
"Saya, Anwar dan ini istri saya Renita." Gavin menyalami pasangan suami istri itu. Begitu juga Bella. Keduanya menyebut nama mereka kepada dokter itu.
"Istri Anda sangat cantik." puji istri Renita istri dokter Anwar, yang masih terlihat cantik dan awet muda. Padahal pasangan itu sudah di atas lima puluhan.
"Terimakasih Ibu," sungkem Bella santun. Kedua orang tua itu tersenyum dan merasa aneh dengan pertemuan ini. Seperti ada ikatan yang menjembatani mereka pada Bella. Rasa sayang yang tidak bisa dilukiskan. Padahal mereka baru kali ini bertemu.
"Oh, ya, ini kartu nama saya. Siapa tau suatu saat ada perlu. Jangan segan menghubungi kami." dokter Anwar memberikan kartu namanya. Dia sangat berharap akan ada pertemuan lagi di antara mereka.
"Terimakasih dokter." Gavin juga memberikan kartu namanya.
"Nak Gavin, boleh saya menanyakan sesuatu pada Anda. Tapi ini antara kita berdua." Gavin mengernyitkan keningnya mendengar permintaan dokter Anwar. Mendadak dia cemas. Apakah yang hendak ditanyakan dokter di hadapannya ini. Apakah ini mengenai istrinya.
"Boleh, silahkan, dokter," rasa penasaran menyergap seluruh perasaan Gavin. Dokter Anwar melangkah, setelah jarak antara mereka sudah cukup, langkahnya terhenti. Gavin mengikutinya.
Bella dan Renita saling pandang dan pada akhirnya saling tersenyum. Sama-sama menyembunyikan rasa penasaran.
"Ada apa dokter? Apakah dokter hendak membicarakan soal istri saya?" tebak Gavin sedikit cemas.
"Iya, tebakan Anda benar sekali." angguk dokter Anwar.
"Ada apa dengan istri saya. Apakah ada yang aneh dengannya?" ucap Gavin penasaran.
"Saya cuma hendak menanyakan tanda lahir di bahu kanan istri Anda." ucap dokter Anwar pelan.
"Tanda lahir? Tanda lahir apa?" sahut Gavin bingung. Karena tidak mengerti arah tujuan pembicaraan dokter Anwar.
"Tadi saat saya memeriksa istri Anda. Saya melihat ada tanda lahir sebesar koin di bahu kanan atas, Bella.
Deg! ***