The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Liona Di Marahi Mikael
Harry mengusap wajahnya lelah sambil bersandar di jok belakang SUV yang bergerak pelan. Malam telah larut. Di luar jendela, kegelapan menyelimuti, dan di dalam kendaraan, hening membungkus mereka. Rasanya sudah berjam-jam sejak makan malam terakhir.
Dengan gerakan cepat, Harry mengusap rahangnya sebelum melompat turun dari kendaraan. Tubuhnya terasa berat, tetapi dia berlari menaiki tangga menuju pintu depan rumah.
Pandangannya menyapu sekeliling halaman secara naluriah, mengawasi setiap sudut, setiap bayangan. Kebiasaan lama yang tak bisa dia lepaskan, terutama setelah apa yang terjadi pada keluarganya. Rasa khawatir itu, meski tak pernah diucapkan, selalu mengintainya.
Perimeter listrik menyala, penjaga disebar secara strategis. Tapi itu tak menghentikan Harry untuk tetap memeriksa semuanya sendiri.
Dari belakang, Lukas mendorong bahunya sambil bergumam kesal, “Minggir. Aku butuh mandi dan tidur.”
“Hentikan,” sahut Harry, menggelengkan kepala, lalu terus melangkah ke serambi. Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi.
Dia memasang telinga, mencoba menangkap suara janggal—namun tidak ada. Semuanya tampak tenang.
Hal pertama yang ia perhatikan begitu masuk adalah rumah itu bersih. Sangat bersih. Lebih bersih dari terakhir kali sejak para wanita dan anak-anak dikirim ke Bandung, dan para pembantu berhenti bekerja.
Hal kedua adalah aroma. Wangi manis yang lembut namun mengganggu memenuhi ruangan. Harum, tapi menyisakan jejak kenangan tentang Liona—gadis muda yang ia jemput dari tempatnya beberapa hari lalu. Sial. Dia seharusnya tidak memikirkan gadis itu.
Mikael menyusul dari belakang dan menyenggol bahunya kasar, lalu segera menaiki tangga. Harry hanya menghela napas. Mikael memang selalu seperti itu. Dari ruang tamu, Mikael menyentakkan dagunya ke arah lemari minuman di sudut kantor. Sebuah isyarat yang tak perlu dijelaskan.
Tanpa kata, Harry menuangkan dua gelas wiski, lalu menyerahkan salah satunya kepada kakaknya, yang menyambutnya dengan cemberut.
Harry mencoba mendahului komentar yang sudah bisa ditebak. “Mikael, tidak ada orang lain yang bisa dihubungi.”
Namun, tatapan tajam Mikael tidak berubah. “Kau tahu kita sudah punya reputasi buruk di sana…”
Sorot mata Mikael menyempit, suara rendahnya mengandung teguran. “Berhentilah mencari alasan untuk pilihan buruk mu, Harry.”
Harry tertawa pendek, getir. “Kau nggak tahu rasanya ditertawakan oleh petugas kasino, Mikael. Sumpah, wanita itu benar-benar lucu menurut ku.”
Garis-garis tegang di wajah Mikael sedikit melunak, tapi hanya untuk digantikan oleh ekspresi membunuh—yang diarahkan pada wanita yang berani menertawakan adiknya. Harry yakin, siapapun wanita itu, ia tidak ingin berada di sepatu yang sama besok pagi.
Keduanya berjalan menuju ruang tunggu. Tapi tiba-tiba, Mikael berhenti di ambang pintu. Tatapannya tajam.
“Apa lagi?” gerutu Harry, melangkah maju.
Dan di sanalah ia melihatnya—Liona, gadis mungil itu, tengah tertidur di sofa.
Tubuhnya terlonjak saat tersadar, hampir tersandung kakinya sendiri. Matanya berkedip cepat, bingung dan waspada.
Mikael menyilangkan tangan di dada. “Aku tanya, apa yang kau lakukan di sini?”
Wangi manis itu semakin kuat di sini, membuat kepala Harry pusing—dan lapar. Tentu saja, itu aroma dari Liona.
“Maaf, Tuan,” suara Liona gemetar. “Saya hanya selesai membersihkan debu… saya tertidur sebentar. Maafkan saya.”
Harry berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Mereka telah pergi selama empat jam. Sudah tengah malam. Apakah dia bekerja sepanjang waktu itu?
Tatapan Mikael tetap tajam. “Bukan itu maksudku.”
Liona menggigit bibir bawahnya. “Maaf, saya… saya tidak mengerti.”
Mikael melangkah maju, dan Harry buru-buru menyelipkan diri di antara mereka, menepuk bahu kakaknya.
“Maksudnya… kenapa kau masih disini?”
Wajah Liona berubah bingung. “Saya bekerja. Saya pikir…”
“Apakah kau berharap dibayar lembur, hah?” Mikael menyela dengan geraman.
“Mikael,” tegur Harry pelan.
Mikael hanya menghela napas tajam dan kembali menatap Liona. Tatapannya tak main-main.
“Saya tidak berharap dibayar lebih, Tuan,” ucap Liona cepat. “Saya hanya ingin pekerjaan ini tetap…”
Dia pikir ini soal bayaran?
“Tidak perlu khawatir soal uang,” jelas Harry. “Dia bingung kenapa kamu masih kerja sampai tengah malam. Dia takut kamu terlalu memaksakan diri.”
Liona hanya menunduk, kemudian tergesa menuju kamarnya. Penuh rasa bersalah.
Harry menggelengkan kepala. Kenapa dia merasa harus minta maaf? Sebenarnya, merekalah yang salah jika membiarkan gadis itu merasa harus bekerja empat belas jam sehari.
Mikael menyerbu ke dapur, meneguk sisa wiski, dan menuang lagi. Harry menyusulnya.
“Kau bisa sedikit lebih ramah padanya, Mik.”
“Kau saja sendiri. Sekarang kau pikir kau bos?”
“Bukan begitu.” Harry menunjuk wastafel yang mengilap. “Dia baru kerja sehari, tapi dapurnya bersih total. Bahkan…” matanya membulat melihat setumpuk cupcake yang rapi. “Astaga.”
Ia mendekat, mengendus. Spons lemon, krim mentega. Perpaduan sempurna. Ia membuka satu, menggigit, dan menahan dengusan puas. “Ini luar biasa.”
Mikael hanya menatapnya datar.
“Kau tahu, kau tidak segalak ini ke pembantu lain di hari pertama.”
“Jangan bicara dengan mulut penuh,” sahut Mikael datar.
Harry mendengus geli. Tentu. Peran ayah-alternatif itu belum pernah benar-benar hilang dari diri Mikael sejak orang tua mereka meninggal. Ia menelan sisa kue dan mengambil satu lagi.
“Maksudku, ini alasan kenapa kita susah mencari pembantu. Kalau dia kabur karena dimarahi terus, kita balik ke titik nol.”
Suara Lukas terdengar dari pintu dapur. Ia berdiri santai, lengan bersilang, rambut masih basah. “Kenapa kau peduli?”
“Aku tidak peduli,” kata Harry cepat, sambil melahap cupcake kedua. Tapi kata-kata Lukas terus terngiang. Kenapa dia peduli?
Dan… kenapa aroma cupcake lemon ini terasa seperti awal dari masalah baru?