Terbelenggu Takdir Ke 2
Hari itu, langit Malang begitu mendung, seperti menggambarkan hati Hafsah yang tengah terkoyak. Tidak ada yang bisa meggambarkan perasaan yang tengah dikuasai dirinya, selain rasa kehilangan yang begitu dalam.
Ragantara, pria yang sangat dicintainya, kini telah meningalkan dia untuk selama-lamanya. Seperti sinar yang padam, ia meninggalkan Hafsah dengan kesunyian yang tak tertahan. Kepergiannya tidak hanya meninggalkan luka, tetapi sebuah tanggung jawab yang kini harus dipikul Hafsah seorang diri.
Ragantara tidak hanya sebagai seorang suami, dia adalah cinta pertama Hafsah yang begitu sulit tergantikan. Setiap kata yang telontar, setiap senyuman, semua itu menjadi kenangan yang mengiris hati. Namun kini, wajah indah itu hanya mampu dikenang, tanpa dapat diraih lagi.
Tidak peduli dengan abayanya yang sudah bercampur dengan tanah basah, Hafsah terus saja menumpahkan rasa sesak didadanya, sambil mengusap nisan sang suami.
Kedua mata Hafsah memerah, bahkan telihat lebih sembab dari biasa. Tangisan itu menyirat rasa putus asa yang begitu dalam, karena dia harus berjuang sendiri dalam keadan berbadan dua.
"Kenapa kamu tidak mengajak kita saja, Mas! Siapa lagi yang menguatkanku, saat putri kita lahir nanti. Aku tidak sanggup hidup tanpamu, Mas!"
Suara Hafsah nyaris tak terdengar, karena isakan tangisnya. Bibir tipis itu bergetar, karena saking kuatnya terisak. Bagaimana Hafsah tidak merasa kehilangan, jika semasa hidup Raga, pria itu selalu memperlakukan Hafsah dengan lembut penuh kasih.
Hafsah masih teringat betul, perjuangan Raga saat meminta restu kedua orang tuanya dulu. Tidak hanya hinaan yang Raga dapat, pukulan bahkan cacian sudah sering dia rasakan dari pak Mulyo~Mertuanya.
"Dari dulu hidupmu sudah menderita, Mas ... Mengapa hingga di hari terakhirmu pun, kamu tidak mendapat kebahagiaan," suara Hafsah tercekat, hingga hanya sesegukan saja yang terdengar.
Seorang wanita tua yang memakai daster panjang di padukan jilbab hitam, kini mulai mendekat, karena dia merasa iba sejak tadi menatap Hafsah.
"Hafsah ... Sudah nak, ikhlaskan suamimu! Tidak baik berlama-lama disini. Ingat, kamu sedang hamil besar," ucap mbok Nah, nenek dari Ragantara.
Perlahan, Hafsah mulai menyeka air matanya, dia mendongak sekilas kearah sang Nenek, lalu kembali mengusap nisan sang suami sebagai bentuk pamitan.
"Aku pulang dulu ya, Mas! Besok-besok aku pasti akan mengunjungimu lagi."
Dan setelah itu, mbok Nah membantu Hafsah untuk bangkit. Walaupun hati kecil Hafsah tidak rela meninggalkan pusara itu, tetapi dia tidak berdaya akan kehamilannya saat ini.
Jika saja Hafsah dapat sehisteris itu saat kehilangan Raga, lalu bagaimana kabar mbok Nah yang sejak dulu merawat Raga, setelah ibunya tiada.
Wanita renta itu begitu kuat menghadapi ujian hidupnya. Dulu dia sudah pernah kehilangan putrinya, disaat melahirkan sang cucu. Kini ganti sang cucu yang telah pergi lebih dulu darinya. Entah sehancur apa hati mbok Nah, walaupun dia masih bisa tersenyum, demi menguatkan Hafsah dan calon buyutnya.
_____
~Malang, 2015~
Hafsah Nur Amala. Seorang mahasiswi cantik berusia 21 tahun yang kini menduduki bangku fakultas ternama di bagian Jawa Timur. Karena kecerdasan yang Hafsah miliki, jadi dia mendapat beasiswa pendidikan hingga S2. Hafsah terlahir dari pasangan bu Mirna dan pak Mulyo. Orang tua Hafsah sendiri adalah seorang perangkat desa biasa, yang memiliki penghasilan pas-pasan.
Namun karena kepintaran putrinya, kedua orang tua Hafsah merasa terbantu dengan adanya beasiswa tersebut.
Pagi itu, seperti biasanya. Hafsah sudah bersiap akan berangkat kekampusnya menggunakan sepeda motor matic, yang dia beli dari hasil jerih payahnya bekerja. Selain kuliah, Hafsah juga bekerja paru waktu di rumah makan dekat desanya.
Waktu itu Hafsah belum menggunakan jilbab. Dia kuliah dengan pakaian seadanya, namun sangat terlihat sopan. Rambut di ikat kuda, tas selempang kain yang sedang trend pada masanya, dan juga sepatu sneakers dengan warna sedikit usang.
Hafsah tidak mempedulikan itu. Entah dipandang sebelah mata atau tidak, Hafsah tetap menjalani harinya dengan penuh positif. Sikapnya yang humble dan periang, membuat dua pria tampak tertarik untuk bersahabat dengannya.
Dia adalah Ragantara, dan juga Bastian. Raga sendiri juga seorang Mahasiswa yang beruntung menginjakan kakinya di Fakultas tersebut, berkat beasiswa yang dia emban sama seperti Hafsah.
Sementara Bastian, pria berusia 23 tahun itu tidak perlu ditanyakan lagi dari mana seluk beluknya. Sudah pasti, Bastian adalah putra seorang pengusaha sukses, yang kini menjadi penanam saham terbesar di Universitas Pancasila.
"Kok baru dateng, Sah?" ucap Raga yang sudah sejak tadi menunggu Hafsah diparkir khusus motor.
"Ban motorku bocor, Ga! Mana jauh lagi tukang tambal bannya," gerutu Hafsah sambil membuka helm, namun terlihat kesusahan.
Raga terkekeh, lalu segera mendekat membukakan helm sahabatnya itu.
"Bastian juga belum dateng? mending kita tunggu didalam aja. Panas disini," Hafsah menggeser langkahnya, saat sang surya mulai mendekat kearahnya.
Setelah itu mereka berdua berjalan beriringan menuju kelas mereka. Banyak pasang mata yang merasa iri, melihat Hafsah begitu dekat dengan dua pria favorit Kampus. Tidak sedikit yang begitu membenci Hafsah, karena dia dianggap wanita gatal, dapat menaklukan dua pria tampan sekaligus.
Tidak halnya seorang Mahasiswi yang bernama Puspita. Wanita cantik berdarah batak itu begitu terobsesi ingin memiliki Raga sepenuhnya. Dan saat inipun, disaat Raga memasuki kelas bersama Hafsah, Puspita menatap sinis kearah Hafsah, begitu muak ingin sekali menghancurkan hidup Hafsah.
Tempat duduk Raga berada dibarisan paling depan. Dan dibelakangnya ada bangku Hafsah, baru tempat duduk Bastian. Melihat Raga sudah duduk, Puspita segera menggeser kursinya, lalu mendekat kearah sang pujaan.
Dan disaat yang sama, Bastian baru saja masuk dengan senyum mengembang, tangan terangkat, yang ia tujukan untuk dua sahabatnya.
"Lama banget kamu, Bas?" seru Raga, saat Bastian berhenti sejenak disamping bangkunya.
"Macet, Ga!" setelah itu Bastian sedikit membungkuk, "Awas, Ga ... Disebelah kamu ada kucing betina, ntar kamu dicakar lagi," bisik Bastian terkekeh. Lalu dia berjalan lagi menuju bangkunya. Namun sebelum dia duduk, Bastian sempat mengacak pelan kepala Hafsah, karena dia merasa gemas terhadap sahabatnya itu.
"Aku potong tanganmu, Bas!" gerutu Hafsah melayangkan sebuah penggaris besi kearah belakang.
Bastian hanya dapat tertawa lepas, karena dia tidak akan bisa, jika sehari tidak mengganggu sahabatnya, terutama Hafsah.
"Ga ... Kamu besok ikut kan? Semua anak-anak Fakultas Hukum, diundang kok! Dateng ya," pinta Puspita menyerongkan duduknya menatap Raga.
Raga yang terkenal pendiam, namun cukup hangat sikapnya. Dia hanya melirik Puspita sekilas.
"Aku nggak tahu, Pus! Aku aja belum denger berita pesta itu. Jikapun di undang, aku akan hadir, itupun jika Bastian dan Hafsah hadir!" jawab Raga yang begitu menghargai para sahabatnya.
"Kalau Bastian sih oke oke aja, kalau di undang! Tapi aku nggak yakin, kalau Hafsah juga di undang," sahut Puspita melirik sinis kearah Hafsah.
Bastian yang menyadari gerak gerik mata Puspita begitu sinis, dia langsung saja menepuk bahu Hafsah sambil berkata, "Hafsah ... Kamu tahu nggak, kegunaan penggaris besi yang utama?"
Hafsah spontan menoleh sahabatnya dengan mengernyitkan dagi. Setelah itu dia menggeleng kebingungan.
"Untuk mencolok mata seseorang, kalau senang melirik sinis kearah kita!" suara Bastian begitu keras, sambil menatap tajam Puspita.
Sebagian teman temannya ada yang tertawa, ada juga yang bergeleng geleng, melihat tingkah absurd Bastian. Hafsah yang baru sadar, spontan dia tertawa lepas sambil menoyor kepala Bastian.
Raga juga ingin tertawa kencang, namun dia tahan karena melihat wajah Puspita yang begitu malu, hampir menahan tangis.
'Bastian benar-benar pria gila! Untung saja dia tampan dan kaya, kalau tidak ... Sudah kubalas perbuatanya!'
"Pus ... Mending kamu pindah ketempatmu deh! Sebentar lagi pak Dadang datang," pinta Raga yang masih menatap buku didepanya.
"Kok Pus sih, Ga? Panggil aku Pita! P I T A ... Pita! Kesannya kaya kamu manggil kucing. Pas pus pas pus!" geram Puspita mecoba bersikap layaknya anak kecil.
Dikira Raga akan peduli. Pria tampan itu masih tetap membaca bukunya, "Tapi aku sudah terbiasa panggil kamu, Pus! Kalau nggak suka, ya ... Itu terserah kamu. Seharusnya yang kamu salahkan orang yang memberi nama kamu itu!" bantah Raga, membuat dua sahabatnya cekikikan.
Puspita mendesah dalam. Dia lalu menggeser kembali kursinya, saat pak Dadang sudah masuk kedalam kelas.
*
*
*
Mereka bertiga saat ini tengah berada dikantin kampus, saat kelas mereka telah selasai pukul 11.00 tadi.
Raga dapat melihat gerak gerik Bastian, kalau sahabatnya itu menaruh rasa terhadap Hafsah. Pria itu terus saja bercerita, walaupun kedua netranya menangkap sesuatu yang janggal.
Karena Hafsah tidak suka dengan minuman dingin, jadi Bastian memindahkan beberapa es batu kedalam minumannya. Setelah itu dia geser kearah Hafsah, agar memudahkan sang sahabat nanti.
Hafsah yang begitu terpaut oleh cerita Raga, dia hanya memegang gelas minuman tadi. Dan apa yang Hafsah lakukan ... Bukanya dia meminum, Hafsah malah menggeser segelas jus itu untuk diberikan pada Raga. Gerakan spontan itu tanpa Hafsah sadari. Dia terus saja menjawab ucapan Raga, dengan sesekali diiringi tawa lepas.
Dari sorot mata Bastian, Raga dapat menangkap, kalau sahabatnya itu tengah kecewa. Namun karena Bastian tidak ingin merusak suasana, dia langsung ikut nimbrung dalam obrolan sahabatnya.
"Hafsah ... Kamu minum, ya! Perutku masih kenyang, soalnya tadi sebelum kelas aku sudah makan banyak, hehe ...." Raga menggeser kembali segelas jus alpukat tadi.
"Tapi ini jus kesukaanmu, Raga! Bastian sudah membelikannya untukmu. Biar aku minum air-"
Eitss!!!
"Aku haus, maaf ya Hafsah!" Raga dengan cepat merampas air mineral yang digenggam Hafsah, dan langsung dia minum seketika. "Tapi kamu juga menyukai jus alpukat itu, Hafsah! Minum, ya!"
Suara Raga yang begitu lembut, mampu memporak porandakan jiwa Hafsah saat ini. Dengan cepat Hafsah langsung menurut, dan meminum jus tersebut.
'Kamu begitu beruntung, Ga! Aku tau kalau Hafsah sebenarnya mencintaimu'
Bastian hanya tersenyum, melihat pertikaian dua sahabatnya itu.
Hafsah merogoh ponsel didalam tas selempangnya. Waktu sudah menunjukan pukul 12, yang artinya 1 jam lagi dia harus bekerja.
"Guys ... Udah jam 1 nih! Aku pamit langsung kerja dulu, ya!" Hafsah segera bangkit, setelah menghabiskan segelas jus tadi.
"Eh, Hafsah ... Tunggu dulu," Raga segera beranjak sambil membawa satu masker baru yang dia simpan didalam tasnya.
"Ada apa lagi, Raga?"
Hai kak, kembali lagi dengan cerita sederhana Author. Jika suka berilah dukungan dan bintang 5nya. Jika tidak, cukup tinggalkan saja.
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Elly Irawati
lanjut gais, ditunggu up selanjutnya😍😍💪💪
2025-04-28
0
CF
wduh sya suka kota mlang
2025-04-28
0