Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Sapi hutan? Jaring burung?
Mimpi mengenai Mola-mola, kembali menghantuiku.
Kali ini bukan di sekolah yang remang, melainkan di sebuah ruangan kosong yang gelap. Mola-mola sedang duduk di sebuah kursi reyot, bayangannya lebih tinggi daripada tubuhnya yang kecil, ia menatapku lagi, seolah bisa melihatku. Pandangannya kosong, menyorotiku tanpa ekspresi, namun terasa mengoyak diriku.
"Kau tidak bisa bertindak seenakmu, Winola." Senyum tipis, merekah dari bibirnya. "Betapa sombongnya dirimu sampai tak mau menyelesaikannya. Apakah kau tau apa yang akan terjadi? Kau sudah tak memiliki apapun yang bisa menggendongmu, jagalah etikamu."
Seluruh tubuhku menjadi dingin, seolah direndam dalam es. Suara Mola-mola tipis namun tajam, membuatku merinding. Bola matanya sangat gelap, hanya ada kebencian di dalamnya.
Situasi berubah dalam sekejab, kini aku menjadi duduk di kursi, tubuhku terikat sulur tanaman yang erat, menjadi sulit bergerak. Lokasinya juga berubah, nampak seperti gubuk tua mau ambruk, atapnya bolong, membuat angin masuk menusuk. Sebuah tangan menggerayangi pundakku, aku bisa merasakan deru napas seseorang di leherku.
"Apa kau tidak mau melihatnya, dirimu?" Suaranya serak, Tangan itu memaksaku memanglingkan kedepan.
Disana, didalam jeruji besi yang karatan, aku melihat tubuhku sendiri. Tubuh kurus nan pucat, terjerat sulur anggrek hitam. Bunganya berkedut seolah hidup.
"Apa—apa yang terjadi." Aku mencoba memberontak, tetapi tubuhku tidak memiliki tenaga, seolah sulur tanaman itu menghisap energiku.
Seseorang perlahan berjalan ke hadapanku, wajahnya tepat berada di depanku. Wajahnya nyaris persis denganku, bedanya, dia terluka parah, darah mengalir di kepalanya. "Winola, selamatkan hidupku, aku mohon selamatkan hidupku."
Sulur itu bergerak, menarik tubuhku yang lain kedalam jeruji besi. Kuncinya bergerak sendiri, menguncinya kedalam. Aku mencoba menarik sulur di tubuhku, sekuat tenaga, namun perjuanganku tidak ada hasilnya.
"Winola," Suara Mola-mola kembali, kali ini nadanya sedih. Ia membelai kepalaku perlahan sampai ke dagu, menegakkan wajahku agar mata kami bisa saling bertemu. "Maafkan aku, kali ini, jangan pernah kembali lagi."
Aku terbangun dengan banjir keringat dingin. Napasku tersengal-sengal. Rasanya sempat lupa cara bernapas seolah tengah tercekik sesuatu. Aku segera mengambil kertas dan menuliskan kejadian barusan, siapa tau bisa di jadikan petunjuk.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku mengangkat busurku, merasakan keseimbangannya, bagaimana beratnya di distribusikan, cara menopangnya agar stabil. Mataku menyipit, berusaha fokus pada target. Melatih pandanganku agar fokus pada titik di kejauhan. Angin sepoi berembus, dan aku melatih keseimbanganku agar bisa menyesuaikan dengan arah angin, mengunci bidikan.
Setelah semuanya meyakinkan, aku menekan pelatuk, bunyi hentakan dari senar membuatku terdiam sejenak. Papan target bergetar hebat karena anak panahku tepat mengenai target.
"Lady hebat, sangat hebat." Boni bertepuk tangan riuh, wajahnya sumringah saat melihat anak didikannya berhasil. "Lady pasti bukan manusia biasa, pasti utusan dewi surga yang turun ke bumi."
Aku dengan bangga mengusap hidungku dan menyeringai. "Aku memang begini, selalu berbakat dalam hal apapun." Aku menepuk pundaknya dua kali. "Nanti, setelah aku menghabisi penyihir sialan itu, kau ikutlah denganku untuk membuat sayembara, ya?"
Meri membawakanku minuman, napasnya terengah. Aku kembali ke tempat istirahat favorit, dibawah pohon mangga, sambil minta di kipasi. "Pundakku juga, tolong pijitin pundakku juga." Tangan Meri memijat pundakku dengan pelan, membuang rasa pegal.
"Apa kaki Lady sudah tidak sakit?" Tanya Meri, rayu wajahnya khawatir.
"Aman, aku juga sudah bisa berlari." Sudah tiga hari ini dan kakiku sudah baikan, nyaris tidak terasa sakit.
"Saya mendengar dari tuan Hiro dan Tuan Boni, Lady seorang pemberani yang melawan singa di hutan." Meri tersenyum lebar, matanya berbinar senang. "Saya sangat senang karena melayani orang hebat!"
Singa hutan? Aku menengok Hiro dan Boni yang pura-pura tuli, fokus menatap langit-langit arena. Apa maksud mereka, singa hutan itu Caspian? Apa mereka suka mengarang cerita konyol tentangku?
"Lady berlatih sangat keras, apa Lady mau pergi bersama Grand Duke melawan goblin?" Meri bertanya dengan nada terheran-heran, matanya mengerjab polos.
Aku bingung, tanganku refleks menggaruk pelipis. "Goblin itu sapi hutan, ya?"
Merek bertiga, Hiro, Boni, dan Meri kompak menjatuhkan rahang. Bibir mereka melongo, ada apa? apa yang salah?
"Goblin itu makhluk menyeramkan, Lady." Hiro menjelaskan, nadanya seperti guru yang sabar. "Mereka biasanya menculik manusia untuk dimakan. Perutnya buncit, badannya besar, telinganya mirip telinga babi, yeah kurang lebih seperti Boni ini, kehkeh."
Boni menjambak rambut Hiro karena tidak Terima dengan perbandingan itu. "Enak saja!"
"Kenapa Grand Duke sampai memburunya?" Aku bertanya dengan penasaran.
"Dulunya, Goblin hanya muncul di Barat, Kadipaten Duke Orlov." Jelas Hiro, mengusap rambutnya yang dijambak Boni. "Beberapa tahun terakhir, Goblin bermunculan di sebelah barat sampai selatan Kadipaten Solara Terras dan jumlahnya sangat banyak. Kami bahkan sampai lupa dengan wajah Tuan Marquis karena dia selalu menjaga perbatasan. Baru kali ini beliau berada cukup lama di istana." Jelas Hiro.
Alisku terangkat sedikit, membentuk kerutan samar di dahi, mencoba memproses informasi. Ini penting. Dalam novel, goblin tidak di jelaskan secara rinci. Aku berpikir jika Caspian berburu goblin itu sejenis sapi hutan, ternyata aku salah besar.
"Padahal perutku sudah lapar ketika membayangkan dendeng sapi." Keluhku, kecewa berat. "Ternyata malah jadi dendeng monster."
Aku terdiam sejenak, baru saja aku mengingat sesuatu, sehingga aku meninggalkan mereka semua dan bergegas pergi menemui Julian.
Pria tinggi itu sedang berada di taman belakang Istana, tampak sibuk memberi makan merpati. Tangannya yang besar itu sedang memegang keranjang anyaman, di dalamnya ada merpati warna putih.
"Wow, aku baru tau kalau merpati bisa tinggal di keranjang." Kataku, melongo. Aku melihat merpati-merpati putih itu di dalam keranjang berukuran tiga kaki, sedang di pegang oleh Julian.
"Lady, ini namanya sangkar burung." Jelas Julian, suaranya sabar namun ada sedikit nada lelah.
Dahiku berkerut ke dalam, aku memperhatikannya sekali lagi untuk memastikan. "Sangkar burung itu, seperti jaring ikan, ya? Kau menangkap burung dengan di jaring?"
Julian menghela napas berat, seolah telah mendengar lelucon aneh. "Apa Lady ingin bertanya mengenai surat?"
Aku mengganguk cepat. "Ya, apa kau sudah mendapatkan surat dari Albastar?"
Seja kemarin, aku sudah bolak-balik bertemu julian untuk menanyakan suratnya. Sisi adrenalin dalam diriku meronta-ronta dan aku sangat tidak sabar untuk memukul kepala penyihir itu.
"Belum ada berita mengenai Ratu, baginda Raja juga tidak mengirimkan pengumuman apapun, Lady." Julian dengan sabar menjelaskan. "Lagi pula, dua minggu itu hanyalah perkiraan yang belum pasti, anda harus lebih bersabar lagi."
Aku mengangkat bahu, Pura-pura tidak peduli. "Oke, tidak masalah. Aku harus berlatih dengan giat agar terlihat keren!" Tanganku mengepal ke depan, penuh semangat. "Bye Count Julian. Segera kabari aku jika sudah dapat surat cintanya." Aku melambaikan tangan ceria dan segera pergi. Menyeret kakiku yang sekarang sudah mendingan.
semangat 😊
mampir juga ya ke ceritaku..
kasih saran juga..makasih