NovelToon NovelToon
Warisan Dari Sang Kultivator

Warisan Dari Sang Kultivator

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Harem / Balas Dendam
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Seorang pemuda berusia 25 tahun, harus turun gunung setelah kepergian sang guru. Dia adalah adi saputra.. sosok oemuda yang memiliki masa lalu yang kelam, di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ketika dirinya masih berusia lima tahun.

20 tahun yang lalu terjadi pembantaian oleh sekelompok orang tak di kenal yang menewaskan kedua orang tuanya berikut seluruh keluarga dari mendiang sang ibu menjadi korban.

Untung saja, adi yang saat itu masih berusia lima tahun di selamatkan okeh sosok misterius merawatnya dengan baik dari kecil hingga ia berusia 25 tahun. sosok misterius itu adalah guru sekaligus kakek bagi Adi saputra mengajarkan banyak hal termasuk keahliah medis dan menjadi kultivator dari jaman kuno.

lalu apa tujuan adi saputra turun gunung?

Jelasnya sebelum gurunya meninggal dunia, dia berpesan padanya untuk mencari jalan hidupnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 di rumah sakit

Di Rumah Sakit Sejahtera, suasana tegang menyelimuti ruang tunggu di luar kamar perawatan. rayan duduk dengan sikap santai yang kontras dengan Shela, Kakek Broto, dan beberapa pengawal keluarga Priyadi yang tampak gelisah.

"Huhuhu, Kakek, a-apakah Kak Amel akan baik-baik saja? Aku—aku merasa takut Kak Amel di-dia..." Shela tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Di keluarga Priyadi, Amelia adalah satu-satunya sepupu yang paling dekat dengannya.

"Gadis bodoh, berhentilah menangis. Tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada Amel," ucap Kakek Broto, suaranya berusaha menenangkan. "Kakek sudah menyuruh Dokter Leo untuk merawat kakakmu." Meskipun demikian, ia sendiri sangat khawatir. Bagaimanapun, kelak Amelia sangat penting bagi masa depan keluarga dan perusahaan mereka.

Tak berselang lama, beberapa anggota keluarga Priyadi lainnya tiba, termasuk kedua orang tua Amelia.

"Shela, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana Amel bisa mengalami kecelakaan?" tanya Wandira, ibu Amelia. Wanita berusia empat puluhan itu berjalan menghampiri Shela dengan wajah sembab karena menangis sepanjang perjalanan.

"Huhu, Bibi, maafkan Shela. Kak Amel mengalami kecelakaan saat sedang adu kecepatan dengan Shela," Shela menghamburkan tubuhnya ke pelukan Wandira, terus menangis tersedu-sedu.

"Ayah, bagaimana keadaan Amel?" tanya Seto Priyadi, suami Wandira dan ayah Amelia.

"Dokter Leo masih memeriksanya. Mari kita tunggu sebentar lagi," jawab pria paruh baya yang tak lain adalah Kakek Broto, kepala keluarga Priyadi.

Melihat Dokter Leo keluar dari ruang perawatan, Wandira segera bertanya dengan penuh kekhawatiran, "Dokter, bagaimana keadaan putri saya?"

"Ya, ya! Bagaimana keadaan Kak Amel?" Shela ikut bertanya. Mereka semua mengarahkan pandangan penuh cemas pada Dokter Leo.

Dokter Leo menghela napas dengan berat sebelum menjawab. "Keadaannya cukup parah. Kedua kakinya mengalami retak tulang yang serius. Namun, bukan berarti tidak bisa disembuhkan, hanya saja mungkin butuh waktu cukup lama. Dan untuk sementara waktu, Nona Amelia harus menggunakan kursi roda selama masa perawatan."

"Apa?!" teriak Wandira. Ibu Amelia itu segera menerobos masuk ke dalam ruangan setelah mendapat izin dari Dokter Leo. Yang lain mengikutinya, masuk ke dalam untuk melihat keadaan Amelia.

Terlihat Amelia terbaring lemah. Kakinya diperban tebal, dan keadaannya tampak memprihatinkan.

"Ya Tuhan, kasihan sekali kamu, Nak," kata Wandira dengan deraian air mata, menggenggam telapak tangan putri pertamanya dengan penuh kesedihan.

Yang lain, sebagai saudara dan keluarga besar Priyadi, juga ikut merasa iba.

"Dokter Leo, kapan putri saya akan bangun?" tanya Wandira.

"Mungkin sebentar lagi. Hanya saja, terlalu banyak orang di ruangan ini. Sebaiknya untuk kebaikan putri Anda..." Dokter Leo tidak berani menyuruh sebagian dari keluarga Priyadi untuk keluar, takut menyinggung perasaan mereka.

"Shela, sudah, jangan menangis terus seperti itu. Sebaiknya kita menunggu di luar," ajak Setiani, ibu Shela.

"Tidak, Bu. Aku ingin tetap di sini, aku ingin menemani Kak Amel," tolak Shela.

"Sudahlah, Bu. Biarkan saja," timpal ayah Shela. Ia tahu betul kedekatan putrinya dengan putri kakak iparnya itu.

"Tuan Seto, Anda silakan ikut saya sebentar. Ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan perihal kondisi kaki putri Anda," ujar Dokter Leo.

"Baiklah," jawab Seto, mengusap air mata dari pelupuk matanya.

"Ugh..." lirih Amelia, perlahan membuka matanya.

"Syukurlah, akhirnya kamu sudah sadar," melihat putrinya bangun, Wandira segera menghapus air matanya.

"Ibu, kenapa kamu ada di sini?" Dengan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya, Amelia berkata dengan suara pelan.

"Kak Amel, huhu... akhirnya kamu bangun juga!" Shela merasa lega melihat Amelia membuka matanya.

"Shela, akhh... Kakiku!" Amelia meringis kesakitan saat ia mencoba menggerakkan kakinya. Perlahan, ingatan tentang kecelakaan itu berputar di kepalanya.

"Nak, tenanglah. Jangan terlalu banyak bergerak," ucap Wandira.

"Ibu, kakiku... hiks-hiks, ka-kakiku ada apa dengan kakiku, Bu?" Amelia langsung panik, jelas ia merasakan kakinya sedang tidak baik-baik saja.

"Tenanglah, Nak. Kakimu baik-baik saja, hanya perlu beristirahat yang cukup, pasti kakimu akan sembuh," Wandira mencoba menenangkan.

Sementara itu, di luar ruangan, rayan yang sudah mulai bosan akhirnya tak tahan lagi. Perutnya mulai keroncongan.

"Pak Tua, apakah saya sudah boleh pergi sekarang? Jujur saja, saya belum makan selama beberapa hari," ucapnya kepada Kakek Broto.

"Tidak, kamu tetap harus di sini," jawab Kakek Broto dengan tegas.

"Siapa dia, Ayah?" tanya Setiani, ibu Shela. Ia baru menyadari ada sosok anak muda berpakaian seperti gelandangan di sana.

"Anak muda ini berada di tempat kejadian saat Amel kecelakaan," jawab Kakek Broto. Ia beralih kembali pada rayan dan berkata,

"Tunggu setelah kamu terbukti tidak bersalah, baru kamu boleh pergi."

"Mana bisa begitu, Pak Tua? Saya sudah mengatakannya dari awal bahwa saya tidak bersalah. Kenapa saya harus tetap di sini? Lagipula, gadis itu sudah dirawat. Jadi, kenapa Anda tidak menanyakan pada gadis itu tentang kejadian yang sebenarnya?" rayan mulai kesal karena sudah hampir tiga jam ia tertahan di rumah sakit itu.

"Anak muda, bukankah caramu berbicara begitu tidak sopan pada orang tua?" tegur seorang pria berusia 30-an, yang masih termasuk keluarga Priyadi.

"Nak, saya sarankan kamu untuk berbicara lebih sopan pada Ayah mertua saya. Apakah kamu tidak tahu siapa beliau di kota ini?" Setiani ikut menimpali. Dengan raut wajah tidak suka, ia menatap rayan penuh penghinaan.

Kakek Broto tampak dingin tanpa ekspresi. Pemuda ini adalah orang pertama yang bersikap seperti ini padanya.

"Kakek...!"

Tepat ketika Tuan Broto hendak berkata, Shela keluar dari ruang rawat dan menunjuk ke arah rayan, "Kakek, Kak Amel ingin bertemu dengan pria itu!"

"Shela, apakah Amel sudah sadar?" tanya Setiani.

"Ya, Kak Amel sudah sadar, dan dia ingin bertemu dengan pria gelandangan itu," jawab Shela sambil kembali menunjuk rayan, raut wajah tidak sukanya terlihat jelas.

"Nak, ikutlah denganku," Tuan Broto langsung mengajak rayan masuk ke dalam ruangan.

Rayan agak heran kenapa gadis itu ingin bertemu dengannya, tetapi karena tak ingin membuang waktu lagi, rayan pun ikut masuk ke dalam, diikuti oleh anggota keluarga Priyadi lainnya karena Amelia sudah sadarkan diri.

"Kakek...?" panggil Amelia saat melihat Broto masuk.

"Bibi, dia! Dialah orang yang telah membuat Kak Amel kecelakaan!" Setelah Rayan masuk, Shela langsung menunjuknya, seolah memberitahukan pada Bu Wandira bahwa pemuda itulah orang yang dimaksud Kak Amel tadi.

Rupanya, Amelia telah menceritakan semua kejadiannya pada sang ibu. Dalam ceritanya, ia tengah beradu kecepatan dengan Shela, saat rem mobilnya tiba-tiba tidak berfungsi. Saat itu, kebetulan ada seseorang yang berjalan tepat di arah mobilnya melaju. Setelah itu, ia panik dan membanting setir ke arah pepohonan.

Shela juga menambahkan bahwa pemuda itu berada di rumah sakit ini karena Kakek membawanya, dan Amelia langsung memerintahkan Shela agar menyuruh pemuda itu masuk, karena ia teringat bagaimana pemuda itu tiba-tiba menghilang sesaat sebelum ia membanting setir.

"Kamu! Jadi kamu penjahat yang telah membuat putriku menderita?!"

"Bajingan bau! Beraninya pemulung sepertimu membuat putriku celaka!" Dengan penuh kemarahan, Bu Wandira hendak menerjang rayan untuk melampiaskan amarahnya.

"Bu, tenanglah... Sebenarnya tidak semua salahnya," melihat ibunya sangat marah, Amelia buru-buru menghentikannya.

"Kak, kenapa kamu malah membelanya? Jelas-jelas dia yang telah membuatmu seperti ini!" Shela tidak setuju dengan perkataan sepupunya.

"Shela, diamlah, biarkan aku bertanya padanya," ucap Amel. Ia kemudian menatap ke arah rayan, yang juga menatapnya dengan tatapan dingin.

Sebenarnya, rayan ingin sekali memaki para gadis itu, terutama Shela, karena dari awal gadis itu selalu berbicara omong kosong, menuduh seolah dirinyalah yang bersalah.

"Siapa namamu?" tanya Amelia tanpa basa-basi pada rayan.

Namun, bukannya menjawab, rayan justru bertanya balik dengan sikap dinginnya, "Katakan saja untuk apa kamu memanggilku kemari?"

"Hei, pemuda gelandangan! Kak Amel sedang bertanya siapa namamu, kenapa kamu malah menjawab dengan pertanyaan?!" Shela merasa pemuda ini sepertinya bukan hanya seorang gelandangan, tetapi juga orang yang bodoh dan tak berpendidikan.

1
Phaul Fukaba
namanya sadewa apa rayan ?
Jujun Adnin
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!