Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 - Between Us
Beberapa hari setelah kecelakaan itu, Luna kembali pada dirinya yang dulu: riang, ceriwis, dan sedikit menyebalkan—seperti yang selalu ia sebut sebagai "kepribadian unggulnya." Bekas luka di lengannya masih ada, tapi semangatnya seperti tak pernah benar-benar padam.
Hari itu, Luna mengenakan gaun kasual biru muda yang berpadu serasi dengan tas kanvas berisi alat lukisnya. Ia berjalan beriringan bersama Zora, menuju ruang rapat direktur di lantai paling atas rumah sakit tempat Xavier bekerja. Udara pagi itu segar, dan entah mengapa, Luna merasa sedikit gugup.
“Jangan canggung,” bisik Zora seraya meliriknya. “Direktur rumah sakit bukan orang yang menakutkan. Lagipula, aku yang mengurus kerja sama ini sejak awal. Kamu tinggal senyum dan bicara soal seni.”
Luna mengangguk, meski kakinya sedikit kikuk melangkah ke dalam ruang rapat. Di sana, seorang pria paruh baya dengan jas putih dan rambut sedikit memutih berdiri menyambut mereka. Wajahnya hangat, senyumannya tulus.
“Selamat pagi. Kalian pasti Luna dan Zora, ya?” ucapnya ramah. “Saya dr. Rayhan, direktur rumah sakit ini. Silakan duduk.”
“Senang bertemu dengan Anda, Dokter,” ujar Zora mewakili. “Luna adalah seniman yang akan bekerja sama dengan kami untuk pameran amal bulan depan.”
“Lukisan bertema rumah sakit? Menarik,” kata dr. Rayhan sambil membuka berkas di hadapannya. “Biasanya orang menghindari suasana rumah sakit. Membawa keindahan lewat seni di tempat seperti ini adalah gagasan yang luar biasa.”
Luna tertawa kecil. “Saya justru tertarik karena tantangannya, Dok. Banyak emosi di rumah sakit. Tak hanya kesedihan, ada harapan, cinta, bahkan keajaiban. Semua itu bisa diterjemahkan ke dalam warna.”
“Bagus,” kata dr. Rayhan dengan anggukan puas. “Kami sudah siapkan studio kecil untukmu di lantai lima, dekat ruang terbuka dan taman dalam. Kau bebas berkarya kapan pun, dan staf kami akan membantu jika dibutuhkan.”
“Terima kasih, ini sangat berarti untuk saya,” jawab Luna tulus.
Zora menambahkan, “Kami juga berharap kegiatan ini bisa mendekatkan pasien dan pengunjung dengan sisi humanis dari rumah sakit.”
dr. Rayhan berdiri. “Kalau begitu, semoga kerjasama ini membawa kebaikan untuk semua. Dan tolong, jangan sungkan jika ada yang dibutuhkan. Kau bagian dari tempat ini sekarang, Luna.”
Setelah pertemuan itu, mereka berjalan keluar ruang rapat, dan Luna sempat menoleh ke arah koridor yang mengarah ke ruang UGD. Sejenak, matanya berhenti pada sosok Xavier yang sedang berjalan cepat dengan jas putihnya, serius seperti biasa, tak menoleh sedikit pun.
Luna diam beberapa detik, sebelum kembali melangkah di samping Zora.
“Aku akan mulai melukis besok pagi,” gumamnya.
Zora menoleh, lalu mengangguk. “Baik. Pastikan lukisan pertamamu punya sentuhan ajaib. Kita tidak pernah tahu siapa yang diam-diam menunggunya.”
Tepat dikalimat terakhirnya, Luna dan Zora dikejutkan oleh suara riang dari belakang.
“Hei, gadis-gadis cantik! Boleh aku ikut jalan bareng?”
Luna menoleh dan mendapati Aaron melambai kecil sambil mendekati mereka dengan langkah santai. Ia mengenakan jas dokter yang tergulung di bagian lengan, dasinya longgar, dan senyum lebarnya tak berubah—selalu membawa suasana cerah seperti matahari di sore hari.
“Aaron?” sapa Zora heran. “Kau baru selesai dinas?”
“Baru saja,” jawabnya, lalu menatap Luna. “Kau masih hidup rupanya,” godanya ringan. “Kemarin aku hanya sempat melihatmu sekilas waktu dibawa ke UGD. Belum sempat ngobrol, kau malah harus diperiksa ulang.”
Luna terkekeh pelan. “Maaf, waktu itu aku agak sibuk berurusan dengan… dokter posesif,” ujarnya sambil mengangkat alis.
Aaron tertawa, lalu menatap tangannya yang berbalut perban rapi. “Tapi serius, aku harus puji satu hal—cara kau merawat lukamu luar biasa rapi. Jahitannya bersih, balutannya rapi. Kau pelajari dari mana? Pinterest?”
Luna memaksakan senyum, canggung. “Ehm… insting dasar bertahan hidup?” Ia melirik Zora sekilas dan menggigit bibirnya. Ia jelas tidak bisa bilang bahwa semua itu adalah hasil tangan dingin Xavier yang begitu telaten—bahkan terlalu telaten—merawat setiap goresan di tubuhnya itu.
Aaron mengangguk-angguk dramatis. “Kau pasti punya bakat terpendam sebagai perawat.”
Zora ikut tertawa, “Jangan beri dia ide, Aaron. Dia bisa meninggalkan lukisan dan mengobrak-abrik ruang UGD karena bosan.”
Luna menyikut pelan lengan Zora. “Hei, aku masih sangat setia pada kuas dan cat air, terima kasih.”
Aaron menyandarkan tubuhnya ke dinding koridor. “Kalian sudah ada rencana? Kalau belum, aku traktir makan siang. Ada kafe baru di lantai bawah, menunya lumayan. Anggap saja sebagai ‘selamat datang kembali ke dunia hidup,’ Luna.”
Luna melirik jam tangannya, lalu mengangguk. “Oke, aku tak keberatan. Asal bukan makanan rumah sakit.”
Aaron mengangkat dua jari. “Janji. Bukan bubur polos tanpa garam.”
Zora tertawa. “Baiklah, ayo kita turun. Tapi aku minta tempat duduk dekat jendela. Cahaya siang bagus untuk... ya, segala hal.”
Mereka bertiga berjalan berdampingan, tawa kecil mengiringi langkah mereka.
Suasana kafe rumah sakit yang tenang siang itu menjadi latar pertemuan yang tampak biasa—tiga orang duduk mengelilingi meja bulat dengan hidangan ringan dan gelas-gelas kopi yang mulai mendingin. Tawa Zora dan Aaron sesekali memenuhi udara, sementara Luna sibuk mengaduk es cappuccinonya dengan sedotan logam.
Obrolan mereka mengalir ringan, dari seni, pekerjaan rumah sakit, hingga film Korea terbaru yang sedang tren di kalangan perawat.
Hingga tiba-tiba, suara langkah tenang dan berat menginterupsi percakapan mereka.
“Aku berharap masih ada kursi kosong.”
Mereka menoleh hampir bersamaan. Xavier berdiri di sisi meja, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung rapi. Tidak ada senyum di wajahnya, hanya ekspresi tenang seperti biasa. Tapi matanya—terutama pada Luna—menyimpan sesuatu yang tak terucap.
“Xavier,” gumam Luna, sedikit kaget. “Kau sudah selesai dinas?”
“Baru saja,” jawabnya, menarik kursi di samping Aaron dan duduk seolah-olah ia memang diundang sejak awal. “Kupikir akan menyenangkan bergabung sebentar.”
Zora menyambutnya dengan anggukan sopan. “Tentu, ini tempat umum, kan? Kami baru saja membicarakan rencana pameran rumah sakit.”
Xavier hanya mengangguk, pandangannya sekali lagi melirik ke arah Luna.
Aaron, dengan senyum isengnya yang khas, meneguk kopinya sebelum berkata, “Ngomong-ngomong, kami juga sedang membahas topik menarik sebelum kau datang.”
Luna memutar matanya. “Topik tidak penting, lebih tepatnya.”
Aaron tertawa, lalu memiringkan tubuhnya sedikit menghadap Luna, suaranya terdengar ringan namun jelas, “Luna, menurutmu, apa mungkin sahabat bisa jadi cinta?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Xavier menegakkan tubuhnya tanpa sadar, sementara Zora melirik cepat ke arah Luna, penasaran dengan jawabannya.
Luna terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak seperti baru saja mendengar lelucon paling lucu hari itu.
“Sama sekali tidak seru! Aku adalah tipe orang yang berkomitmen memisahkan persahabatan dan cinta. Terlebih, aku sama sekali tidak percaya cinta. Apa itu cinta?” ucapnya, masih terkekeh pelan sambil memainkan sedotannya.
Xavier tidak ikut tertawa. Tatapannya kini menajam, namun tetap diam, hanya menggenggam gelas kopinya lebih erat.
“Aku salut pada komitmen itu,” kata Zora dengan senyum kecil. “Tak mudah menjaga garis batas di antara dua hal yang sering kali kabur.”
Aaron menatap Xavier sesaat, lalu kembali pada Luna. “Sayang sekali. Padahal aku berniat untuk mendaftar jadi kekasihmu, jika kau tidak keberatan,” ucapnya setengah bercanda, setengah serius.
Luna menertawakannya sambil mengibaskan tangan. “Aaron, berhentilah melamar orang secara random. Reputasimu bisa rusak.”
Aaron mengangkat bahu. “Siapa tahu, reputasi rusak bisa jadi jalan menuju kebahagiaan.”
Zora ikut tertawa, tetapi tidak dengan Xavier. Ia akhirnya meletakkan gelasnya perlahan ke atas meja. “Aku lupa ada janji dengan pasien,” katanya singkat sambil berdiri.
“Xavier…” panggil Zora, tapi pria itu hanya mengangguk sopan lalu berbalik meninggalkan meja tanpa melihat ke belakang.
Aaron menyesap kopinya lagi, lalu bergumam pelan, cukup keras untuk didengar Luna, “Terkadang, kita terlalu sibuk menertawakan hal-hal yang tidak kita percaya... hingga akhirnya kehilangan apa yang selama ini diam-diam kita pegang.”
To Be Continued >>>
Aku dukung 🥰