(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
...Senja beranjak, mengiringi rampungnya pekerjaan dan terkuncinya pintu restoran. Namun, ketenangan itu terusik ketika Viola dipanggil ke ruangan Chef. Langkahnya terasa berat, apalagi saat menyadari rekan-rekannya telah bergegas ke ruang ganti, bersiap pulang....
"Astaga," bisiknya lirih, kecemasan dan kebingungan berkecamuk dalam benaknya, memaksa kakinya untuk terus melangkah menuju pintu yang terasa begitu mengintimidasi.
Tok, tok, tok.
...Dengan jantung berdebar, Viola mengetuk pintu ruangan itu. Jemarinya sedikit gemetar, seolah ikut merasakan kecamuk pikirannya yang melayang tak karuan....
"Masuk," suara berat Chef memecah keheningan dari dalam, sontak membuat Viola menelan ludah dengan susah payah.
Ceklek.
...Perlahan, pintu terbuka di bawah sentuhan tangan Viola yang masih sedikit bergetar. Ia melangkah masuk, pandangannya tertunduk dalam, namun kakinya yang terasa berat tetap ia paksakan untuk menghampiri meja kerja sang Chef....
"T-Tuan," lirih Viola terbata, suaranya hampir tak terdengar saat ia berdiri kaku di depan meja kerja Chef, kepalanya masih tertunduk dalam.
Melihat raut wajah Viola yang tegang, seulas senyum tipis menghiasi bibir Chef. "Apa aku terlihat semenakutkan itu?" tanyanya dengan nada lembut.
Viola menggeleng cepat, rambutnya sedikit bergerak mengikuti gelengan itu. "B-bukan begitu, Tuan," jawabnya gugup, "tapi... ini pengalaman pertama saya bekerja."
"Maaf jika membuatmu terkejut, Nona," ucap Chef sambil tersenyum ramah bangkit dari kursi kerjanya berjalan mendekati Viola dan mengulurkan tangan. "Perkenalkan, saya Chef Mario. Kalau Anda?"
Dengan ragu, Viola sedikit mengangkat kepalanya, lalu menjabat tangan Chef Mario lalu menjawab pelan, "Saya Viola, Tuan."
"Salam kenal, Viola," balas Chef Mario hangat. "Begini, saya sudah melihat berkas lamaranmu. Saat ini, posisi yang tersedia hanyalah sebagai pelayan. Apakah tidak apa-apa untukmu?" tanyanya dengan nada penuh pertimbangan setelah melihat ijazah dan dokumen lain milik Viola.
"Tidak apa-apa, Tuan," jawab Viola cepat, merasa bersyukur atas kesempatan yang diberikan.
"Baiklah." Chef Mario menarik kembali tangannya dan menatap Viola dengan tatapan profesional. "Besok kamu bisa mulai bekerja di sini. Mengenai gaji, akan sama dengan standar pelayan lainnya," jelasnya.
"Baik, Tuan. Terima kasih banyak," ucap Viola tulus. Ketegangan di wajahnya seketika sirna, digantikan oleh senyum lega dan harapan.
"Bagus. Kamu bisa kembali," kata Chef Mario sambil kembali duduk di kursinya. Viola mengangguk penuh semangat, berbalik dengan ringan, dan segera melangkah keluar dari ruangan itu, hatinya terasa lebih ringan.
🌺
🌺
🌺
...(Beberapa jam kemudian)...
...Hari ini benar-benar menguras tenaga Viola. Langkahnya lunglai menyusuri hiruk pikuk jalanan menuju rumah besar itu. Namun, ketika melewati taman bermain, ingatannya terpaku pada sosok Ayah yang dulu selalu menemaninya bermain di sana. Tanpa bisa dicegah, setitik air mata lolos dari sudut matanya, memecah kesendiriannya di tengah keramaian....
"Lupakan dia, Viola," bisiknya pada diri sendiri, berusaha tegar sambil mengusap air mata dengan kasar.
"Dia memang ayahmu, tapi itu dulu. Sekarang, hatinya hanya untuk ibu tiri dan adikmu."
Drrrtt, drrtt.
...Tiba-tiba, dering ponsel yang memekakkan telinga memecah lamunannya. Viola segera merogoh tasnya dan meraih ponsel yang bergetar....
"Mama..." gumamnya lirih, menatap nanar nama yang tertera di layar.
...Viola menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak di dadanya, lalu menghembuskannya perlahan. Sebuah senyum lebar ia paksakan menghiasi bibirnya, topeng untuk menyembunyikan kesedihan yang masih terasa perih. Dengan jari bergetar, ia menggeser ikon hijau....
"Halo, selamat sore menjelang malam, Ma..." sapa Viola ceria, berusaha menyamarkan nada suaranya di tengah riuhnya langkah kaki dan kendaraan di trotoar.
"Kamu di mana, Nak?" tanya Nyonya Adelia dengan nada khawatir, menangkap samar suara bising jalanan di seberang sana.
"Lagi jalan-jalan santai, Ma. Bosan terus di rumah," jawab Viola cepat, sebuah kebohongan kecil meluncur mulus dari bibirnya.
Napas berat mengembus dari ujung telepon. "Nak, kamu sudah punya suami. Kurang baik dilihat orang kalau kamu sering keluar rumah tanpa tujuan jelas," nasihat Nyonya Adelia dengan nada prihatin.
"Aku mengerti, Ma. Hanya saja... suamiku sedang pergi, jadi aku sekadar mencari angin," jawab Viola, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya saat menyebut suaminya.
"Sayang... Mama mau kamu dengarkan Mama," kata Nyonya Adelia lembut. "Membangun rumah tangga itu butuh perjuangan di awal. Sebagai istri, kamu punya tanggung jawab untuk mengurus suamimu. Mama akui, dulu Mama tidak mampu mempertahankan rumah tangga Mama, dan Mama tidak ingin kamu mengalami hal yang sama. Sayangi suamimu, usahakan dia selalu nyaman bersamamu."
"Baik, Ma. Aku akan berusaha," jawab Viola, meski hatinya terasa perih.
...Setiap kata ibunya terasa seperti menusuk luka di hatinya. Viola ingin sekali berteriak tentang penghinaan dan kekerasan yang ia alami, namun ia mengurungkan niatnya. Kesehatan ibunya lebih penting, dan ia tidak ingin menambah bebannya. Dan panggilan pun berakhir....
(Bersambung)