"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Gua Cahaya, Pintu Rahasia
Langkah kaki Aisyah dan Khaerul bergema di sela-sela batuan karang Pantai Lasonrai. Langit senja mewarnai laut dengan jingga kemerahan, seolah memberi isyarat akan terbitnya kebenaran dari balik misteri yang terpendam. Peta tua di tangan mereka menunjukkan titik koordinat gua yang selama ini hanya dianggap sebagai dongeng nelayan.
Di balik semak belukar berduri dan batuan yang menjulang, akhirnya mereka menemukannya—sebuah mulut gua sempit, nyaris tertutup akar pohon dan lumut tua. Udara di sekitarnya lebih dingin dari biasa, dan ada aroma garam yang menusuk. Dengan senter kecil dan mushaf di tangan, mereka masuk perlahan.
Dalam keheningan gua, gema suara mereka memantul. Tak lama kemudian, mereka sampai pada lorong bercabang. Di salah satu sisi lorong, terukir simbol kuno berbentuk segitiga bersilang, sama persis dengan simbol yang pernah mereka lihat dalam kitab Mahfudz.
"Ini bukan gua biasa," gumam Aisyah.
Di dalam lorong itu, mereka menemukan ruangan kecil dengan dinding berisi ukiran dan tulisan Arab gundul. Di tengah ruangan, ada peti kayu tua. Dengan napas tertahan, Khaerul membukanya. Di dalamnya, terdapat lembaran naskah tua berisi wirid dan doa-doa khusus, serta catatan perjalanan spiritual Mahfudz bin Ibrahim.
Tapi bukan itu yang membuat Aisyah tercekat.
Di bagian bawah peti, ada selembar surat dengan tinta merah—berisi pengakuan Mahfudz bahwa ia pernah menjadi bagian dari kelompok ilmu hitam demi pengaruh dan kekuasaan. Namun kemudian ia bertaubat dan membentuk pondok rahasia di tempat terpencil, berharap bisa menebus dosanya.
“Seluruh fitnah dan dendam yang kita hadapi sekarang… adalah warisan masa lalunya yang belum usai,” ujar Khaerul, wajahnya tegang.
Tiba-tiba, dari luar gua terdengar suara langkah cepat. Mereka mengintip dan melihat dua orang berjubah gelap, salah satunya membawa simbol segitiga bersilang.
“Mereka mengikuti kita,” bisik Aisyah.
Khaerul cepat-cepat menutup peti dan mematikan senter. Dalam gelap dan sunyi, mereka mendengar bisikan lirih dari para lelaki itu.
“Kita harus bawa kitab itu ke pemimpin. Jangan sampai mereka tahu isinya.”
Namun takdir berkata lain. Tanpa disangka, sebuah batu besar runtuh dari atas lorong saat salah satu dari mereka menginjak sisi rapuh gua. Gua berguncang. Debu dan batu beterbangan. Lelaki berjubah itu terperangkap, sedangkan satunya melarikan diri.
Khaerul dan Aisyah keluar dengan selamat, membawa naskah dan kitab dalam tas kain. Sesampainya di pondok, mereka langsung menghubungi pihak berwajib dan tokoh masyarakat.
Besoknya, berita tentang gua dan kitab tua itu tersebar luas. Tapi Aisyah menolak semua liputan media. Ia tahu, ini bukan kisah untuk ditonton, tapi untuk direnungkan.
Di malam harinya, saat bulan bulat sempurna menggantung di atas langit Batupute, Aisyah duduk bersama para santri, membaca surat Ar-Rahman dengan suara lirih dan dalam. Setiap ayat terasa seperti tamparan sekaligus pelukan dari langit.
“Semua ini bukan karena kita kuat, tapi karena Allah tak ingin cahaya-Nya padam,” bisiknya pada Khaerul.
Dan di tengah hening yang khidmat, dari jauh terdengar azan berkumandang, melingkupi pondok dengan ketenangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Malam semakin larut, namun suasana pondok tak jua tenang. Sebuah bayangan melintas cepat di luar pagar. Dua santri yang tengah menjaga depan gerbang mendadak kehilangan kesadaran. Saat fajar, kabar mengejutkan mengguncang seluruh penghuni pondok: kitab tua itu raib dari kamar Aisyah.
Pencurian itu tidak biasa. Tidak ada jejak yang jelas. Namun di dinding kamar, tertempel sobekan kecil dari halaman kitab, dengan pesan samar: "Cahaya akan padam jika ia menyinari terlalu banyak."
Khaerul langsung mengumpulkan para tokoh dan warga. Ketegangan melanda. Di balik keheningan pondok, telah ada musuh yang menyusup—dan mereka tidak lagi sekadar mengawasi. Mereka mulai bergerak.
Sementara itu, Aisyah, yang baru saja memulihkan tenaga pasca melahirkan, kembali merasakan tekanan batin. Tapi kali ini, tak ada air mata. Ia justru menguat, menatap langit dengan tekad membara. “Jika ini warisan darah Mahfudz, maka akulah yang akan menyucikannya,” ucapnya dalam hati.
Dengan kekuatan doa, dukungan santri, dan pelukan spiritual dari masyarakat yang mulai percaya sepenuhnya, Aisyah dan Khaerul bersumpah untuk mengakhiri semua ini. Mereka tahu, pertempuran tak lagi hanya di dunia nyata, tapi juga dalam batin dan spiritual.
Dan kisah ini, baru benar-benar dimulai.Angin pantai Lasonrai bertiup lembut, tapi udara sore itu mengandung firasat yang aneh. Seolah langit menyimpan rahasia yang belum sempat diturunkan dalam doa-doa malam sebelumnya. Kabut tipis merayap dari air laut, menyelimuti batu-batu karang dan celah gua tempat kitab suci kuno pernah ditemukan oleh Aisyah dan Khaerul. Kini, gua itu kembali kosong. Tidak ada kitab. Hanya debu dan kenangan yang membungkam.
Di Pondok Tahfidz Ummu Nafizah, suasana berubah drastis sejak hilangnya kitab tersebut dan penculikan salah satu santri bernama Naufal. Bocah sepuluh tahun yang dikenal pendiam dan hafal juz Amma itu menghilang tanpa jejak setelah shalat Subuh. Sepatunya ditemukan di dekat sumur belakang, namun tak ada yang mendengar atau melihat apa pun. Sebuah kejadian yang menghentak seluruh pondok.
Tangis para santri memecah keheningan malam, sementara Aisyah yang masih lemah pasca melahirkan, berjuang menenangkan para penghuni pondok. Wajahnya pucat, tubuhnya masih rapuh, namun sorot matanya menyala oleh cahaya iman yang tak pernah padam.
"Aku yakin... ini bukan sekadar penculikan. Ini bagian dari rangkaian misteri yang belum selesai," ujar Khaerul sambil menggenggam erat tangan Aisyah.
Pak Ustadz Rahman, salah satu guru senior pondok, mengangguk. "Malam sebelum kejadian, aku melihat seseorang berdiri lama di gerbang pondok. Sosoknya samar, tapi tatapannya tajam seperti mengupas batin. Aku yakin... itu orang yang sama yang dulu pernah datang saat pertama kali pondok ini didirikan."
Desas-desus mulai menyebar. Ada yang bilang Pak Samad kembali dengan niat buruk, ada pula yang menyebut kitab kuno itu menyimpan kekuatan yang jika jatuh ke tangan yang salah, bisa membawa fitnah besar.
Masyarakat sekitar ikut terpanggil. Beberapa orang tua datang membantu mencari di sekitar hutan kecil dan pantai, namun hasilnya nihil. Anehnya, tiap malam, seseorang mendengar lantunan ayat suci dari arah gua Lasonrai, meski tak ada satu pun manusia di sana.
Aisyah, meski tubuhnya lemah, meminta ditemani ke gua itu oleh Khaerul. Ia merasa ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang belum selesai.
Sesampainya di sana, mereka menemukan secarik kertas terjepit di celah batu. Tulisan tangan Naufal dengan tinta pudar:
"Aku tidak sendiri. Cahaya tetap menuntunku. Mereka ingin kitab itu. Tapi aku sudah menyimpannya... dalam hati."
Air mata Aisyah tumpah. "Naufal... anak itu... dia bukan sekadar santri. Dia cahaya kecil yang dititipkan Allah untuk menjaga kebenaran ini."
Misteri semakin menebal, namun cahaya juga mulai menyelinap dari celah-celah gelap. Khaerul berdiri tegar, Aisyah bersandar pada tongkat kekuatannya: iman dan cinta.
Dan perjalanan belum berakhir...