Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Niat Berbeda Eva Dan Ardian
Hari ini, Eva dan Julia berencana mendatangi kantor pengadilan agama. Sejak fajar menyingsing, perasaan Eva sudah dipenuhi dengan kecemasan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tubuhnya bergerak mengikuti ritme waktu, seperti mesin yang dipaksa bekerja, tetapi pikirannya seolah tertinggal jauh di belakang, terjebak dalam pusaran keraguan dan kenangan yang menyesakkan.
Sejak langkah pertama keluar dari rumah, dunia terasa berbeda bagi Eva. Udara pagi yang biasanya menenangkan kini terasa berat di dadanya. Setiap hembusan angin seolah membawa bisikan-bisikan ketakutan yang menghantui pikirannya. Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju kantor pengadilan, Eva hanya diam, tatapannya kosong menembus kaca jendela mobil yang dipenuhi embun tipis. Sesekali, Julia yang duduk di sampingnya mencoba mengajaknya bicara, membahas hal-hal ringan untuk mengalihkan pikirannya. Tapi Eva hanya membalas dengan senyuman tipis, senyuman yang lebih menyerupai isyarat kosong, karena pikirannya tenggelam dalam lautan lamunannya sendiri, terlalu dalam untuk dijangkau.
Nama Ardian berputar-putar di kepalanya, tak mau pergi, seolah-olah membentuk pusaran kuat yang menariknya ke masa lalu. Setiap sudut ingatan, setiap kenangan kecil, tiba-tiba terasa hidup kembali — tawa hangat Ardian yang dulu bisa menghapus seharian letihnya, caranya memanggil nama Eva dengan nada manja yang khas, bahkan pertengkaran-pertengkaran kecil yang dulu dianggapnya remeh, kini muncul satu per satu, menyesakkan dada dan menguras emosi.
Logika dan perasaannya benar-benar bertolak belakang, beradu di dalam hatinya tanpa ada yang mau mengalah. Logikanya berteriak kencang, seakan membentaknya untuk segera mengakhiri semua ini, untuk memilih dirinya sendiri sebelum luka di hatinya menganga lebih dalam. Dia tahu, mempertahankan hubungan yang penuh dengan kebohongan, janji-janji kosong, dan ketidaksetiaan hanya akan menghancurkannya perlahan-lahan, menggerogoti rasa percaya dirinya sampai habis. Namun di sisi lain, perasaannya, yang masih begitu dalam mencintai Ardian, berusaha mati-matian menahan langkahnya. Perasaannya menjerit tanpa suara, memohon agar diberi satu kesempatan lagi, berharap, entah dari mana, keajaiban datang dan mengubah segalanya, memperbaiki retakan yang sudah terlalu dalam.
Sungguh, Eva berada dalam keadaan dilema yang menguras seluruh energi dan jiwanya. Ia merasa seperti terperangkap di antara dua jalan yang sama-sama menyakitkan. Mau melangkah maju, rasanya seperti berjalan ke jurang yang gelap dan penuh ketidakpastian. Tapi bertahan di tempat yang sama pun, di dalam hubungan yang sudah kehilangan makna, terasa seperti menahan napas dalam air yang semakin lama semakin dingin dan menusuk.
Ia tahu, tidak ada keputusan yang benar-benar membahagiakan dalam situasi ini. Semua pilihan membawa luka, semua jalan membawa kesedihan. Tapi hari ini, dengan sisa kekuatan yang ia kumpulkan dari puing-puing hatinya yang remuk, Eva mencoba meyakinkan dirinya untuk memilih jalan yang paling menghormati harga dirinya, jalan yang, meski penuh dengan air mata, tetap memberikan secercah harapan untuk menemukan dirinya kembali. Meski itu berarti harus berjalan sendirian, tanpa Ardian di sisinya, tanpa genggaman tangan yang dulu begitu ia andalkan.
Mobil akhirnya berhenti perlahan di depan gedung pengadilan agama. Bangunan itu berdiri kokoh, dingin, dan tampak asing di mata Eva. Sebuah simbol dari perpisahan yang nyata, yang tak lagi bisa dihindari. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang berpacu liar, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Julia menggenggam tangan Eva dengan erat, memberikan kekuatan dalam diam, tanpa banyak kata-kata, hanya kehadiran yang menguatkan.
Eva menutup matanya sejenak, merasakan sentuhan tangan sahabatnya yang hangat, lalu membuka matanya kembali. Ia tahu, ia harus kuat. Ia tahu, ia harus berani. Karena hidup tidak akan pernah berhenti berjalan, dan hari ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjang untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Kini, saatnya Eva menghadapi kenyataan — seberat apa pun itu. Karena pada akhirnya, keberanian untuk meninggalkan sesuatu yang tidak bakal dia miliki lagi.
***
Ardian sudah siap untuk berangkat ke kantor pagi itu. Jas hitamnya sudah rapi membalut tubuh tegapnya, dasi merah marun terikat sempurna di leher, sepatu mengilap baru saja dipoles. Ia tampak seperti pria sukses yang siap menaklukkan dunia. Tapi sayangnya, dia terlihat sedikit tidak terurus. Karena dia jarang sekali tidur, akibat memikirkan Eva setiap hari. Eva selalu menolak untuk bertemu dengannya, hal tersebut membuatnya kesal dan merasa frustasi. Dulu, Eva sangat mudah di bujuk. Tapi sekarang, hal itu sangat sulit dia lakukan.
Namun, baru saja ia melangkahkan kaki keluar dari rumah mewahnya, ponselnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ardian menghentikan langkahnya dan menghela napas berat sebelum merogoh saku jasnya.
Dilihatnya nama yang tertera di layar : Papa.
Ardian mengerutkan kening. Dalam hatinya, ia merasa malas sekali untuk menjawab. Hubungan mereka akhir-akhir ini memang sedikit renggang, penuh tekanan dan tuntutan yang tidak pernah surut. Namun, Ardian tahu benar, ia tidak bisa seenaknya mengabaikan panggilan dari sang papa. Apalagi sekarang, posisinya sebagai calon CEO perusahaan keluarga itu bergantung pada restu sang Papa. Sebagai putra sulung, dia merasa sudah sewajarnya dia menggenggam semua kekuasaan dan kekayaan itu. Ia tidak mau membiarkan adiknya yang ambisius mencuri posisi yang seharusnya menjadi miliknya. Tidak. Dia harus mempertahankan semuanya, apa pun caranya.
Dengan perasaan berat, Ardian menggeser tombol hijau di layar dan menempelkan ponsel ke telinga.
"Hallo, Pa," sapanya datar, mencoba terdengar sopan.
Di ujung sana, terdengar suara Abian yang langsung menghardiknya dengan nada kesal. "Lama sekali kamu baru mengangkat telepon Papa. Kemana saja kamu, hah?" suara berat itu menuntut.
Ardian buru-buru mencari alasan. "Aku habis dari toilet, Pa," jawabnya berbohong, berharap sang Papa tidak mencium ketidakjujurannya.
Abian mendengus keras, jelas sekali tidak puas dengan jawaban itu. Tapi ia memutuskan untuk langsung ke pokok masalah.
"Apa benar, Eva mengajukan gugatan cerai?" tanyanya, nada suaranya kini lebih serius, bahkan sedikit kecewa.
"Iya, Pa," jawab Ardian singkat, menahan desahan panjang. Hatinya terasa makin berat membahas soal Eva.
"Lalu, apa yang ingin kamu lakukan?" desak Abian, nada suaranya mengandung ujian, seolah menilai seberapa jauh putranya siap bertanggung jawab.
Ardian mengepalkan tangan, menahan emosi yang bercampur aduk. "Papa pikir apa? Tentu saja aku bakal menolak perceraian itu," sahutnya, berusaha terdengar tegas meskipun hatinya berkecamuk.
Hening sesaat, hanya terdengar tarikan napas berat dari Abian.
"Sebenarnya, Papa tidak ingin melihat kalian bercerai," ujar Abian lebih pelan, nadanya terdengar lebih manusiawi. "Tapi, Papa juga tidak tahan melihat Eva bersedih. Kamu tahu, ini semua kesalahanmu sendiri, Ardian. Andai saja kamu tidak menikah diam-diam dengan Lisna, Eva tidak akan menggugat cerai seperti ini!" omel Abian, nadanya kembali meninggi.
Ardian hanya terdiam. Kata-kata Papa-nya terasa seperti tamparan keras di wajahnya. Ia tahu dirinya salah. Ia tahu ia telah menghancurkan kepercayaan Eva, perempuan yang selama ini begitu ia cintai.
"Kamu harus bersikap dewasa, Ardian," lanjut Abian tegas. "Sekarang, kamu harus memilih salah satu. Pilih Eva atau Lisna dan anakmu. Kamu tidak bisa merengkuh kedua istrimu sekaligus. Karena akan ada satu orang yang akan terluka, dan orang itu adalah Eva."
Ardian menarik napas panjang. Kepalanya menunduk, punggungnya bersandar lemas di dinding. Suara Papa-nya terasa menggema di dalam kepalanya.
"Aku... aku enggak bisa memilih salah satu dari mereka, Pa," jawab Ardian lirih, hampir seperti bisikan. "Aku mencintai Eva, tapi aku juga menyayangi Aiden. Kalau aku ceraikan Lisna, kasihan Aiden. Aku enggak mau putraku jadi korban perceraian orang tuanya. Dia anakku, Pa. Bagian dari diriku."
Terdengar decakan kecil dari Abian, lalu suara itu berkata dengan nada lebih sabar, lebih bijak. "Kalau kamu mencintai Eva, kamu ceraikan saja Lisna. Ambil hak asuh Aiden, rawat dia bersama Eva. Gampang, kan?"
Ardian tertegun. Kata-kata itu terasa seperti jalan keluar yang selama ini tidak terpikirkan olehnya. Matanya membelalak perlahan, seakan baru saja menemukan pencerahan.
"Papa benar," ucapnya, kali ini dengan semangat yang berbeda. Senyum tipis mulai menghiasi wajahnya. "Kenapa aku enggak mikir ini dari kemarin?"
"Papa harap kamu segera bertindak," kata Abian tegas. "Datang ke pengadilan agama, bicarakan dengan Eva. Bujuk dia agar mau kembali padamu. Ingat, Eva itu bukan sekadar istrimu. Dia menantu dan anak kesayangan Papa. Jangan sia-siakan dia."
Tanpa menunggu balasan, Abian memutuskan sambungan telepon, meninggalkan Ardian dengan segudang rencana yang mulai berputar di kepalanya.
Ardian menatap ponsel di tangannya lama sekali. Ini adalah peluangnya untuk memperbaiki semuanya. Untuk merebut kembali Eva, membangun kembali hidupnya, dan mengamankan posisi sebagai pewaris tahta keluarga.
Dengan langkah penuh tekad, Ardian memasukkan ponsel ke sakunya dan berjalan cepat menuju mobil. Hari ini, semuanya harus dimulai. Dan dia tidak boleh gagal.
***