Seorang wanita muda bernama Misha, meninggal karena tertembak. Namun, jiwanya tidak ingin meninggalkan dunia ini dan meminta kesempatan kedua.
Misha kemudian terbangun dalam tubuh seorang wanita lain, bernama Vienna, yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Rian. Vienna meninggal karena Rian dan Misha harus mengambil alih kehidupannya.
Bagaimana kisahnya? Simak yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AgviRa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari s1al
Langit biru telah berubah warna menjadi jingga, pertanda matahari akan segera tenggelam.
Misha memutuskan untuk kembali ke rumah Refan. Kali ini dia mengendarai mobilnya sendiri. Suasana perjalanan begitu lenggang, Misha menyetir deo .ngan santainya.
Misha menyalakan tipe dan mendengarkan musik dangdut. Sesekali dia ikut bernyanyi dan menggoyangkan kepalanya. Namun, keasyikannya tiba-tiba luntur kala melihat sebuah mobil Alphard terparkir di tepi jalan dan terlihat seseorang sedang keroyok oleh dua orang berpakian serba hitam. Disana juga terlihat ada sepasang suami istri paruh baya bersimpuh ketakutan. Sang suami memeluk istrinya yang tengah menangis.
"Loh loh loh, apa lagi ini? Kasihan banget itu bapaknya dikeroyok. Wah gak bisa dibiarin nih."
Dengan hati yang gak tegaan, Misha langsung memarkirkan mobilnya dan turun.
Misha melihat pria yang dipukuli sudah babak belur.
"Woy, mau ngrampok loe?"
Keempat laki-laki berpakaian hitam langsung menoleh kearah Misha semua.
Salah satu dari mereka menyuruh ketiga temannya untuk mengurus Misha.
"Waduh. Pada bawa senjata semua, kali ini gue harus penuh perhitungan nih." Ucapnya.
Tanpa banyak bicara, seketika laki-laki berpakaian serba hitam menghampiri Misha dan memulai aksinya.
"Jangan ikut campur, l4cur."
Syat syat, Misha menghindari kibasan maupun pukulan dari lawan. Misha menangkap tangan salah satu dari mereka dan Misha memutar badan dan bruk. Misha membantingnya di aspal.
Kedua temannya melihatnya lalu bergantian melawan Misha.
Melihat mereka berdua mendekat secara bersamaan, Misha lari lalu melompat dan melayangkan tendangannya.
Dag dag. Bugh.
Mereka berdua tersungkur bersamaan.
"Gue udah hubungi polisi. Sebentar lagi mereka datang. Gue beri kalian pilihan. Mau tetap disini atau kabur?"
Mereka bertiga yang merasa kesakitan hendak bangun sulit.
"Ampun. Kita akan pergi. Jangan lapor polisi." Ucap salah satu dari mereka.
"Kamu itu bodoh. Mana mungkin dia langsung bisa lapor polisi. Ayo bangun dan h4bisi dia." Ucap pria yang menyuruh ketiganya untuk melawan Misha.
"Tidak, anakku masih kecil. Aku gak mau sampai anakku menderita karena bapaknya dipenjara. Aku mau pergi dari sini."
"Aku ikut. Biar tidak dapat apa-apa asal tidak dipenjara."
"Aku juga."
Mau tak mau semuanya memilih untuk pergi. Biasanya kalau preman atau begal sampai titik darah penghabisan. Lah ini, belum apa-apa sudah kabur. Sepertinya mereka perampok yang masih pemula.
Melihat keempat laki-laki berbaju hitam pergi, Misha mulai bernafas lega.
"Padahal gue cuma bohong. Eh, emang beg0 aja tuh mereka." Celetuknya.
Misha beralih menatap sepasang suami istri dan menolong seseorang yang diduga sopir.
"Kalian tidak apa-apa?" Tanya Misha.
"Tidak, Nak. Hanya, tolong sopir kami, Nak. Sepertinya dia terluka parah karena dikeroyok."
Misha mengangguk dan menolong sopir mereka. Misha meletakkan sopir tersebut di samping kemudi. Misha menghubungi ambulance agar si sopir segera mendapat pertolongan.
"Kalian darimana mau kemana?" Tanya Misha.
"Kita dari bandara, Nak. Mau pulang. Rumahnya tidak jauh dari sini. Oh ya terima kasih ya, Nak. Sudah mau menolong kita. Namamu siapa? Kenalkan namaku Raharja. Panggil saja aku Harja. Ini istriku, namanya Ayudisa." Jawab Harja.
Misha nampak terpaku. 'gue seperti pernah melihat bapak ini tapi, dimana ya?' Batin Misha nampak berpikir.
"Nak,"
Misha langsung tersadar dari lamunannya.
"Ah iya maaf, Pak. Nama saya Misha. Iya sama-sama, Pak. Sebagai sesama umat kan kita harus saling membantu." Jawab Misha sambil melengkungkan sebuah senyum.
"Wah, genduk ayu namanya cantik sekali. Rumahmu dimana?" Tanya Ayudisa dengan gaya medoknya.
"Rumahku ada di seberang kota ini, Buk. Ini saya mau ke rumah majikan saya."
Tak lama terdengar suara sirine ambulance. Sopir pun dibawa mereka ke Rumah Sakit.
"Pak, Buk. Berhubung kalian tidak ada sopir. Lebih baik saya saja yang mengantar kalian. Apalagi arah tujuan kalian hanya didepan sana kan?"
Keduanya mengangguk.
"Iya, Nak. Tak jauh dari sini. Kalau begitu terima kasih sekali lagi ya, Nak. Kamu memang anak yang baik. Maaf merepotkan."
"Ah. Tidak, Pak. Tidak merepotkan sama sekali. ya sudah yuk kita jalan sekarang."
Mereka semua masuk ke dalam mobil.
Misha pun menggantikan sopir yang telah dibawa ambulance ke Rumah Sakit dan meninggalkan mobilnya di tepi jalan.
Misha melajukan mobilnya dengan pelan.
"Nduk, apa tidak apa-apa mobilmu ditinggal disana?"
"Aman, Buk. Lagian kuncinya juga saya bawa. Sudah saya segel, Buk. Tenang saja."
"Iya wis, Nduk. Maturnuwun ya."
Misha terkejut. "Loh. Ibu bisa bahasa jawa ya?"
"Bisa, Nduk."
"Istriku ini asalnya dari Jawa. Jadi dia suka pakai bahasa campuran kalau ngomong." Imbuh Harja.
"Oalah, njih sami. Kulo njih saking Jawi. Kulo tiyang Jawi, Pak, Buk."
"Loh iyo to? Wah entuk kanca sefrekuensi iki."
Mereka pun tertawa bersama. Seperti sudah akrab begitu lama.
Harja menyuruh Misha untuk berhenti didepan gerbang sebuah rumah. Misha nampak terkejut.
"Loh, ini rumah majikan saya, Pak, Buk."
"Hah, majikanmu Refan toh?"
"Iyo, Buk. Mas Refan niku majikan kulo."
"Woalah, Refan itu anak kita berdua. Yo wis ayo langsung masuk aja."
Misha menekan klakson dan Pak Yoyo membukakan pintu gerbang. Misha membawa mobilnya masuk dan mengantar kedua orang tua Refan masuk ke dalam rumah.
Sementara Tika baru saja turun dari ojek online sambil mengerucutkan bibirnya.
"Ini bayarannya." Tika memberikan uang satu lembar 10 ribuan.
Sopir ojek terperangah. "Kurang ini, Neng. Kan biayanya 35 ribu."
"Hallah, mahal banget sih. Sudah panas ngasih mahal."
"Loh, Neng yang milih, kenapa saya yang disalahin? Mana uangnya, masih kurang ini." Tukang ojek meminta uang lebih.
Dengan kesal Tika mengeluarkan dompetnya dan memberikan uang 25 ribu ke sopir ojek.
"Nah. Kalau begini kan sama-sama enak. Terima kasih, Neng."
Tika memutar bola matanya malas. Dia pun membalikan badan dan berjalan dengan kesalnya.
Tika masuk tanpa mengucap salam atau menyapa. Padahal Dewi sedang duduk di sofa sambil melipat pakaian kering.
Tika hanya melirik kearah Dewi sebentar dan melenggang masuk ke dalam kamar. Sementara Dewi hanya menatap diam Tika.
"Kalau bukan karna ada cucuku disana. Sudah aku usir kamu dari sini. Makin kurang4jar sekali dia. Tidak ada sopan-sopannya sama orang tua." Gerutu Dewi.
Di dalam kamar.
Tika semakin jengah dengan Rian. Tika menatap Rian yang sedang terbaring pulas begitu sengit. Jarang sekali di rumah, sekali di rumah kerjaannya hanya tidur.
"Mas, woy, bangun. Jangan tidur aja kerjaanmu." Tika membangunkan Rian dengan kakinya.
Definisi istri durhaka ya begini.
Melihat Rian tidak ada pergerakan, Tika mengambil botol minuman yang ada di dalam tasnya.
Tika mengguyur Rian tetap di wajahnya.
"Arghh , banjir banjir." Rian terlonjak kaget dan langsung beranjak bangun.
"Loh, Tika."
"Makanya, kalau dibagunin itu jangan susah. Tidur macam kebo. Kamu itu kenapa kerjaannya hanya tidur saja? Emangnya makan bisa datang sendiri? Sana cari uang. Lama-lama aku bosan hidup sama kamu." Terocos Tika. Dia tidak sadar sedang membangunkan macam tidur.
"Oh, kamu bosan? Ya sudah, pergi aja dari sini. Aku juga tidak mau hidup bersamamu. Lagian, kamu juga hanya istri siri aku. Gampang kalau cuma buat buang kamu."
Ngomong masalah pernikahan. Tiba-tiba Rian teringat akan suatu hal.
"Ah, s1al. Seharusnya kemarin sidang pertama. Kenapa aku jadi lupa?" Lirihnya.
Rian menatap Tika nyalang.
"Heh, kamu. Wanita l4cur. Jangan dikira aku tidak tahu masalah anak ini. Ini bukan anakku. Jangan kamu sangka aku juga tidak tahu kamu diluaran sana. Hidupku jadi seperti ini karena kamu. Jadi, kalau kamu masih mau hidup. Mending kamu pergi dari sini sekarang juga sebelum aku khilaf dan membun*hmu." Ucap Rian tatapan tajam dan bringas.
Tika melototkan matanya. Dia bingung dan juga penasaran kenapa Rian mengetahui hal itu. "Kam-kamu, bicara apa? Kamu mengancamku?"
Rian mencengkeram rahang Tika dengan kuat sehingga Tika nampak meringis.
"Tidak usah belaga sok polos. Lebih baik kamu kemasi semua barang-barangmu dan pergi dari sini sekarang." Rian melepaskan cengkeramannya dari rahang Tika. "Pergi." Rian membentak Tika.
Tika terperanjat dan memilih mengemasi barang-barangnya dan pergi.
Hari yang sial untuk Tika.