The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 GR?
Sisa sore berlalu begitu cepat. Sebelum Liona menyadarinya, semua orang sudah tiba di rumah untuk makan malam. Ia berdiri di meja dapur, mengiris roti bawang putih yang baru saja ia panggang.
"Ya Tuhan, baunya seperti surga di sini," suara rendah Harry bergemuruh saat para lelaki itu duduk di kursi mereka yang biasa di sekeliling meja makan.
Harry telah berganti dari pakaian olahraganya ke pakaian yang lebih kasual—kemeja hitam mahal yang membalut tubuhnya yang besar dan celana jins desainer. Penampilannya berbeda dari setelan formal yang dikenakan saudara-saudaranya, namun entah bagaimana justru tampak cocok untuknya. Rambutnya yang tebal dan berkilau kini diikat longgar, tidak seperti gaya setengah terurai yang biasa ia kenakan.
Liona ingin menyapu pujian itu ke samping. Ia ingin mengatakan padanya bahwa ia tidak perlu berpura-pura atau memuji demi menyelamatkan perasaannya. Ia ingin meyakinkannya bahwa roti itu tidak seistimewa itu. Dengan kepala menunduk, ia meletakkan piring berisi roti di atas meja.
Tangan besar Harry menangkap pergelangan tangannya.
Liona membeku. Pipinya memanas menyadari betapa dekatnya ia, begitu dekat hingga mungkin bisa mendengar detak jantungnya yang panik. Rasa geli menjalar ke lengannya, dan tangannya gemetar dalam genggaman lelaki itu. Genggamannya longgar—dan jika ia mau, ia bisa menarik tangannya kapan saja.
Namun Liona tidak bisa bergerak.
Aroma cendana dan sage memenuhi inderanya. Hangat dan mengundang—berbeda dari kesan pria yang mengenakannya.
"Terima kasih atas rotinya... dan makan malamnya," ucap Harry, suaranya lembut, namun serak. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Liona ingin percaya bahwa ada makna tersembunyi di balik kata-kata itu.
Namun, itu hanya angan-angan. Fantasi yang ia kunjungi terlalu sering.
Liona menggigit bagian dalam pipinya, mencoba menarik diri dari imajinasi. Ia ingin membalas ucapannya dengan sinis, ingin menghapus semua tafsir dalam kepalanya. Namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.
Harry melepaskan tangannya seperti disentuh api, lalu berdeham. Ia mendengar lelaki itu mengambil gelas dan meneguk airnya. Saudara-saudaranya tampaknya tidak menyadari apapun yang terjadi.
Namun Liona tak sanggup menatapnya. Ia tidak berani menengok untuk melihat apakah ada sesuatu di mata cokelat tua Harry yang bisa menjelaskan apa yang barusan terjadi.
Dengan buru-buru, ia kembali ke meja untuk mengambil sisa makanan. Seseorang bergerak di belakangnya, tapi ia tak menoleh. Ia tidak berani. Ia tahu dirinya sedang membaca sesuatu yang tidak ada di sana, dan perutnya terasa mual karena itu. Tangannya gemetar saat menyusun piring-piring di meja makan.
Setelah itu, ia kembali ke pulau dapur dan mulai membersihkan sisa-sisa hidangan.
Dia bukan hiburan kecil yang Liona butuhkan saat ini. Dia tidak seharusnya menjadi seseorang yang ia pikirkan sebagai—miliknya.
Otak Liona mengkhianatinya, memutar ulang sensasi jemari kasar Harry yang menyentuh pergelangan tangannya. Panas dari tangan lelaki itu seakan membakar kulitnya, meninggalkan bekas yang tak terlihat namun nyata.
Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Mungkin ia sedang demam. Mungkin itu sebabnya ia terlalu menafsirkan isyarat kecil yang seharusnya hanya dianggap sebagai kebaikan biasa.
Tentu saja, itu hanya Harry. Ia pasti hanya bersikap sopan—mengucapkan terima kasih dan memuji masakannya. Tidak ada makna lebih dari itu.
Namun apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang telah terbiasa menjilati sisa cinta dari pisau, bukan menikmatinya dari sendok perak?
Liona menggeleng pelan. Ia harus kembali ke realitas. Mengingat mengapa ia berada di rumah ini. Mengingat betapa pentingnya pekerjaan ini baginya.
Ia tidak boleh merusaknya.
Dan menatap salah satu majikannya, apalagi membiarkan dirinya mengembangkan perasaan, adalah langkah yang sangat salah.
Namun setiap kali lelaki itu berbicara, suara seraknya membuat bulu kuduk Liona merinding.
Sungguh kacau. Sungguh keliru menginginkan pria seperti Harry—berharap ia akan melihat Liona dengan cara yang tidak gemuk, tidak menjijikkan, tidak rusak.
Kata-kata semua orang dalam hidupnya menghantuinya seperti hantu, mengingatkan pada apa yang sudah ia tahu: bahwa ia bukan siapa-siapa.
Bukan apa-apa bagi Ben. Bukan bagi keluarganya. Bukan bagi orang-orang di rumah ini. Dan terlebih lagi, bukan bagi lelaki itu.
Namun, di tengah kehancuran hatinya yang penuh debu, masih ada satu bagian kecil yang berani berdebar, menyalakan kembali percikan yang lama padam.
Dan suara kecil dalam dirinya berbisik,
“Tapi... bagaimana jika?”