Setelah mendapatkan air sumur pertama, kedua, ketiga, keempat , kelima, dan keenam, tinggal ketujuh....konon di sumur inilah telah banyak yang hanya tinggal nama.....mengerikan !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XXIII TELAGA REMIS
Sore itu, Sabdo, Lengser dan juga kakek Palon berpamitan untuk kembali dari pendopo menuju tempat beristirahat sementara di kampung itu. Bangunan sederhana dengan bilik dari bambu dan juga atap dari daun rumbia, terasa nyaman untuk dihuni, seiring dengan ketenangan hati mereka.
Setelah membersihkan badan di sungai yang airnya begitu jernih, ketiganya berada di dalam bangunan itu.
"Semoga malam nanti tidak ada masalah ya kek, soalnya Wiratsangka sudah membentuk tim ronda kampung dari kalangan warga," ujar Sabdo.
"Semoga saja ki sanak, tapi kalian tidak tahu bahwa di bawah kita duduk itu ada sejenis naga tertidur dalam kelakuan hidupnya, saya rasa itu naga jejadian ki sanak," tutur kakek Palon.
"Apakah besar kek naganya ?" tanya Lengser sambil merapat duduknya.
"Besar sih tidak, hanya saja belum bisa untuk di jinakan, masih liar ki sanak," tutur kakek Palon.
"Wah...bahaya juga nantinya kek," sahut Sabdo.
"Semoga saja tidak ki sanak, nanti saja kalau bangun," kata kakek Palon.
Belum juga mereka menikmati hidangan dari Wiratsangka, tiba-tiba terdengar suara ancaman entah dari mana asalnya.
"Palon.....Palon...keluarlah Palon, lawan aku, kau sudah binasakan saudaraku," kata suara itu.
"Kakek Palon segera mengambil sikap badan ber silah, lalu kedua tangannya dilipat di depan dada, dan setelah itu, beliau membuka mata.
"Sebentar, saya ada urusan sedikit ya ki sanak," kata kakek Palon sambil berdiri lalu keluar bangunan itu.
Tubuh kakek Palon kemudian melayang ke atas lalu hilang dari pandangan, membuat Lengser yang melihat semua itu merasa kagum.
"Hebat ki sanak, tadi kakek melayang terus terbang dengan cepat melesat ke arah danau, apa kita ke sana ki sanak ?" tanya Lengser.
"Nanti saja ki sanak, beliau juga bilang tadi sebentar, bisa jadi cuma pergi sebentar juga," jawab Sabdo.
"Tapi ki sanak.....", kata Lengser tidak melanjutkan omongannya.
"Sudah lah, tidak usah kawatir ki sanak," jelas Sabdo sambil minum kopi dan makan gorengan.
"Ya sudah, makan saja dulu ah, hmmmmmm...kayaknya gurih banget ini," ujar Lengser sambil menikmati juga sajian itu.
Sementara di danau yang airnya beracun itu, tampak sebuah sampan bersandar di tepian dan tertambat pada sebuah pasak , semilir angin sepoi, menghias mewarnai redup dan temaram malam itu. Di atas sampan tengah duduk seorang laki-laki separuh baya, berpakaian sedikit lusuh dengan topi caping. Wajahnya tampak begitu menyimpan dendam dan penuh kemarahan, jenggot yang hanya seperti kerumunan lebah dan sudah memutih, serta kumis dan jambang yang juga memutih. Tampak sebatang kawung terselip diantara bibirnya, matanya memandang ke arah tumbuhan yang berjajar.
Belum juga sebatang kawung habis, tampak sekelebat bayangan putih menyelinap di antara pohon-pohon tadi dan berdiri di depan orang yang duduk di sampan.
"Apa lagi yang akan kau minta Nala, semua sudah saya kasih dan saya bagi dengan adil," ujar seseorang berbaju putih ternyata kakek Palon.
"Tidak ada, hanya kau telah curang tidak mau membagikan kunci dari apa yang kau beri itu, justru menjadi malapetaka bagiku, ini barang yang kau kasih aku kembalikan," kata sosok di sampan yang bernama Nala.
"Hmmmm...rupanya kau belum paham juga caranya," kata kakek Palon.
"Iya..,aku tak mau lagi memilikinya, aku ingin ganti yang lain saja," jawab Nala.
"Baik....ini ...silahkan kau pilih Nala," kata kakek Palon sambil memperlihatkan sebuah kotak yang berisi benda aneh.
Akhirnya Nala memilik satu benda dari beberapa benda di dalam kotak itu. Lalu kakek Palon menyimpan kembali kotak itu bersama barang yang dikembalikan oleh Nala. Keduanya masih duduk di atas sampan. Mereka menikmati kawung yang harum bau nya, hingga beberapa saat setelah itu, Nala kembali menuju ke tengah danau dan kakek Palon kembali ke tempat dimana beliau menginap.
Dalam suasana yang menyenangkan, Sabdo dan Lengser sedang menikmati sajian di lesehan, kakek Palon muncul di balik pintu bilik bambu. Setelah memberi salam, akhirnya mereka bertiga kembali menikmati makanan dari pemberian Wiratsangka.
Menjelang tengah malam, tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidur, sebagian sedang berjaga ronda, dari balik sebuah rumpun bambu, tampak sebuah sosok hitam mengendap-endap memasuki wilayah kampung. Sosok itu ada dua, yang satu hitam pekat, yang satu lagi berwarna loreng.
Lengser yang dari tadi duduk di teras langsung berdiri dan kaget melihat kedua sosok tadi dengan bayangan yang besar menutupi hamparan tanah. Ia pun berdiri lalu menghampiri sosok tersebut. Lengser sudah memahami bahwa itu adalah kumbang, hingga ia meraih kayu untuk menghalau. Namun saat Lengser mengangkat kayu itu, sosok tadi tidak lari bahkan semakin mendekati Lengser. Ia pun lari dan membangunkan warga yang tidur di teras juga memanggil Sabdo dan Kakek Palon.
Setelah kedua sosok itu benar-benar berada di hadapan Lengser dan juga yang lain, kini tampak dengan jelas bahwa si kumbang tadi hanyalah kostum belaka. Kedua sosok tadi berdiri dan memandang orang-orang di hadapannya.
"Siapa kalian, berani-beraninya membuat gaduh di sini ?" tanya Sabdo.
"Hmmmmm...rupanya ada orang baru juga di sini, kami datang dari rimba, ingin meminta atau mencari manusia , baik gadis atau jejaka untuk tumbal ," kata sosok hitam.
"Di sini tidak ada gadis atau jejaka, cari di tempat lain saja," jawab Lengser sambil mengusek-usek hidungnya yang gatal.
"Kalau kalian menghalangi, maka akan kami tindak tegas, serahkan atau kami akan meminta paksa", kata si loreng.
"Silahkan kalau bisa, tapi saya tidak bertanggung jawab bila kalian jadi amukan warga," kata Sabdo.
Dari percakapan itu akhirnya memanas dan terjadi adu ucapan yang saling menantang dan menjurus ke arah perkelahian, maka selesai saling adu argumen, perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Si loreng menyerang Lengser yang dengan kocaknya ia mengeluarkan gaya aneh dalam berkelahi, membuat si loreng terpancing emosi dan dalam beberapa jurus, Lengser terkena cakaran di bagian punggungnya, ia merasa kesakitan lalu dalam beberapa waktu tubuh Lengser terjatuh dan tak bisa bergerak alias kaku.
"Hmmmm...kukunya beracun ki sanak, hati-hati saja," ujar kakek Palon sambil memberi pertolongan kepada Lengser.
Sementara itu Sabdo meladeni si loreng, dan dalam jurus kesekian kali, si loreng terpelanting akibat gerakan Sabdo dengan kaki kirinya. Si loreng lalu bangun dan terhuyung sedikit ke belakang. Sabdo kembali memberi serangan berikutnya lalu...terdengar suara seperti patah..krak..,tangan si loreng tidak bisa bergerak, ia terjatuh lalu berusaha berdiri namun gagal. Melihat si loreng jatuh, maka si hitam menyerang Sabdo, si hitam mengeluarkan senjata berupa tombak kecil yang warnanya hitam pekat, pertanda benda itu beracun kuat.