Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Angin siang itu lembut, membawa aroma bunga dari taman yang tertata rapi. Di salah satu sudut teras yang menghadap taman, Liana duduk diam. Matanya menatap kosong ke arah pepohonan, tapi pikirannya jauh mengembara. Di sisinya, Maria duduk tenang, seakan menjadi satu-satunya tempat Liana bersandar dalam dunia yang semakin asing.
Beberapa penjaga berseragam hitam terlihat berjalan berkeliling, menjaga setiap sudut rumah dengan ketat. Mereka seperti bayangan yang tak pernah pergi, selalu mengawasi.
Liana menarik napas panjang, dadanya terasa sesak. Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan tangis yang perlahan naik ke kerongkongan. Tak tahan lagi, ia bergeser, lalu merebahkan kepalanya di pangkuan Maria. Tubuhnya gemetar kecil.
"Maria… aku lelah," bisik Liana lirih. "Rasanya seperti aku ini… tahanan. Bahkan menghirup udara pun aku harus izin."
Maria membelai rambut Liana dengan lembut, senyum getir terbit di wajah tuanya. Ia tahu, gadis itu menyimpan luka yang tak ia tunjukkan di depan siapa pun.
"Nona sabar, ya. Ini semua pasti ada akhirnya," ucap Maria lembut. "Tuan Kenzo pasti punya rencana. Dia bukan orang sembarangan."
Liana menggeleng lemah.
"Aku tidak yakin lagi, Maria. Semua ini terlalu menyesakkan. Aku hanya ingin hidup tenang… bukan seperti ini, dibayangi rasa takut dan ketidakpastian setiap hari."
Matanya berkaca-kaca. Ia mengingat ayahnya. Di mana beliau sekarang? Apakah baik-baik saja? Apakah ayah tahu bahwa anaknya merasa seperti burung yang kehilangan sayap?
"Andai aku bisa pergi dari sini… memeluk ayahku lagi...," lirihnya dengan suara parau.
Maria menghela napas, tangannya tak berhenti mengelus punggung Liana.
"Tuhan pasti dengar doa Nona. Tetap kuat, ya. Kalau bukan karena Nona, Pak Hartawan pasti sudah tidak punya harapan. Sekarang giliran Nona harus bertahan demi beliau."
Liana menutup mata, membiarkan air matanya mengalir pelan.
Di kejauhan, angin membawa suara langkah sepatu yang berat dan teratur. Salah satu pengawal berhenti di depan teras, memberi isyarat bahwa Kenzo akan segera datang.
Maria pun perlahan membisikkan, "Tuan Kenzo datang. Hapus air matanya, Nona..."
Dengan sisa tenaga, Liana duduk tegak, mencoba terlihat kuat—meskipun hatinya rapuh.
Liana masih duduk di teras, berusaha menghapus jejak air mata sebelum Kenzo muncul.maria segera pergi meninggalkan nya sendiri di teras itu.
Langkah laki-laki itu terdengar mantap dan tenang. Kenzo muncul di balik pilar besar, mengenakan kemeja gelap dan celana panjang. Wajahnya seperti biasa—dingin, nyaris tanpa ekspresi.
"Liana," ucapnya pelan.
Liana mendongak perlahan, menatap wajah pria yang kini menjadi suaminya… setidaknya secara hukum.
"Ada yang ingin aku sampaikan," ujar Kenzo tanpa basa-basi, duduk di kursi di sebelah Liana. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Mengantar Claudia kembali."
Liana terdiam. Jantungnya terasa berdegup aneh, tapi bukan karena cinta. Lebih pada rasa sesak yang tidak bisa dijelaskan. Ia mengangguk kecil, berusaha tetap tenang.
"Baik," jawabnya lirih.
Kenzo melirik ke arahnya. Tatapannya sejenak melunak, namun cepat kembali seperti semula.
"Aku tahu kamu tidak nyaman dengan semua ini… Tapi aku janji, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu di sini. Apapun yang terjadi, kamu tetap berada di bawah perlindunganku."
“ Alex…kemari !”. Teriak Kenzo lantang memanggil bawahnya . Alex segera berlari kecil dan berdiri di sebelah Kenzo.
“ Alex ,jaga nona Liana baik baik ,apapun yang dia minta turuti !.”
“ Liana dia akan menjadi pengawal pribadimu mulai sekarang. Kau bisa menyuruhnya apa saja.”
Liana tersenyum pahit. Kata-kata itu terdengar baik… tapi tidak mengubah kenyataan bahwa dia hanyalah istri kontrak, yang tidak punya ruang untuk mengeluh atau menuntut.
“Apa dia bisa membawa aku keluar dari sini dan bertemu ayahku ?”.
Kenzo menatap Liana sebentar dengan tajam.
“ Kecuali itu !”.sahut Kenzo tegas .
"Terima kasih, Tuan Kenzo," ucap Liana pelan, mencoba bersikap sopan. "Saya mengerti. Saya akan tetap di sini… dan menunggu."
Kenzo terdiam sejenak. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Hanya menghela napas dan berdiri dari kursinya.
“ Kenzo ,Ayo kita berangkat ..!” Teriak Claudia dari dalam ruangan.
"Jaga dirimu," katanya sebelum melangkah pergi.
Liana hanya mengangguk. Begitu punggung Kenzo menghilang dari pandangan, ia menghela nafas panjang. Tak ada air mata kali ini, hanya kehampaan yang perlahan menyelimuti dirinya. Ia merasa seperti bayangan di rumah megah ini. Tak terlihat, tak dianggap.
Maria datang menghampiri, membawa selimut.
"Nona… mari masuk. Anginnya mulai dingin."
Liana hanya berdiri pelan, menatap langit yang mulai meremang.
"Maria... kenapa rasanya lebih sepi saat dia pergi... padahal saat dia ada pun... aku tetap sendiri."
Maria menggenggam tangan Liana erat. Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menggantung di udara sore itu.
*
*
*
Ruang utama keluarga Wiratama terasa megah dan dingin dalam waktu bersamaan. Dinding-dindingnya penuh lukisan klasik dan rak buku tua berisi jurnal bisnis generasi terdahulu. Lampu kristal menggantung dengan cahaya temaram.
Kenzo melangkah masuk ke dalam ruangan, mengenakan jas hitam elegan. Di hadapannya, duduk Tuan Arman, sang ayah, dan Nyonya Ratih, ibunya. Di sebelah mereka, Paman Rinto dan Bibi Rina duduk memperhatikan tajam. Kakek Wiryo, sang pemimpin tertua keluarga, duduk dengan tongkat kayu berukir di tangan.
Claudia, istri Kenzo, duduk anggun di samping suaminya. Wajahnya berkelas, postur tegap dan raut penuh percaya diri. Ia adalah wanita ambisius, tahu betul tempat yang ingin ia raih di tengah keluarga bisnis besar ini.
“Kami ingin kepastian,” kata Tuan Arman pelan namun tegas. “Kenzo, posisi pewaris utama tidak bisa kamu abaikan terlalu lama. Dewan dan investor sudah mulai gelisah.”
Claudia menatap ayah mertuanya dengan tatapan tenang namun penuh kekuatan. “Kami memahami itu, Papa. Kenzo bekerja keras siang malam. Dia pantas mendapatkan tempat sebagai pemimpin utama Wiratama. Dan saya, sebagai istrinya, akan mendukung sepenuhnya.”
Bibik Rina mencibir kecil. “Dukungan seorang istri tak selalu berarti kesuksesan, Claudia. Dunia bisnis itu kejam.”
Claudia tersenyum tenang. “Dan saya juga tidak lemah, Tante Rina. Saya tidak menikahi Kenzo untuk bersandar padanya, tapi untuk berdiri bersamanya.”
Kakek Wiryo mengetukkan tongkatnya sekali. Semua terdiam. “Aku sudah lama memperhatikan langkah kalian. Claudia, kamu punya kecerdikan. Kenzo, kamu punya ketegasan. Tapi jalan pewaris utama bukan sekadar soal ambisi. Ini soal siapa yang paling layak menjaga warisan dan memperluasnya. Terutama keturunan. Jangan lupa itu !.”
Claudia menatap kakek dengan tajam namun hormat. “Itulah yang menjadi mimpi saya juga, Kek. Keluarga ini terlalu besar untuk jatuh ke tangan orang yang salah. Saya akan memastikan Kenzo berdiri di tempat yang seharusnya. Dan segera kami diberi keturunan.”
Kenzo memegang tangan Claudia di atas pangkuannya, memberi isyarat diam-diam: terima kasih atas dukungannya. Claudia membalas genggaman itu dengan mantap.
Tuan Arman mengangguk kecil. “Baik. Kalau begitu, mulai besok, kamu ikut rapat dewan. Buktikan bahwa kamu siap jadi pemimpin.”
Kenzo mengangguk mantap. Claudia pun tersenyum, langkah pertamanya menuju posisi yang telah lama ia impikan mulai terbuka.
Setelah Claudia dan Kenzo dianggap layak oleh Tuan Arman dan Kakek Wiryo untuk mulai ikut rapat dewan, suasana keluarga besar terlihat tenang. Tapi di balik ketenangan itu, konspirasi besar tengah dirancang oleh Paman Rinto dan Bibi Rina.
Setelah keluarga membubarkan diri Paman Rinto mendatangi Kakek Wiryo secara pribadi di ruang kerja nya. Ia membawa sebuah map berisi dokumen rahasia yang telah ia simpan selama bertahun-tahun.
“papa ” ucap Paman Rinto dengan tatapan tajam, “Ada satu hal yang selama ini keluarga ini tidak tahu. Kenzo bukan satu-satunya cucu yang berpotensi mewarisi Wiratama.”
Kakek Wiryo mengernyit. “Apa maksudmu, Rinto?”
Paman Rinto tersenyum samar dan membuka map tersebut.
“Dua puluh tahun lalu, kak Arman memiliki anak dari seorang wanita simpanan. Anak itu telah saya temukan dan saya yang merawatnya selama ini Namanya Nara, dan dia punya hak di sini.”
Udara di ruangan itu terasa berat. Tumpukan dokumen di meja tak sanggup menandingi beratnya kalimat yang baru saja keluar dari mulut Rinto, anak angkat yang selama ini dikenal setia namun tak banyak bicara.
Kakek Wiryo menatap tajam ke arah Rinto. Keriput di wajahnya tampak lebih dalam, matanya menyipit seakan menembus maksud dari pengakuan itu.
"Papa," ujar Rinto lirih namun tegas, "Saya tahu saya tidak punya hak untuk bicara soal pewaris utama. Saya hanya anak angkat. Tapi ini bukan soal saya."
Kakek Wiryo hanya diam, mendengarkan.
"Ini tentang Nara, papa. Dia adalah anak dari putra kandung papa... anak dari kak Arman dengan wanita yang pernah papa usir dari keluarga ini."
Kakek Wiryo tertegun. Matanya membelalak sejenak.
"Saya tahu... itu masa lalu yang papa benci, tapi darahnya adalah darah wiratama —sama seperti Kenzo. Dia bukan orang luar, papa. Dia keluarga."
Rinto maju selangkah, nada suaranya makin penuh emosi.
"Selama ini dia diam, karena merasa tak dianggap. Tak diakui. Tapi saya... saya yang membesarkan dia, saya tahu bagaimana perihnya hidup yang dia jalani tanpa nama wiratama yang melekat di dirinya."
Ia menatap Kakek Wiryo, berharap ada sedikit belas kasih.
"Saya tak menuntut Nara jadi pewaris utama. Tapi setidaknya... berikan dia tempat yang layak di keluarga ini. Karena bagaimanapun juga—ia adalah adik Kenzo."
Kakek Wiryo menghela napas berat. Tangannya bergetar saat menurunkan cangkir teh dari meja. Pandangannya menerawang jauh ke masa lalu, ke kesalahan yang mungkin tak pernah ia akui.
"Nara..." gumamnya lirih. "Apakah anak itu masih hidup?"
Rinto mengangguk. "Ia bahkan lebih siap dari yang Papa kira. Dan dia tak ingin merebut. Dia hanya ingin…..
Kakek Wiryo duduk diam di kursi kebesarannya. Matanya menatap kosong ke arah dinding, namun pikirannya melayang jauh ke belakang... ke satu peristiwa yang tak pernah benar-benar bisa dilupakan.
20 Tahun Lalu
Suasana ruang tamu mencekam. Seorang wanita muda dengan wajah pucat berdiri di depan pintu, menggenggam perutnya yang membuncit. Sorot matanya penuh tekad, meskipun tubuhnya gemetar.
"Saya Laras... dan saya sedang mengandung anak dari Tuan Arman," ucapnya pelan namun tegas.
Arman, satu satunya keturunan Wiryo, berdiri kaku di samping sang papa. Ia sudah menikah saat itu, namun wajahnya jelas menunjukkan rasa bersalah.
“papa… dia tidak berbohong. Aku memang—”
“Cukup, Arman!” suara Wiryo menggelegar. Pandangannya tajam menusuk Laras, lalu kembali kepada Arman. “Kau mau mempermalukan keluarga ini? Kau sudah punya istri yang sah! Apa kau ingin aku mengakui anak dari wanita jalanan ini sebagai bagian dari keluarga kita?”
“pa, aku bertanggung jawab. Anak itu darah dagingku…”
“Diam!” Wiryo membanting tongkatnya ke lantai, membuat semua orang terkejut. Ia lalu menunjuk dua pengawal yang berjaga di belakang.
“Bawa perempuan itu pergi dari sini. Pastikan dia tidak pernah kembali. Dan jika dia bicara ke luar soal ini—urusan kita akan jadi panjang!”
Laras menangis, mencoba menghampiri Arman, namun kedua pengawal itu langsung menahannya.
“Tolong… setidaknya biarkan anakku tahu siapa ayahnya…” suaranya lirih, dipenuhi luka dan harapan yang pupus.
Namun Arman hanya bisa menunduk. Ia tak berani melawan ayahnya.
Kakek Wiryo membelakangi mereka. Keputusannya sudah bulat.
Dan malam itu, Laras pun dibawa pergi. Hilang. Dan sejak saat itu, tak pernah terdengar kabarnya lagi.