menceritakan gadis cantik yang berwajah baby face dengan jilbab yang selalu warna pastel dan nude yang menjadi sekretaris untuk melanjutkan hidup dan membantu perekonomian panti tempat dia tinggal dulu. yang terpaksa menikah dengan CEO duda tempat dia berkerja untuk menutupi kelakuan sang ceo yang selalu bergonta ganti pasangan dan yang paling penting untuk menjadi mami dari anaknya CEO yang berusia 3 tahun yang selalu ingin punya mami
dan menurut yang CEO cuman sang seketerasi yang cocok menjadi ibu sambung untuk putri dan pasang yang bisa menutupi kelakuannya
dan bagaimana pernikahan Kontrak ini apakah akan berakhir bahagia atau berakhir sampai kontrak di tentukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetmatcha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 – Luka yang Tak Mau Sembuh
Suasana apartemen terasa tenang selepas salat Isya. Lampu-lampu hangat menyinari ruang tengah, menciptakan keheningan yang hampir menenangkan. Nayla keluar dari kamarnya, rambutnya masih sedikit basah setelah wudu. Aroma makanan menguar dari arah meja makan.
Di sana, Mala tampak duduk santai, sibuk menyusun beberapa kotak makanan plastik—pesanan yang baru saja datang lewat layanan ojek online.
Nayla melangkah mendekat, lalu menghela napas pelan.
"Mala, kamu GoFood lagi? Kenapa nggak minta Mbak aja masakin? Kan lebih hemat," ucapnya lembut, mencoba menegur tanpa menghakimi.
Mala mengangkat alis. Tatapannya datar, nada bicaranya nyaris masa bodoh.
"Mbak, ini uangku sendiri. Aku nggak minta kamu bayarin. Lagian, kenapa sih urusan makan aja dipermasalahin?"
Nayla masih berusaha tenang. "Aku ngerti. Tapi kita tahu kondisi Panti sekarang. Ibu butuh bantuan buat bayar sewa lahan. Harusnya kita bisa bantu, walau sedikit."
Mala mendengus kecil. Wajahnya mulai memerah karena kesal.
"Jadi gara-gara masalah Panti, aku harus hidup ngirit juga? Maaf ya, tapi menurutku itu bukan tanggung jawabku. Aku udah keluar dari sana. Mau Panti itu tutup atau nggak, bukan urusanku lagi."
Nayla terdiam sejenak. Wajahnya memucat. "Tapi kita dulu dirawat di sana, Mal. Kita dibesarkan sama Ibu Panti. Masa kamu lupa semua itu?"
Mala meletakkan sendoknya ke meja dengan suara yang cukup keras. Suaranya meninggi.
"Justru karena aku inget! Dulu aku makan seadanya, tidur berhimpit-himpitan. Hidup serba kurang. Sekarang aku bebas, dan aku capek hidup susah. Kalau Ibu Panti emang udah nggak sanggup, ya tutup aja. Anak-anak itu bisa dikasih ke Panti lain yang lebih mampu."
"Mala..." bisik Nayla, suaranya lirih. "Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu..."
"Udah cukup, Mbak! Aku capek denger kamu ceramah terus. Kamu mau bantu? Silakan. Tapi jangan tarik-tarik aku ke dalam masalah yang udah bukan hidupku lagi!"
POV Mala
Mala memang berbeda. Ia tumbuh dengan luka yang disembunyikan rapi di balik make-up dan tas-tas mahal. Sejak remaja, ia tahu bahwa dunia tak selalu adil untuk anak-anak dari Panti. Dan karena itu, ia memutuskan menjadi kuat—dengan caranya sendiri.
Dulu, di bangku SMA, ia pernah menjalin hubungan gelap dengan seorang pejabat kota. Saat kabar itu sampai ke telinga Ibu Panti, Mala tak menunduk malu. Justru ia marah, menyalahkan satu-satunya orang yang peduli padanya.
Kebohongannya tentang kuliah di Jakarta hanyalah cara untuk pergi. Ia tak pernah duduk di ruang kuliah mana pun. Yang ada hanya malam-malam panjang, tempat tidur hotel, dan barang-barang mewah dari pria-pria yang melihatnya sebagai boneka cantik. Ia jadi sugar baby—dan itu adalah harga dari ‘kebebasan’ yang ia kejar.
Cita-citanya sederhana tapi penuh ambisi: menjadi istri orang kaya. Hidup nyaman. Tak lagi dihina sebagai anak Panti. Tapi semua itu berdiri di atas satu hal yang ia sembunyikan dalam: iri.
Iri pada Nayla.
Wajah cantik. Otak pintar. Pekerjaan bagus. Hidup yang tampak sempurna. Nayla bisa jadi apapun yang Mala impikan—tanpa harus menjual dirinya.
Dan itulah yang paling menyakitkan.
Kembali ke Cerita
Nayla menggenggam tangannya erat. Suaranya bergetar, tapi matanya tetap menatap Mala.
"Aku cuma minta kamu peduli sedikit aja, Mal. Kita ini udah dewasa. Bukan anak-anak lagi. Kalau kamu nggak mau bantu, ya udah. Tapi jangan hina tempat yang udah jadi rumah kita dulu..."
Mala terdiam. Pandangannya jatuh ke lantai. Ada getar di dadanya, tapi ia terlalu keras untuk membiarkan itu keluar. Terlalu takut mengakui bahwa Nayla mungkin benar.
Di antara aroma makanan yang masih hangat dan lampu yang tetap menyala, kehangatan justru terasa menguap. Ruangan itu sunyi—dingin.
Dua anak Panti. Dua jalan yang berbeda.
Dulu mereka saling menguatkan di bawah atap reyot. Kini, mereka saling menjauh di bawah langit-langit yang mewah.
Bukan karena takdir. Tapi karena pilihan.