Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SERANGAN ARIANA SEPERTI ANAK PANAH
Mateo tengah menyantap makan malam dalam kesunyian. Nafsu makannya benar-benar hilang, namun malam ini kedua orang tuanya, Ariana dan Don, datang berkunjung ke kediamannya.
“Makan yang banyak, Sayang. Mama sudah memasakkan menu sehat kesukaanmu,” ucap Ariana lembut, mencoba menyemangati putra kebanggaannya.
Mateo hanya mengangguk pelan. Dengan enggan, ia menyendok makanan dan memasukkannya ke dalam mulut, tanpa benar-benar menikmati rasanya.
Sementara itu, Don duduk diam di kursinya. Pria tua yang tegas dan berwibawa itu mengenakan setelan polo dan celana pendek, tetap terlihat berkarisma meski dengan pakaian santai.
“Di mana kau menyekap bajingan itu?” tanyanya tenang, namun nadanya menyiratkan ketegasan.
“Di ruang bawah tanah,” jawab Mateo singkat.
Tanpa berkata lebih banyak, Don bangkit dari kursinya. Langkahnya mantap menuju ruang bawah tanah, tempat Dion ditahan.
Ariana menatap kepergian suaminya sejenak, lalu kembali menoleh pada putranya.
“Mama yakin, semua ini rentetan kesialan yang ditularkan gadis miskin itu padamu,” ucapnya penuh penilaian, menyalahkan Livia atas nasib buruk yang menimpa Mateo.
Mateo mengarahkan pandangannya ke taman. Di sana, Livia duduk sendiri di ayunan, membelai perutnya dengan lembut menyentuh kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya. Janin yang bahkan tak pernah diharapkan Mateo sejak awal.
Di ruang bawah tanah yang pengap dan remang, Don Velasco berdiri di depan Dion dengan tatapan tajam dan penuh murka. Pria tua itu perlahan duduk di bangku kayu tua di sudut ruangan, namun sorot matanya tetap menancap tajam seperti pedang.
Wajah Dion yang lebam dan tubuhnya yang lemah jelas menunjukkan betapa keras penyiksaan yang ia alami. Namun tak satu pun belas kasih tampak dari raut wajah Don.
“Dion...” ucapnya datar namun dingin. “Saya tidak menyangka kau akan berkhianat. Apa kau lupa, siapa yang membiayai sekolah adikmu? Siapa yang membayar rumah sakit ibumu waktu itu?”
Suara Don terdengar tenang, namun menyimpan tekanan kuat yang menusuk.
Dion menunduk. Tubuhnya gemetar, bibirnya pecah-pecah, dan air mata perlahan mengalir di pipinya yang kotor.
“Saya... saya tidak pernah berkhianat, Tuan Don... Saya bersumpah atas nama Tuhan,” lirihnya, nyaris tak terdengar, namun penuh ketulusan.
Namun kesetiaan saja tampaknya tak cukup bagi keluarga Velasco terutama saat kehormatan dan kekuasaan mereka sedang dipertaruhkan.
“Jangan membawa-bawa nama Tuhan dalam semua ini, Dion,” suara Don terdengar tajam, dingin seperti baja. “Karena saat kau melakukan perbuatan itu kau tidak melibatkan Tuhan sedikit pun.”
Dion menangis. Air mata mengalir deras di wajahnya yang penuh luka dan kotoran. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar menahan sakit dan tekanan yang tak kunjung reda.
“Saya bersumpah, Tuan... saya tidak pernah menggelapkan uang siapa pun... saya bahkan tidak tahu dari mana semua ini bermula…” lirihnya penuh putus asa.
Namun Don tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Ia berdiri dari bangkunya, lalu berjalan perlahan mendekat, menatap Dion dari atas.
“Kau tahu, Dion... yang kau rusak bukan hanya kepercayaan saya,” ucapnya. “Kau telah menghancurkan pondasi tempat ratusan orang menggantungkan hidup mereka. Karyawan kami, keluarga mereka... semua bisa kehilangan pekerjaan hanya karena rasa tidak puas yang engkau tunjukkan dengan cara seperti ini.”
Don menggeleng pelan, penuh kekecewaan. “Yang rugi bukan hanya saya. Tapi semua orang yang bekerja siang malam untuk perusahaan ini. Termasuk kau sendiri.”
Dion hanya bisa tertunduk, menangis tanpa bisa membela diri. Yang tersisa kini hanya luka, haus, dan harapan yang perlahan memudar.
Don menarik napas dalam-dalam, menahan amarah dan kekecewaannya. Ia memandangi Dion yang kini terdiam dengan tubuh lunglai, seperti seonggok daging yang kehilangan semangat hidup.
Namun sesaat, sorot mata pria tua itu berubah. Ia melihat bukan hanya seorang tersangka di depannya, tetapi seorang manusia yang dihancurkan... oleh sistem, oleh tuduhan, dan oleh keputusan yang mungkin belum tentu benar.
“Lima belas tahun kau bekerja bersama keluarga ini…” gumam Don, nada suaranya menurun sedikit. “Kau tahu semua prinsip Velasco. Ketegasan, loyalitas, dan tak boleh ada cela. Tapi jika kau memang tidak bersalah, kenapa bukti mengarah padamu, Dion?”
Dion perlahan mengangkat wajahnya, air mata masih menetes, suaranya nyaris tak terdengar.
“Saya tak tahu… saya benar-benar tidak tahu, Tuan… Saya bahkan tak punya akses pada dana sebesar itu… saya hanya menjalankan laporan sesuai yang diperintahkan… Saya mohon, percayalah, saya difitnah…”
Don terdiam. Tatapannya kembali tajam, tapi bukan karena marah melainkan karena ada keraguan yang mulai mengusik pikirannya.
Ia membalikkan badan, berjalan ke arah pintu tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Tapi sebelum benar-benar keluar, ia berhenti sejenak, lalu berkata tanpa menoleh,
“Kau masih hidup karena Mateo yang ingin kau tetap bernapas. Tapi jika terbukti kau yang menghancurkan semua ini… maka kau tahu sendiri konsekuensinya.”
Don pun keluar, membiarkan pintu ruang bawah tanah kembali tertutup. Sementara Dion kembali terisak dalam gelap dan dinginnya ruangan itu masih bergumul dengan ketidakadilan yang membelenggunya.
Don menghentikan langkahnya sejenak saat melihat sosok Livia melintas di lorong menuju taman. Wanita itu berjalan pelan, menunduk dengan kedua tangan menopang perutnya yang membesar. Wajahnya pucat, tubuhnya lusuh, dan mata sayunya menatap lantai tanpa ekspresi berarti.
Mereka saling bertatapan sekilas. Livia, dengan sisa keberanian yang ia miliki, melemparkan senyum tipis senyum yang lebih menyerupai bentuk kesopanan daripada kehangatan.
Don tidak membalas. Ia hanya diam, matanya mengikuti langkah Livia yang kemudian menghilang di balik tembok besar, menyatu dalam senyap malam dan beban yang menggelayuti rumah itu.
Pria tua itu menarik napas pelan. Ada hal yang mengusik dalam dirinya sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Mungkin kelelahan. Mungkin firasat.
Tanpa berkata apa pun, Don kembali melanjutkan langkahnya masuk ke ruang utama, di mana Mateo tengah menenggak vodka sendirian di bawah cahaya lampu gantung yang temaram.
"Sampai kapan kau akan terus menghadapi masalah dengan menenggak vodka, Mateo?" tanya Don dengan nada jengah, menatap putranya yang larut dalam pelarian tanpa penyelesaian.
Mateo yang tengah duduk di kursi ruang utama hanya menoleh sekilas pada ayahnya, lalu kembali menatap kosong ke arah gelas kristal yang berisi vodka setengah penuh di tangannya.
"Setidaknya ini tidak mengkhianatiku seperti orang-orang yang ada di sekitarku," jawabnya datar, dingin, tapi terdengar getir.
Don menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi berhadapan dengan putranya. Tatapan matanya tajam dan penuh tekanan.
"Masalah tidak akan selesai hanya dengan menenggak minuman keras, Mateo. Kau pemimpin. Kau pewaris keluarga ini. Tapi yang kulihat, kau hanya seperti anak kecil yang merengek saat mainannya dirusak."
Mateo mengeratkan rahangnya, genggaman tangannya mengencang di sekitar gelas.
"Papa tidak tahu apa yang sedang terjadi," ucapnya pelan namun dalam, penuh amarah yang ditahan.
"Justru karena aku tahu, maka aku kecewa. Bukan pada apa yang terjadi… tapi pada cara kau menyikapinya. Keluarga Velasco tidak dibentuk untuk jatuh karena satu pengkhianatan. Bangkit, Mateo. Bangkit sebelum kehancuran ini menelan semuanya termasuk harga dirimu."
Mateo hanya diam. Pandangannya kosong, tapi ada gejolak yang perlahan mulai membakar dari dalam matanya.
"Lalu istrimu," tanya Don sambil menatap putranya tajam, "apa kau sudah tahu jenis kelamin calon anakmu?"
Mateo menghembuskan asap rokoknya perlahan sebelum menjawab datar, "Tidak penting. Kalau janin itu tidak bertahan, justru akan lebih baik."
Sekali Mateo memutuskan untuk tidak peduli, maka ia benar-benar tak akan peduli. Perasaan itu terus tumbuh dingin dalam dirinya.
Ia justru mulai meyakini ucapan Ariana bahwa kehadiran Livia hanyalah awal dari semua kesialan yang menimpa hidupnya. Bagi Mateo, wanita itu tak lebih dari beban, dan kini, bahkan calon anak mereka pun terasa seperti duri dalam daging.
Ternyata, Livia sempat kembali dan tanpa sengaja mendengar percakapan antara Mateo dan Don dari balik dinding.
“Walaupun aku sudah sering mendengarnya… entah mengapa, kali ini rasanya jauh lebih sakit,” lirihnya dalam hati, matanya memerah menahan tangis.
Ia tahu, dirinya dianggap sebagai duri, sama seperti Dion. Dituduh bersekongkol menghancurkan Mateo, padahal Livia yakin Dion juga hanya korban, seperti dirinya. Namun, Mateo seakan buta dan tuli terhadap kebenaran.
Dengan langkah gontai, Livia masuk ke kamar. Ia berbaring sambil memeluk dirinya sendiri karena tak ada satu pun yang ingin memeluknya, atau bahkan mengakuinya ada.
"Ibu... Livia kangen," isaknya lirih dalam kesepian yang begitu menyesakkan.
Keesokan paginya datang seperti hari-hari biasanya. Yang membedakan hanyalah kehadiran Don dan Ariana di rumah itu mereka memutuskan untuk menginap malam sebelumnya.
Pagi-pagi sekali, Livia sudah mulai beraktivitas, meski tubuhnya terasa berat. Namun belum sempat menyelesaikan tugasnya, suara ketus Ariana langsung menyerangnya seperti anak panah.
“Pantas saja putraku sering memaki dan mengabaikanmu. Lihat dirimu, lamban dan pemalas!” cibir Ariana tajam.
“Maafkan saya, Nyonya…” ucap Livia lirih, menunduk dalam-dalam. Ia memaksakan senyum yang tak pernah benar-benar tumbuh, sambil membawa nampan berisi makanan untuk Mateo.
Langkah Livia tertatih, tubuhnya terasa semakin berat seiring membesarnya janin dalam perutnya. Setiap hari, ia mengerjakan semua urusan rumah tangga sendirian. Tapi tak ada yang benar-benar melihat lelahnya. Apalagi peduli.
Livia mendorong perlahan pintu kamar Mateo dengan siku, berusaha menjaga keseimbangan agar nampan di tangannya tidak jatuh. Pria itu masih terbaring, membelakangi pintu, membiarkan sinar matahari pagi menelusup melalui celah tirai namun tak menyentuh wajahnya yang kusut.
“Selamat pagi,” gumam Livia pelan, hampir tak terdengar. Ia meletakkan nampan di meja kecil di samping ranjang. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena terlalu sering ditekan oleh keadaan yang tidak memberinya ruang untuk bernapas.
Mateo tidak menjawab. Ia tetap diam, seolah tidak ada orang lain di ruangan itu.
Livia menatap punggung suaminya beberapa detik. Ada rasa perih di dadanya, tapi ia menelannya, seperti biasa.
“Saya akan pergi membersihkan ruang makan,” ujarnya singkat, lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan perlahan keluar dari kamar.
Di ambang pintu, ia sempat berpapasan dengan Ariana yang melirik tajam padanya.
“Kau bahkan tak bisa membangunkan suamimu dengan baik. Dasar perempuan tak berguna,” sindir Ariana lagi, sebelum masuk ke dalam kamar anaknya.
Livia menguatkan dirinya, berjalan kembali ke dapur dengan langkah lemah. Tapi air mata yang sempat menggenang di matanya ia usap cepat. Ia tahu, hari ini belum selesai. Dan masih banyak rasa sakit yang harus ia telan sendiri.
Livia menyimpan roti dan botol air mineral ke dalam tas kecil yang ia sembunyikan di balik apron-nya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada pelayan lain yang memperhatikan gerak-geriknya. Jantungnya berdegup kencang, tapi tekadnya jauh lebih kuat dari rasa takut yang menghantuinya.
Beberapa hari terakhir ia merasa seperti dihantui oleh rasa bersalah bukan karena membantu Dion, melainkan karena membiarkannya bertahan sendirian terlalu lama di ruang pengap itu.
Hari ini, saat mendengar bahwa Mateo akan pergi menghadiri acara bersama Don dan Ariana, ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Biasanya Sebastian dan Frans akan ikut menjaga rombongan itu. Dan benar saja, tadi pagi ia sempat mendengar percakapan mereka di depan garasi tentang keberangkatan tersebut.
Kini, satu-satunya penghalang adalah gembok besar yang menutup pintu menuju ruang bawah tanah. Tapi Livia tak kehabisan akal. Beberapa hari lalu, ia diam-diam memperhatikan Dani saat mengambil kunci gudang dari laci meja kantor Mateo. Ia mencatat lokasi dan bentuk kunci itu dengan baik. Dalam benaknya, ia mencoba merancang rute ke sana.
Setelah semua tamu dan keluarga pergi, Livia pura-pura sibuk mencuci piring, menunggu waktu yang tepat saat rumah benar-benar sepi. Ketika semua pelayan lain sedang di dapur belakang atau membersihkan taman, Livia melangkah perlahan menuju ruang kerja Mateo.
Tangannya sedikit gemetar saat membuka laci yang ia ingat. Dan di sana, seperti dugaannya, tergantung satu set kunci logam dan satu di antaranya adalah kunci ruang bawah tanah.
Ia menelannya pelan, lalu menutup laci dengan hati-hati dan bergegas keluar. Ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya. Dan ia tidak akan menyia-nyiakannya.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/