Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 # Pernikahan (2)
Aliza menunduk pelan, dadanya terasa sesak. Udara di sekeliling seolah semakin menipis, membuatnya sulit bernapas. Dengan suara lirih ia memberanikan diri:
“Tuan muda… saya izin mencari udara segar di taman.”
Nadeo hanya menatapnya sesaat, lalu menjawab datar, “Pergilah. Tapi ingat… jangan lama-lama.”
“Baik, Tuan,” balas Aliza patuh.
Ia melangkah perlahan meninggalkan ruangan. Begitu melewati pintu, dua pengawal segera mengikuti dari belakang, memastikan setiap gerakannya tetap dalam pengawasan.
Sampai di taman, Aliza memilih duduk di kursi panjang yang sudah dihias rapi dengan ukiran kayu dan dikelilingi bunga melati. Ia menarik napas dalam-dalam, seakan-akan takut udara yang tersedia tak cukup untuknya.
Matanya terpejam sesaat, menikmati hembusan angin malam yang lembut di wajahnya. Namun, di balik semua itu, hatinya justru semakin bergetar—antara penat, sesak, dan rasa terkekang yang tak kunjung pergi.
Mau saya lanjutkan adegannya dengan Aliza termenung hingga muncul sosok tak terduga yang menyapanya di taman (misalnya pelayan tua yang dekat dengannya, atau bahkan Tuan Muda yang tiba-tiba mengikuti dari kejauhan), atau tetap membiarkan Aliza sendiri dalam pergulatan batin dulu?
Apakah begini selamanya? Hidup dalam kurungan emas tanpa bisa menentukan langkah sendiri?" batinnya berbisik getir.
Angin malam bertiup pelan, menyapu wajahnya, menyelipkan aroma bunga melati yang baru bermekaran di sekitar taman. Hanya itu satu-satunya yang membuatnya merasa sedikit lebih hidup.
Aliza menutup mata, mencoba meresapi ketenangan sesaat, namun bayangan wajah Tuan Muda Nadeo kembali hadir dalam pikirannya—tatapan dingin, perintah tegas, dan aturan-aturan yang mengekangnya.
Seketika ia membuka mata lagi, napasnya terengah. “Aku harus kuat,” ujarnya lirih hampir tak terdengar. Namun pengawal di belakangnya sempat melirik, memastikan Nona muda itu baik-baik saja.
Aliza masih duduk termenung di kursi taman, tatapannya kosong ke arah bunga melati yang bergoyang pelan tertiup angin. Dadanya sesak bukan hanya karena udara, tetapi juga karena beban nasib yang kini menjeratnya.
Tiba-tiba suara pelan memanggil dari arah belakang, “Kak…”
Aliza terperanjat, lalu menoleh. Ia mendapati Rafael, adiknya, berdiri di antara bayangan lampu taman. Wajah pemuda itu penuh rasa bersalah.
Rafael melangkah cepat menghampiri, lalu berlutut di samping kursi tempat kakaknya duduk. Suaranya bergetar menahan emosi.
“Kak… maaf… aku tidak bisa menolong kakak dari keserakahan mama. Kenapa mama tega melakukan itu pada kakak?” Rafael menunduk, matanya basah. “Kalau saja mama mau memulai dari nol, pasti semua akan baik-baik saja… tanpa harus mengorbankan kakak dengan laki-laki yang bahkan tidak kakak kenali.”
Aliza menatap adiknya, matanya ikut berkaca-kaca. Jemarinya perlahan menyentuh bahu Rafael, mencoba menenangkan.
“Rafael… jangan salahkan dirimu. Ini bukan salahmu,” ucap Aliza lirih, meski suaranya terdengar patah. “Kakak hanya ingin kamu tetap kuat… jangan ikut terbebani seperti kakak.”
Hening sejenak. Hanya suara angin malam dan detak jantung keduanya yang terdengar.
Salah satu pengawal melangkah mendekat, sorot matanya penuh kewaspadaan.
Aliza segera mengangkat tangannya, mencoba menenangkan.
“Maaf, Tuan,” ucapnya lirih namun tegas, “ini adik saya. Tolong beri saya sedikit waktu untuk berbicara dengannya. Kami tidak akan melakukan hal yang macam-macam.”
Pengawal itu sempat menatap ragu, seakan menimbang-nimbang. Namun tanpa banyak bertanya, ia akhirnya mundur beberapa langkah, tetap waspada sambil menjaga jarak.
Rafael menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar menahan tangis.
“Aku berjanji, Kak… aku akan menolong Kakak lepas dari genggaman Tuan Nadeo. Tapi… aku sedih kalau harus berpisah dengan Kak Liza. Setelah Kakak menikah dengannya… pasti akan sulit bagiku untuk bisa bertemu lagi.”
Aliza menggenggam tangan adiknya erat, berusaha menenangkan hatinya yang ikut tersayat.
“Rafael, dengarkan Kakak baik-baik,” ucapnya lembut. “Kalau kamu ingin bertemu Kakak, datanglah ke butik. Kakak akan selalu ada di sana. Itu tempat kita… tempat yang masih bisa jadi penghubung kita, sekalipun keadaan sudah berubah.”
Rafael menunduk, air matanya jatuh membasahi tangan kakaknya.
“Kak… aku takut kehilanganmu.”
Aliza tersenyum tipis, meski hatinya juga perih.
“Kamu tidak akan pernah kehilangan Kakak, Raf. Selama kita masih punya doa, kita tetap saling bersama, meski jarak memisahkan.”
Langkah berat terdengar mendekat. Seorang pengawal berhenti di hadapan mereka, membungkuk sedikit.
“Maaf, Nona. Tuan muda Nadeo memanggil Anda untuk kembali ke pelaminan. Beliau sudah menunggu.”
Aliza menoleh pada Rafael, jemarinya masih menggenggam tangan sang adik. Senyum tipis ia paksakan, meski hatinya terasa perih.
“Rafael… Kakak harus kembali sekarang. Tuan muda menunggu.”
Air mata Rafael kembali jatuh. Ia mengangguk, meski jelas sekali hatinya menolak berpisah.
“Kak… jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa… kabari aku. Aku akan selalu ada untukmu.”
Aliza mengusap lembut kepala adiknya, menahan isak yang hampir pecah.
“Kamu juga jaga dirimu, Raf. Jangan khawatirkan Kakak terlalu banyak.”
Pengawal itu memberi isyarat, seakan waktu mereka telah habis.
Dengan langkah berat, Aliza melepaskan genggaman adiknya dan mengikuti pengawal kembali ke pelaminan, meninggalkan Rafael yang berdiri terpaku dengan dada sesak.
Langkah Aliza terasa semakin berat ketika ia mendekati pelaminan. Senyum tamu undangan, cahaya lampu, serta dentingan musik yang riang sama sekali tidak sejalan dengan hatinya yang penuh luka.
Di kursi megah berbalut kain putih keemasan, Tuan muda Nadeo sudah duduk dengan sikap tegap, sorot matanya tajam mengamati setiap gerak Aliza. Begitu Aliza mendekat, Nadeo mengulurkan tangannya seakan menuntut kepatuhan.
“Duduklah,” ucapnya dingin, tanpa senyum.
Aliza menunduk sejenak, lalu perlahan duduk di sisi pria yang kini resmi menjadi suaminya. Jarak di antara mereka terasa begitu jauh, meski bahu mereka hampir bersentuhan.
Para tamu bertepuk tangan, menyambut kembali kehadiran kedua pengantin. Tapi di balik keramaian itu, hati Aliza hanya teringat wajah Rafael yang sendirian di antara lautan orang asing, menatap penuh cemas pada kakaknya dari kejauhan.
Nadeo mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik dengan suara rendah namun menusuk.
“Jangan pernah membuatku menunggu lagi, Aliza. Ingat, mulai hari ini, hidupmu sepenuhnya ada dalam genggamanku.”
Aliza hanya bisa mengangguk kecil. Senyumnya dipaksakan di hadapan para tamu, sementara dalam dadanya, rasa terkurung semakin kuat.