Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Zayyan, nak, sudah lama sekali kamu tak pulang—"
"Apakah kalian yang mengirim foto-foto itu ke tempat kerjaku?" potong Zayyan dingin, suaranya rendah tapi berisi ancaman.
Ayahnya muncul dari balik pintu ruang baca, menatap putranya yang berdiri tegak, penuh luka tak kasat mata. "Kami hanya ingin tahu siapa perempuan itu. Kau terlalu sering bersama dia di media."
"Aluna bukan perempuan sembarangan," suara Zayyan meninggi. "Dia wanita paling kuat yang pernah aku temui. Dan yang kalian lakukan... mengirim foto ke kantorku tanpa izin? Itu keterlaluan."
Ibunya menunduk, tapi sang ayah tetap menatap tegas. "Kami hanya ingin melindungi reputasi mu, nak. Apa yang akan orang katakan kalau pewaris keluarga Pradipta berhubungan dengan perempuan dari latar belakang tak jelas?"
Zayyan tertawa, tapi tawanya getir. "Reputasi? Kalau kalian tahu apa yang telah dia lewati, kalian akan malu dengan diri kalian sendiri. Karena wanita yang kalian rendahkan itu lebih bernilai daripada semua koneksi yang kalian miliki."
----------------
Langit di atas kediaman keluarga Pradipta terlihat kelam, awan menggantung seperti menyimpan petir yang sewaktu-waktu bisa meledak. Begitu juga suasana dalam rumah mewah itu—tegang, panas, dan menyimpan amarah yang tak lagi bisa dibendung.
"Kau berani membandingkan keluargamu sendiri dengan perempuan yang bahkan tak kami kenal asal-usulnya?" suara ayah Zayyan menggema, dalam dan berat, menyiratkan amarah yang ditahan terlalu lama.
Zayyan berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tegak, matanya tajam namun penuh luka. Ia tak bergeming meski tatapan tajam ayahnya menusuk seperti belati.
"Aku tidak membandingkan, Ayah. Aku hanya mengatakan kebenaran. Kalian tak mengenal Aluna, tapi kalian menghakimi seolah kalian lebih tahu segalanya. Itu bukan perlindungan, itu manipulasi."
Sang ibu masih diam, berdiri diantara Zayyan dan suaminya sendiri dengan wajah tegang. Matanya bergerak cepat antara suaminya dan anak lelakinya, namun ia tahu, kali ini ia tak bisa menjembatani dua hati yang sama keras kepala.
Ayah Zayyan menghempaskan surat kabar yang tadi dipegangnya ke meja kayu jati. Bunyi kerasnya memecah keheningan. "Selama ini kami membiarkanmu memilih jalanmu sendiri. Tapi ini sudah melewati batas. Kau memalukan, Zayyan! Membawa nama besar Pradipta dan memperlihatkan dirimu di TV bersama seorang perempuan yang bahkan bukan dari kalangan kita!"
Zayyan menghela napas tajam, menahan api yang membakar dadanya. "Nama besar yang kalian banggakan itu bukan apa-apa jika tidak punya hati. Apa gunanya semua harta, semua gengsi, jika aku tidak bisa mencintai orang yang membuatku merasa hidup?"
Ayahnya melangkah maju, mendekat, menatap lurus ke mata anaknya. "Kalau kau masih memilih jalan ini, jangan salahkan kami kalau semua yang telah gadis kampungan itu bangun—bisnis, nama, dan reputasinya—kami hancurkan. Jangan remehkan kekuatan keluarga Pradipta, Zayyan. Kami bisa buat butik murahan itu tak laku dalam semalam."
Kata-kata itu membakar dada Zayyan. Kepalan tangannya mengeras, rahangnya menegang. Ia menatap ayahnya seolah sedang melihat seseorang yang sama sekali asing. "Kalau kalian berani menyentuh Aluna, bahkan hanya menyentuh bayangannya... aku akan menjadi musuh kalian, Ayah. Dan aku tidak peduli darah apa yang mengalir di tubuhku."
"Kau berani mengancam ayahmu sendiri demi perempuan itu?"
"Aku tidak mengancam. Aku memperingatkan," tegas Zayyan. "Karena aku tahu betapa jauhnya kalian akan melangkah untuk menjaga apa yang kalian sebut 'reputasi'. Tapi aku juga tahu, aku jauh lebih kuat sekarang karena aku mencintai dengan tulus. Dan kalian... bahkan tidak tahu caranya mencintai tanpa syarat."
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/