Marina, wanita dewasa yang usianya menjelang 50 tahun. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Demi kesuksesan suami serta kedua anaknya, Marina rela mengorbankan impiannya menjadi penulis, dan fokus menjadi ibu rumah tangga selama 32 tahun pernikahannya dengan Johan.
Tapi ternyata, pengorbanannya tak cukup berarti di mata suami dan anak-anaknya. Marina hanya dianggap wanita tak berguna, karena ia tak pernah menjadi wanita karir.
Anak-anaknya hanya menganggap dirinya sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma.
Suatu waktu, Marina tanpa sengaja memergoki Johan bersama seorang wanita di dalam mobilnya, belakangan Marina menyadari bahwa wanita itu bukanlah teman biasa, melainkan madunya sendiri!
Akankah Marina mempertahankan pernikahannya dengan Johan?
Ini adalah waktunya Marina untuk bangkit dan mengejar kembali mimpinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#24
#24
Dua malam sebelumnya, usai makan malam tuan Gusman kembali memanggil pelayan yang menyiapkan makan malam untuknya, “Sambal ini, Kamu membuatnya?”
“Kenapa, Tuan? Tidak enak sambalnya?” tanya sang pelayan khawatir.
“Jangan khawatir, karena rasanya sungguh enak, sejak istriku meninggal, sudah lama Aku tak makan sambal selezat ini.” Pelayan itu bernafas lega.
“Itu, Mbak Puji bilang kiriman dari wanita yang dua minggu lalu anda bawa untuk di rawat di Rumah Sakit,” jawab sang pelayan.
Tuan Gusman mengangguk, “Baiklah, Kamu boleh pergi.”
•••
Saat ini.
“Ngomong-ngomong, sedang apa Kamu di tempat ini?”
Marina menoleh menatap tuan Gusman, pria itu terlihat santai dengan setelan kerja yang rapi dan stylish. Marina mulai bimbang, apakah harus ia jawab pertanyaan tersebut, sementara ia tak mengenal dengan baik siapa pria yang duduk di hadapannya saat ini.
“Saya … “
“Tak usah bercerita jika Kamu keberatan,” kata tuan Gusman, ia paham Marina pasti sedang sangat sedih dan tertekan.
Marina tersenyum kikuk, memang siapa tuan Gusman sampai ia harus bercerita. “Oh iya, para pegawai di Rumah Sakit mengatakan bahwa Kamu mengirim sambal untuk mereka.”
Rona wajah Marina berubah, sejenak ia lupa dengan persoalan rumah tangga yang tengah membelitnya. “Ah, maaf, seharusnya saya juga mengirim untuk Anda.”
“Aku sudah mencicipinya,” ungkap tuan Gusman, membuat Marina menundukkan wajahnya.
“Bagaimana rasanya?” Tanya Marina dengan wajah berbinar, ia sangat antusias dengan usaha yang baru saja ia rintis.
Tuan Gusman melihat hal lain di wajah Marina, yakni senyum, dan rona bahagia wanita itu. “Raut wajahmu tiba-tiba berubah, apakah ada yang menarik?”
Marina kembali tersenyum, begitu teduh dengan tatap mata yang lembut, ada sesuatu yang mulai menggelitik dada tuan Gusman tatkala melihat senyum marina. Sebuah ketenangan dan kerinduan yang telah lama tak mendapatkan tempat untuk bermuara.
Marina menatap ke depan, melihat orang-orang yang berlalu lalang di trotoar jalan raya. “Tuan benar, ini pertama kalinya Saya mencoba berdiri diatas kaki saya sendiri. Setelah sekian lama Saya hanya mengandalkan uang pemberian Suami.”
Tuan Gusman mengerutkan keningnya, ia justru heran setelah mendengar ucapan Marina. “Tapi bukankah menafkahi seorang istri adalah kewajiban suaminya?”
“Iya, Anda benar lagi, Tuan. Tapi untuk kondisi Saya berbeda, karena Kami akan segera bercerai. Jadi Saya harus mulai memikirkan bagaimana kelak Saya melanjutkan hidup.” Marina kembali tersenyum getir, tapi tanpa sadar Marina telah masuk dalam perangkap tuan Gusman, hingga ia menceritakan apa yang sedang menimpanya.
Pria itu tiba-tiba kepo dengan urusan pribadi Marina, mendadak pula ia merasa ada jutaan kupu-kupu berterbangan di dalam dadanya ketika mendengar wanita yang baru ia kenal ini hendak berpisah dengan suaminya. “Jadi karena itu Kamu ada di tempat ini?”
“Iya begitulah.”
“Jadi tangisanmu tadi adalah wujud dari rasa sedihmu?” Tanya tuan Gusman.
“Sedih, tapi bukan sedih karena perpisahan dengan orang yang pernah mendampingi Saya.”
“Lalu?” Tuan Gusman semakin penasaran.
“Karena Saya merasa gagal mendidik Anak Saya, sejak kecil Saya memanjakan Dia dengan segenap perhatian, Saya membantu semua urusannya hingga ke hal-hal yang paling sederhana. Tapi pada akhirnya la tumbuh menjadi Orang yang egois dan angkuh,” tutur Marina.
“Yang lebih membuat hati Saya sakit adalah, anak itu dengan tega menuding Saya sebagai ibu yang egois, dan kekanak-kanakan. Hingga ia lebih memilih menjadi pengacara Ayahnya ketimbang menjadi pelipur lara bagi ibunya.” Marina kembali menghapus air matanya, entah sudah seberapa banyak air mata yang ia keluarkan, yang jelas saat ini ia merasa sedikit lega karena sudah menceritakan apa yang ia alami pada tuan Gusman.
Sesaat kemudian, Marina baru menyadari kesalahannya, wajahnya memerah menahan malu, karena telah bercerita pada orang yang baru saja ia kenal.
Padahal semula mereka hanya membicarakan sambal, kenapa jadi masalah pribadi yang ia ungkapkan? Marina sungguh menyesali kebodohannya. “Maaf, Tuan. Sekali lagi saya minta maaf, seharusnya Saya tak membicarakan hal-hal yang tidak penting. Anda pasti bosan mendengar Saya bercerita.”
“Tak mengapa, asal Kamu merasa lega.” Tuan Gusman berdiri dari tempatnya.
“Oh iya, Tuan. Bolehkah Saya minta alamat tuan, Saya akan mengirimkan sambal buatan Saya dan teman Saya, langsung ke alamat Anda.”
“Tidak usah repot-repot, karena …”
“Tidak repot, Tuan. Sungguh, Saya merasa senang jika Anda menikmati hasil masakan Saya.” Marina memotong perkataan tuan Gusman. Kalimat asal yang pernah Farida katakan memang ajaib, dan kini mendengar tuan Gusman menyukai sambal buatannya, ternyata sangatlah membahagiakan.
Kini ia berani berharap, Siapa tahu tuan gusman bisa menjadi pelanggan tetap sambal homemade buatannya, karena Marina tak berani membayangkan hal-hal yang lebih besar.
Tuan Gusman mengeluarkan ponselnya, “Berapa nomor teleponmu?” Modus terang-terangan, yang tak Marina sadari. Rupanya penolakan tuan Gusman mengandung maksud lain, yakni menginginkan nomor telepon Marina.
Dari kejauhan, seseorang mulai berprasangka yang tidak-tidak, bahkan ia sempatkan mengambil gambar melalui kamera ponselnya. Bibirnya tersenyum penuh kemenangan, ketika kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan pengadilan.
Setelah memastikan nomor tuan Gusman tersimpan di memori ponselnya, Marina pun berpamitan, karena ia yakin orang sibuk seperti tuan Gusman pasti memiliki banyak urusan. “Kabari Saya, kapanpun Tuan menginginkan sambal.”
“Kamu juga, jangan menangis seorang diri, carilah teman untuk berbagi, agar beban hatimu terasa lebih ringan,” balas tuan Gusman.
Marina mengangguk, mereka berpisah begitu saja, tanpa bersalaman, hanya saling bertukar nomor ponsel. Tentu saja para pendukung tuan Gusman mulai cengar-cengir di pojokan.
Tuan Gusman kembali menghampiri Agung yang sudah hampir mengeluarkan tanduk kemarahannya, “Ayo. Kita berangkat.”
“Kemana, tuan?” Tanya Agung dengan nada kesal.
Tuan Gusman menghentikan langkahnya. “Apa Kamu juga mulai pikun? Bukankah Kita harus menemui Tuan Emir Abrizam?”
“Sudah Saya batalkan sesuai permintaan Anda,” dusta Agung yang sedikit dongkol dengan ulah atasannya. Dan kalimat tersebut membuat tuan Gusman mendelik terkejut.
“Apa Kamu bilang! Jangan asal tuduh! Kapan Aku menyuruhmu membatalkan janji?!”
“Tuhan, berikan Hamba kesabaran menghadapi Pak Tua yang satu ini,” raung Agung dalam hati, ia hanya bisa mengacak-acak rambut dengan wajah kesal bercampur frustasi karena tak bisa meluapkan amarah pada sang atasan.
“Jalan cepat! Jika sampai Kita gagal bertemu tuan Emir, maka Aku pastikan Kamu dalam bahaya!” Perintah tuan Gusman seenaknya.
Begitulah nasib bawahan, tak pernah bisa diprediksi, kadang hujan mengguyur, kadang kemarau panjang, entah kapan berakhir. Dan Agung hanya bisa pasrah menjalankan mobil dengan kecepatan maksimal, sesungguhnya ini semua bukan salah Agung, tapi salah semesta raya yang mempertemukan tuan Gusman dengan Marina di waktu yang tidak tepat.
Tapi semesta pun tak begitu saja membiarkan Agung menangis, walau sedikit terlambat tapi mereka bisa bertemu langsung dengan tuan Emir, dan membuat kesepakatan yang menguntungkan.
bawang jahatna ya si Sonia
aku ngakak bukan cuma senyum2
itu bapak Gusman kira kira puber keberapa ya🤣🤣🤣
tp sayangnya aku malah dukung banget tuan Gusman sama Marina .. semangat tuan Gusman ..para pembaca mendukungmu