Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Beberapa hari kemudian, Revan datang ke rumah dengan seikat bunga mawar putih di tangannya. Ia meletakkannya di meja makan, lalu duduk di samping Aruna yang sedang menatap keluar jendela.
“Untukmu,” katanya pelan.
Aruna menoleh, sedikit terkejut. “Bunga?”
“Ya. Aku tahu kamu lebih suka bunga daripada perhiasan atau barang-barang mahal,” jawab Revan dengan senyum kecil.
Aruna tersenyum kecil, tetapi ada sesuatu yang menghangatkan hatinya. “Terima kasih.”
Mereka duduk bersama, makan malam yang sederhana. Tidak ada pembicaraan besar atau penting, hanya mereka berdua menikmati makanan, menikmati kebersamaan yang mulai terasa lebih nyaman.
Namun, di dalam hati Aruna, perasaan itu masih membingungkan. Ada kekosongan yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Cinta, mungkin bukan cinta seperti yang ia rasakan terhadap Rio, tapi ada sesuatu yang mulai tumbuh untuk Revan. Namun, ia tidak tahu apakah itu cukup untuk mengisi ruang yang telah lama kosong.
Setelah makan, Revan duduk di ruang tamu, mengambil laptop dan melanjutkan pekerjaannya. Aruna, sementara itu, kembali ke kamar dan melanjutkan lukisan yang sempat tertunda.
Ia terus menggambar, menggoreskan kuas di atas kanvas tanpa berpikir banyak. Setiap warna yang ia pilih seperti menciptakan kedamaian di hatinya yang kacau. Namun, setelah beberapa jam, ia berhenti sejenak. Matanya tertuju pada lukisan yang mulai terbentuk wajahnya sendiri, dengan mata yang lebih cerah, lebih hidup. Namun, di sisi lain, ada bayangan Rio yang masih menempel di ujung pikiran.
Tanpa terasa, Aruna menangis. Air mata yang ia tahan sejak kematian Rio akhirnya jatuh juga. Ia merasakan kehilangan yang begitu mendalam, bukan hanya karena Rio, tapi juga karena perasaan tidak utuh yang ia rasakan di dalam dirinya.
Revan yang mendengar isakan pelan segera berdiri dan menuju kamar Aruna. Tanpa mengetuk, ia masuk perlahan dan melihat Aruna yang duduk di depan lukisan, wajahnya penuh air mata.
“Aruna…” Revan berkata pelan, berusaha mendekat.
Aruna mengangkat wajahnya, terkejut melihat Revan berdiri di sana. “Aku… aku tidak bisa berhenti merindukannya, Revan. Rio… dia adalah bagian terbesar dalam hidupku. Aku merasa… seperti aku mengkhianatinya dengan menikahimu.”
Revan menghela napas dan duduk di sebelahnya. “Kamu nggak mengkhianatinya. Kita tidak bisa mengendalikan takdir, Aruna. Kamu berhak untuk bahagia, dan mungkin saat ini kebahagiaan itu datang dalam bentuk yang berbeda. Aku tidak meminta kamu untuk mencintaiku sekarang, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini, selalu ada untukmu.”
Aruna menatapnya lama, matanya masih basah. “Aku takut, Revan. Aku takut membuka hatiku lagi. Aku takut akan kehilangan lagi.”
Revan menggenggam tangannya dengan lembut, “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, Aruna. Tapi yang bisa kita lakukan adalah menjalani hari ini dengan sepenuh hati. Jika besok kamu masih belum siap, itu tidak masalah. Aku akan menunggumu.”
Mendengar kata-kata itu, Aruna merasa sedikit tenang. Tidak ada paksaan, tidak ada tuntutan. Hanya janji bahwa ia tidak sendirian.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Aruna tidur lebih nyenyak. Tanpa mimpi buruk, tanpa perasaan terjebak dalam masa lalu. Ia tahu, perjalanan ini baru dimulai, dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan tempat di mana ia bisa mencintai lagi.
Pagi berikutnya, Aruna duduk di meja makan dan melihat secangkir kopi yang Revan siapkan untuknya. Ia merasa lebih ringan. Tidak tahu apakah ini awal dari sesuatu yang baru atau hanya ketenangan sementara. Tapi setidaknya, ia tahu bahwa Revan ada di sana.
Dan itu, untuk sementara, sudah cukup.
Minggu-minggu berlalu dengan lambat, seolah waktu berjalan lebih berat dari biasanya. Aruna mulai menyesuaikan diri dengan hidup baru ini, meskipun bayang-bayang Rio masih terus menghantuinya. Revan, meskipun tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaksabaran, selalu hadir dengan kesabaran yang luar biasa. Dia bukan hanya suami yang hadir secara fisik, tetapi juga dalam setiap langkah Aruna, mendukungnya dalam diam.
Kehidupan mereka tetap dalam keheningan yang berat. Hanya sedikit interaksi yang terjadi, kebanyakan berbicara tentang pekerjaan atau hal-hal ringan yang tidak terlalu menyinggung perasaan. Revan tidak pernah memaksa Aruna untuk berbicara lebih banyak, dan Aruna pun tidak pernah mencari lebih dari itu. Namun, ada perubahan yang perlahan muncul di dalam hati mereka berdua, sesuatu yang mulai mereka rasakan namun belum bisa mereka ungkapkan.
Suatu pagi yang cerah, Aruna sedang duduk di teras belakang rumah, menikmati sinar matahari yang lembut. Ia sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Sebuah kebiasaan yang ia temukan sejak pernikahan ini, sebuah cara untuk mengekspresikan segala yang tidak bisa ia katakan. Namun, ia merasa lebih ringan belakangan ini. Mungkin itu karena ia bisa sedikit melepaskan bayangan Rio, meskipun tidak sepenuhnya.
Langkah kaki terdengar mendekat. Aruna menoleh dan melihat Revan yang baru saja keluar dari dalam rumah dengan secangkir kopi di tangannya.
“Pagi, Aruna,” katanya dengan senyum yang tulus, meskipun ada ketegangan yang bisa ia rasakan di udara.
“Pagi, Revan,” jawab Aruna dengan senyum kecil.
Revan duduk di sebelahnya, menaruh kopi di meja. "Apa yang kamu tulis?"
Aruna menatap buku itu, ragu sejenak. “Hanya beberapa catatan, beberapa hal yang ada di kepalaku. Tidak ada yang penting.”
Revan mengangguk, menatap ke depan. “Aku tahu ini bukan kehidupan yang kamu pilih, Aruna. Aku juga tahu, ada banyak perasaan yang masih terpendam dalam dirimu, perasaan terhadap Rio, perasaan terhadap hidup ini. Tapi aku ingin kamu tahu, aku ingin mendukung kamu, entah itu dalam bentuk apapun.”
Aruna diam beberapa detik, memandangi Revan dengan mata yang lebih dalam dari biasanya. “Aku tahu. Aku… tidak pernah benar-benar mengucapkan terima kasih atas semua yang kamu lakukan.”
“Tidak perlu berterima kasih,” kata Revan lembut. “Aku melakukannya karena itu yang seharusnya kulakukan. Tidak ada yang lebih penting bagi aku sekarang selain memastikan kamu bahagia, meskipun itu hanya dengan cara yang bisa aku lakukan.”
Aruna menunduk, menggigit bibirnya. Kata-kata itu, meski sederhana, cukup untuk membuat hatinya bergetar. "Aku… aku merasa asing di sini. Di rumah ini, denganmu. Semua terasa terlalu cepat, terlalu asing."
“Tidak apa-apa. Kita punya waktu untuk itu. Tidak perlu terburu-buru.”
Revan menatapnya penuh perhatian, mencoba memberikan ketenangan. Namun, ada sesuatu yang Aruna rasakan, entah itu rasa nyaman atau perasaan yang mulai tumbuh lebih dalam, meskipun ia sendiri sulit untuk mengungkapkan perasaan itu.
Beberapa hari kemudian, Revan mengajaknya untuk pergi keluar, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu. Mereka pergi ke sebuah taman yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota, di mana udara segar dan suara alam dapat membuat siapa pun merasa sedikit lebih bebas.