"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 15
Rojali menatap Ratih yang tertidur pulas setelah dua ronde pertarungan sengit di atas kasur tua yang berderit. Nafasnya masih terengah, tapi matanya lembut saat memandang wanita itu.
“Kamu sudah terlalu banyak menderita…” gumam Rojali pelan.
Ia melangkah ke jendela, membuka pelan, lalu melompat keluar tanpa suara.
“Saatnya kalian membayar semua hutang darah,” bisiknya.
Dalam sekejap, tubuhnya melesat di antara pepohonan. Tak butuh waktu lama, ia sudah berdiri di depan rumah Harsono. Puluhan anak buah Harsono sudah berkumpul. Sebagian menyebar ke sudut-sudut kampung. Malam ini, aroma pertumpahan darah terasa begitu kental.
Suasana kampung mencekam. Tak ada satu pun warga yang berani keluar. Mereka semua takut dengan kegilaan Harsono. Tapi malam ini lebih dari itu—mereka juga takut dengan Rojali.
“Dia sudah gila!” keluh warga. “Bikin masalah, memprovokasi Harsono!”
Di tengah kerumunan, seorang pria tinggi besar bersuara lantang. Jaket kulitnya berkibar tertiup angin.
"Hari ini, orang tolol itu berani menantang kita! Kalau dia masih hidup sampai pagi, kita akan jadi bahan tertawaan!" teriak Baron.
“Bunuh!” seru Baron.
“Bunuh!” sahut puluhan orang. Suasana makin tegang.
Sementara itu, di rumah Narti, pengurus warga berkeliling memberi pengumuman agar warga tak keluar rumah.
"Semua gara-gara Rojali!" geram Narti.
“Sinta, coba bangunkan Ratih!”
Sinta mendekat ke pintu kamar Ratih. Baru menyentuh gagang, tubuhnya terpental ke belakang.
"Kenapa kamu, Nak?" tanya Narti panik.
"Aku nggak tahu, Bu," jawab Sinta sambil meringis kesakitan.
Narti pun mencoba sendiri. Tapi tubuhnya juga terpental.
"Ratih! Keluar kamu!!" teriaknya histeris.
Tapi Ratih tak dengar. Ia sedang tertidur nyenyak… untuk pertama kalinya dalam 23 tahun, tanpa rasa takut sedikit pun.
...
Di rumah Harsono, deru mesin mobil meraung. Dua puluh mobil bersiap. Puluhan anak buah siap tempur.
Lalu—bruk!—gerbang terbuka keras.
Debu mengepul. Rojali berdiri tegak di sana.
“Tak usah repot mencariku. Aku yang datang,” ucapnya datar, tapi suaranya menggema jelas—tenaga dalam.
Baron mencibir. “Sombong. Cari mati kamu!”
"Serang!" teriaknya.
Lima orang maju sekaligus.
Rojali mengibaskan tangan.
Kelima orang itu terpental seperti boneka, menabrak mobil di belakang.
---
“Ternyata dia punya kemampuan juga…” gumam Baron dengan wajah tegang. Keringat mulai membasahi pelipisnya.
“SERANG BERSAMA!!” teriaknya dengan suara lantang.
Puluhan anak buah Harsono langsung maju serempak. Tanpa takut, Rojali berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun. Matanya tajam, tubuhnya tenang seperti batu karang.
Tiba-tiba, ia meraih sebuah ranting pohon di sampingnya. Terlihat biasa saja, seperti kayu rapuh tak berguna.
Tapi dalam genggaman Rojali, ranting itu berubah jadi senjata mematikan.
Dengan kecepatan luar biasa, Rojali bergerak. Tubuhnya seperti bayangan yang sulit ditangkap mata. Satu per satu, anak buah Harsono dipukul mundur. Ranting itu menghantam lengan, dada, dan kaki dengan presisi. Suara pukulan terdengar beradu dengan tulang.
"Aaargh!" jerit salah satu orang saat tubuhnya terlempar menabrak pagar.
Yang lain menyusul, satu per satu tumbang. Dalam hitungan menit, halaman rumah Harsono penuh dengan tubuh terkapar. Ada yang pingsan, ada yang mengerang kesakitan sambil menggeliat di tanah.
Baron melangkah mundur perlahan. Wajahnya mulai pucat. Tapi dalam kepanikan, ia masih mencoba percaya diri. Ia merogoh saku jaket kulitnya dan mengangkat pistol ke arah Rojali.
“Dor!”
Suara tembakan menggema keras di udara malam. Peluru meluncur cepat dan menghantam kepala Rojali. Tubuh pria itu terdorong sedikit ke samping, kepalanya miring.
“Hahaha! Sesakti apa pun kamu, tetap saja tak bisa lawan senjata api!” ejek Baron sambil tertawa puas.
Debu mengepul akibat letusan, menghalangi pandangan. Baron yakin—100 persen—Rojali sudah mati.
Namun perlahan... debu mulai mereda.
Siluet tubuh Rojali muncul dari balik asap.
Ia masih berdiri tegak, tak terluka sedikit pun.
Di mulutnya, sebutir peluru tergigit di antara giginya.
Wajah Baron langsung pucat pasi. “D-dia… dia bukan manusia… dia monster…” bisiknya gemetar.
Rojali menatapnya tajam. Dalam sekejap, tubuhnya sudah berada di depan Baron. Begitu cepat, bahkan mata Baron tak sempat menangkap gerakannya.
Baron mundur beberapa langkah sambil tergagap. “K-kamu tidak bisa menyakitiku! Aku dari perguruan Kalajengking Hitam! Anggotanya puluhan kali lipat lebih banyak dari anak buah Harsono!”
“Plak!”
Tamparan keras dari Rojali mendarat di wajah Baron. Kepala Baron terputar, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ancaman itu sama sekali tak berarti bagi Rojali.
“Aku paling benci diancam,” ucapnya datar.
“Kau… kau akan menyesal!” ujar Baron ketakutan, tapi suaranya nyaris hilang.
“Krekkkk!”
Kaki Baron diinjak Rojali hingga terdengar suara tulang remuk. Baron menjerit sekuat tenaga.
“Bahkan gurumu saja tak pantas menjaga gerbang rumahku,” ucap Rojali, dingin.
Bagi Baron, Rojali bukan manusia. Dia adalah bencana. Dan yang paling menakutkan—dia bahkan belum benar-benar marah.
Baron ingin bicara lagi… tapi mulutnya terkunci oleh rasa takut.
Rojali berjalan perlahan ke arah rumah utama Harsono. Rumah besar itu megah, dikelilingi taman dan lampu-lampu mahal. Tapi malam ini, kemewahan itu tak berarti apa-apa di mata Rojali.
Di dalam rumah, Harsono sedang menikmati pijatan dari keempat istrinya. Seharian ini pikirannya penat—urusan bisnis, kekuasaan, dan keamanan wilayah membuatnya lelah. Sekarang saatnya relaksasi, pikirnya.
Tiba-tiba...
“BUUUMM!!”
Pintu depan terbuka keras. Suara ledakannya membuat semua orang terkejut. Harsono langsung duduk tegak.
“Brengsek! Siapa yang berani mengacau di rumahku!” teriaknya marah.
Langkah kaki bergema di lorong. Rojali muncul dari balik bayangan. Tatapannya tajam. Aura membunuh memancar kuat dari tubuhnya. Udara seketika menjadi berat. Para istri Harsono membeku ketakutan. Tak ada yang berani bergerak.
Harsono mencoba menyembunyikan rasa takutnya, meski suaranya bergetar.
“M-mau apa kamu ke sini?” tanyanya, mencoba tetap galak.
Rojali mendekat perlahan. “Anakmu sudah berani menyentuh istriku. Kamu pikir aku mau ngopi-ngopi di sini?”
“Jangan sombong kamu!” bentak Harsono. “Anak pertamaku tidak akan membiarkan ini semua terjadi!”
“Plak!”
Tiba-tiba, Rojali sudah berdiri tepat di depannya. Gerakannya terlalu cepat. Tangan Rojali meraih dagu Harsono, mencengkeram dengan keras.
“Bahkan aku bisa mematahkan lehermu di depan anakmu,” ucap Rojali dingin. “Tapi hari ini aku sedang dalam suasana hati yang baik. Jadi begini aja... aku minta kompensasi 500 juta. Bereskan itu, dan urusan kita selesai.”
Mata Harsono membelalak.
“Bajingan! Kau merampokku!” teriaknya penuh amarah.
Rojali hanya tersenyum tipis. Senyum yang membuat darah siapa pun terasa membeku.
Dengan satu tangan, Rojali mengangkat leher Harsono dari tanah. Padahal Harsono bukan orang kecil—tingginya 179 cm, beratnya 90 kg. Tapi di tangan Rojali, tubuh besar itu terangkat seperti boneka kain.
“Katakan… aku ini perampok atau dermawan?” tanya Rojali, suaranya datar tapi mengandung tekanan mengerikan.
Harsono tak menjawab. Kakinya menendang-nendang udara, tangannya mencoba melepaskan cengkeraman di lehernya. Napasnya mulai tersendat.
“Jawab,” ulang Rojali lebih tegas.
Tetap tak ada jawaban.
“Ah, aku lupa… kalau dicekik memang susah ngomong,” gumam Rojali.
Lalu tubuh Harsono dilempar begitu saja, seperti membuang bangkai binatang. Harsono mengerang kesakitan, seluruh tulangnya serasa remuk.
Saat ia mencoba bangkit, tiba-tiba—entah sejak kapan—Rojali sudah berdiri di depannya. Kaki Rojali menginjak dadanya, menahan kuat.
“Katakan… aku dermawan atau perampok?”
“K-kamu… dermawan,” jawab Harsono dengan napas tersengal.
“Bagus.” Rojali tersenyum sinis. “Sekarang tunjukkan di mana gudang hartamu.”
Dengan langkah berat dan enggan, Harsono menuntun Rojali ke gudang penyimpanan. Di sana, dengan tak tahu malu, Rojali memasukkan gepokan uang dan batang emas ke dalam karung. Sebagian lagi, ia simpan ke kantung dimensi penyimpanan miliknya.
“Baiklah… aku ini dermawan. Jadi aku tunggu balas dendammu,” ucap Rojali sambil tersenyum, lalu pergi begitu saja meninggalkan Harsono yang tergeletak lemas.
...
Malam itu, kampung tampak sunyi.
Rojali berjalan menelusuri gang-gang sempit, meninggalkan emas dan uang di rumah-rumah kumuh yang hampir roboh. Tanpa suara, tanpa pamrih. Sisanya ia simpan kembali ke dimensi lain.
Kemudian ia pulang ke rumah.
Ratih masih tertidur lelap. Rojali membersihkan tubuhnya, lalu berbaring di sampingnya. Ratih, dalam tidurnya, memeluk Rojali erat.
“Bang Jali… Ratih kangen…” gumamnya pelan.
Rojali tersenyum kecil.
“Ah, ternyata dalam tidur pun istriku masih merindukanku…”
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu