"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Dua Puluh Empat
Suara kunci yang berputar di lubang pintu terdengar jelas di tengah keheningan malam. Arka mendorong pintu apartemen dengan bahu, satu tangannya masih memegang tas kerja, dasi sedikit longgar di leher. Ia mengembuskan napas lelah—hari yang panjang di kantor, rapat bertumpuk, dan otak yang terlalu penuh untuk sekadar berpikir tentang istirahat.
Namun, yang menyambutnya bukan aroma tenang seperti biasanya.
Bukan lantai bersih atau ruangan rapi yang identik dengan kehadiran Raya.
Yang pertama kali menohok matanya adalah kekacauan.
Beberapa baju berserakan di sandaran sofa. Plastik cemilan berserak di meja ruang tamu. Minuman kaleng tumpah dan mengering di atas meja, menetes sedikit ke karpet. TV menyala terang, menampilkan adegan drama Korea yang penuh tangis dan teriakan cinta.
Dan di tengah kekacauan itu, terbaring Amara — masih dengan pakaian santai dan rambut yang diikat asal. Satu tangan memegang remote, tangan lainnya menopang kepala. Wajahnya tenang, seolah dunia di sekitarnya tidak penting.
Arka diam di ambang pintu beberapa detik, hanya menatap pemandangan itu tanpa ekspresi.
Dalam dua tahun terakhir bersama Raya, ia tidak pernah melihat apartemennya seperti ini.
Bahkan sekalipun mereka tengah bertengkar, Raya tetap memastikan tempat ini bersih dan teratur.
Ia akhirnya melangkah masuk, meletakkan tas di atas meja kecil dekat pintu, dan berkata pelan, “Apa Raya di kamarnya?”
Amara menoleh sekilas, tersenyum santai tanpa beranjak dari posisi berbaring.
“Kau sudah pulang.”
Arka melepas dasinya dengan gerakan lambat. “Jika aku sudah berada di sini, berarti aku memang sudah pulang.”
Nada suaranya datar, tapi nada sinis itu membuat Amara tertawa kecil.
“Wah, ternyata kamu bisa melawak juga, Arka. Kukira kau hanya tahu caranya memberi perintah.”
Arka tidak menanggapinya. Ia hanya menarik napas dalam, lalu melangkah melewati sofa menuju kamar Raya.
Ia mendorong pintu dengan hati-hati — tapi ruang itu gelap dan kosong. Tidak ada tanda kehidupan. Selimut masih rapi. Lampu meja mati.
Hanya aroma samar parfum khas Raya yang masih tertinggal di udara, menempel pada dinding, seperti sisa keberadaan yang menolak pergi.
Arka menatap ruangan itu lama, rahangnya menegang.
Ia melirik jam di pergelangan tangan: 23.45. Hampir tengah malam.
“Ke mana kau, Raya...” gumamnya pelan, nada suaranya menahan kesal bercampur khawatir.
Ia merogoh ponsel dari saku jas, cepat menelusuri daftar kontak hingga menemukan nama yang sudah terlalu akrab di matanya.
Raya.
Satu sentuhan.
Nada sambung terdengar.
Sekali.
Tidak diangkat.
Dua kali.
Masih sama.
Tiga. Empat. Lima kali.
Nada sambung itu terus terdengar tanpa jawaban.
Hingga akhirnya, berganti menjadi suara mesin penjawab yang dingin dan tanpa perasaan.
Arka mengepalkan tangan. Ia menutup panggilan dengan gerakan kasar, menatap layar yang kembali hitam.
Wajahnya tegang. Ada sesuatu di dalam dadanya yang berdesir—antara marah dan gelisah.
Ia menoleh ke arah Amara yang masih santai di sofa, tawa kecilnya bercampur dengan suara TV.
“Amara,” panggil Arka.
“Hmm?” sahutnya tanpa menoleh.
“Kau tahu ke mana Raya pergi?”
Amara mematikan TV, lalu menoleh perlahan dengan ekspresi polos. “Kenapa? Kau khawatir?”
“Jawab pertanyaanku.” Nada Arka kini lebih tegas, tajam.
Amara mendengus, menegakkan tubuhnya lalu bersandar santai ke sandaran sofa.
“Tenanglah. Aku tidak tahu ke mana dia pergi. Mungkin keluar mencari udara. Aku rasa dia butuh waktu sendiri.”
Arka diam beberapa detik, memandangi wajah Amara yang tampak terlalu santai untuk malam yang larut seperti ini.
“Dan kau tidak berpikir untuk menanyakannya?”
“Kenapa harus?” Amara menaikkan bahu. “Dia perempuan dewasa. Lagipula, bukankah kalian sudah jarang bicara? Aku pikir... dia juga sedang ingin menjauh.”
Arka menatapnya lama, tatapan tajam dan menekan, tapi Amara sama sekali tidak gentar.
Bahkan ada seulas senyum samar di sudut bibirnya, seperti menikmati ketegangan itu.
Akhirnya Arka memilih diam. Ia berjalan menuju kamarnya tanpa berkata lagi, pintu kamar tertutup pelan di belakangnya.
*
Di tempat berbeda — sebuah taman kecil di pinggir kota, lampu jalan memantulkan cahaya lembut ke wajah seorang perempuan yang duduk di bangku panjang. Angin malam berembus pelan, menggerakkan helaian rambut yang terlepas dari ikatannya.
Raya menatap layar ponselnya yang berdering. Nama Arka muncul di sana.
Sekali. Dua kali. Lima kali.
Ia hanya diam.
Jari-jarinya menggenggam erat ponsel itu, seolah sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Lalu, ketika dering itu berhenti, ia akhirnya menarik napas pelan dan berbisik lirih,
“Tidak malam ini, Arka... aku tidak bisa mendengar suaramu malam ini.”
Matanya terasa panas. Ia memejamkannya, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar.
Terlalu banyak hal yang menumpuk dalam dirinya.
Sejak Amara datang, sejak pandangan Arka mulai berubah, sejak kata-kata tak terucap membuat jarak tumbuh di antara mereka.
Ia merasa asing di rumah itu.
Ia merasa... tergantikan.
Mungkin, pikirnya, Arka memang lebih cocok dengan Amara.
Kakaknya yang sempurna, yang dulu seharusnya menikah dengan pria itu.
Mungkin kehadirannya hanya sementara—pengganti yang kebetulan ada di tempat yang salah, di waktu yang salah.
Raya menatap langit malam, lalu tertawa kecil, getir.
“Lucu ya... aku bahkan tak tahu kapan aku berhenti jadi diriku sendiri.”
Telepon itu berdering lagi, membuatnya tersentak.
Tapi kali ini, ia menekan tombol mute, lalu memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya.
Langkahnya ringan ketika ia berdiri dan mulai berjalan pulang, meski hatinya terasa berat.
Ia tahu Arka akan marah. Tapi malam ini... ia hanya ingin diam.
Karena diam, bagi Raya, satu-satunya cara untuk tetap utuh di tengah luka yang mulai menganga.
*
Sementara itu, di kamar apartemen, Arka duduk di tepi ranjang.
Lampu kamar menyala lembut, tapi matanya kosong. Ponselnya masih di tangan, panggilan terakhir pada nama yang sama memenuhi daftar log.
Tidak ada balasan. Tidak ada pesan. Tidak ada tanda.
Ia bersandar, menatap langit-langit kamar.
Untuk pertama kalinya sejak lama, apartemen itu terasa benar-benar sunyi.
Bahkan napasnya sendiri terdengar terlalu keras di telinga.
Ia menatap cincin di jarinya, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri,
Dan di luar sana, angin malam membawa suara samar—suara hati dua orang yang sama-sama terluka, tapi memilih diam karena takut kehilangan satu sama lain lebih cepat dari seharusnya.
📖 To Be Continued...
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........