NovelToon NovelToon
Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia greyson

Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29

Pagi itu, rumah kecil Arif dan Amira diselimuti ketenangan.

Sinar matahari lembut menyelinap masuk melalui jendela dapur, menerangi meja makan sederhana tempat Amira sedang menyiapkan sarapan.

Maira duduk di kursi sambil memainkan sendoknya, sesekali tertawa kecil saat Amira pura-pura memarahi telur dadar yang gosong sedikit di pinggirnya.

"Papa telat, ya, Ma?" tanya Maira, memandang ke arah jam dinding.

Amira tersenyum, sambil meletakkan sepiring nasi goreng hangat di meja.

"Papa lagi siap-siap. Sebentar lagi turun."

Tak lama, Arif muncul dari tangga, mengenakan kemeja rapi dan membawa jas kerjanya di satu tangan.

"Wah, wangi banget," katanya sambil mencium aroma sarapan.

"Laper, nih."

Amira terkekeh pelan.

Ia mengambilkan segelas air putih, lalu duduk di samping Maira.

Mereka sarapan bersama sederhana, penuh canda kecil.

Arif beberapa kali menggoda Maira yang malas makan sayur, sementara Amira sibuk mengingatkan Arif untuk tidak lupa membawa bekal kecil yang sudah ia siapkan.

"Mas, hati-hati di jalan, ya," pesan Amira begitu Arif berpamitan.

Arif mengangguk, mengecup kening Amira, lalu pipi Maira.

"Aku pulang sore nanti. Mau dibawain apa?" tanyanya pada Maira.

Maira berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar.

"Es krim dua!"

Arif tertawa. "Siap, putri kecil Papa."

Ia melambaikan tangan dan melangkah keluar, naik ke mobil dan melaju menuju kantornya.

Di rumah, Amira mulai membereskan meja makan, sementara Maira kembali ke kamarnya, bermain boneka.

Semua terasa... tenang.

Normal.

Bahagia.

Amira bahkan sempat bersenandung kecil saat mencuci piring, hatinya penuh rasa syukur atas kehidupan baru yang perlahan ia bangun bersama Arif dan Maira.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Sekitar 3 jam setelah Arif berangkat kerja, suara mobil asing terdengar berhenti di depan rumah.

Amira mengerutkan kening, mengintip dari jendela.

Dua orang tua berpakaian rapi turun dari mobil seorang pria setengah baya dengan wajah tegas, dan seorang wanita elegan yang membawa tas tangan mahal.

Dada Amira mendadak berdebar kencang.

Ia tidak mengenali mereka.

Tapi... entah kenapa, nalurinya langsung memberi tahu sesuatu yang buruk akan terjadi.

Sebelum sempat berpikir panjang, bel rumah berbunyi.

"TING TONG."

Maira berlari keluar dari kamarnya, wajahnya penasaran.

"Siapa, Ma?"

Amira buru-buru mengelus kepala Maira.

"Tunggu di dalam, ya, Sayang."

Ia berjalan ke pintu, mengatur napas sejenak sebelum membuka.

Begitu pintu dibuka, ia langsung berhadapan dengan dua sosok itu.

Mata pria setengah baya itu langsung meneliti Amira dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan tajam.

Wanita di sampingnya menyipitkan mata, seolah menilai tanpa perlu kata-kata.

Amira menelan ludah.

"Halo... Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan.

Pria itu mengangkat dagunya sedikit.

"Kami... orang tua Arif."

Suasana langsung terasa membeku.

Amira membeku di tempat, sementara Maira yang mengintip dari belakang pintu menggenggam ujung bajunya erat-erat.

Tanpa senyum, tanpa basa-basi, sang ibu melirik sekeliling rumah, lalu bertanya dengan nada ketus.

"Jadi... ini rumah tempat anak kami tinggal sekarang?"

Amira hampir kehilangan kata-kata.

Dan saat itu, untuk pertama kalinya, ia sadar badai besar sudah ada di depan pintu rumahnya.

Amira masih berdiri di depan pintu, bingung harus berkata apa, ketika tiba-tiba pria setengah baya itu melangkah masuk begitu saja.

Sikapnya seperti pemilik rumah, tanpa meminta izin.

Sang ibu menyusul, mengangkat dagunya tinggi-tinggi sambil melirik tajam ke sekeliling.

"Hmm," gumamnya pendek, suaranya sinis.

"Begini... tempat anak kami tinggal sekarang?"

Amira menahan napas, dadanya berdebar kencang.

Ia buru-buru menutup pintu dan membalikkan badan, menatap mereka yang kini berdiri di ruang tamu dengan sikap menghakimi.

Maira memeluk kaki Amira dari belakang, merasa ada yang tidak beres.

"Ma... Kenapa kakek dan nenek kelihatan MARAH ?" bisik Maira pelan.

Amira mengelus kepala Maira dengan satu tangan, mencoba menenangkan bocah kecil itu.

Tapi ia sendiri tak mampu meredakan kegugupan dalam hatinya.

"Ayo, duduk," kata pria itu, seolah memberi perintah.

Tanpa menunggu jawaban, mereka berdua duduk di sofa, mengesampingkan bantal-bantal kecil dengan kasar.

Amira menggigit bibir bawahnya, lalu perlahan mendekat.

"Maaf... Arif sedang di kantor. Mungkin—"

"Kami tidak perlu Arif," potong wanita itu tajam.

"Kami perlu penjelasan."

Amira membeku.

"Penjelasan... apa?" tanyanya perlahan, hampir tak terdengar.

Sang ibu menyilangkan tangan di dada, wajahnya penuh tuduhan.

"Sejak kapan kalian menikah?"

"Kenapa kami baru tahu dari orang lain?"

"Kenapa... anak kami tidak memberitahu orang tuanya sendiri?"

Nada suaranya meninggi di akhir kalimat.

Amira menggenggam jemarinya erat-erat, menahan gemetar.

Maira semakin menempel di kakinya, melihat Kemaren kakek dan neneknya dia merasakan ketegangan yang memenuhi udara.

Amira membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.

Semuanya terasa terlalu cepat. Terlalu menyesakkan.

Dan di dalam hatinya, Amira tahu...

Hari ini, untuk pertama kalinya, ia harus berdiri sendirian — menghadapi badai, tanpa Arif di sampingnya.

Di hadapan tatapan tajam kedua orang tua Arif, Amira menunduk, mencoba menenangkan dirinya.

Ia tahu, apa pun yang ia katakan, hari ini mereka tidak datang untuk mendengarkan — mereka datang untuk menilai.

"Waktu itu... kami menikah secara sederhana, Pak, Bu..." ucap Amira dengan suara pelan.

"Arif memang belum sempat memberi tahu."

Belum selesai Amira berbicara, sang ibu langsung memotong, suaranya meninggi.

"Belum sempat? Atau memang sengaja?!"

Pria di sampingnya — ayah Arif — hanya menggeleng pelan, ekspresi wajahnya penuh kekecewaan.

Sementara itu, sang ibu berdiri dari sofa, berjalan mondar-mandir di ruang tamu kecil itu, seolah menilai semua sudut rumah.

"Astaga, lihat ini," gumamnya sinis.

"Beginikah kehidupan yang kau berikan untuk anak kami, Amira?"

Amira menggigit bibir bawahnya.

Dadanya terasa sesak, tapi ia tetap menunduk sopan, menahan segala emosi yang berdesakan.

"Dan sekarang, katanya kau sudah hamil, ya?" tanya sang ibu tiba-tiba, nadanya dingin menusuk.

"Apa itu juga cara kalian mempercepat semuanya? Supaya kami tidak punya pilihan lain?"

Maira, yang dari tadi diam, mulai memeluk pinggang Amira semakin erat. Matanya berkaca-kaca, bingung melihat mamanya diperlakukan seperti itu.

Amira menahan napas, menunduk lebih dalam.

"Maafkan saya kalau membuat Bapak dan Ibu tidak nyaman," katanya lirih.

"Tapi apa pun yang terjadi, saya... saya mencintai Arif. Kami membangun keluarga ini dengan niat baik."

Sang ibu tertawa pendek — tawa yang penuh ejekan.

"Membangun keluarga? Dengan menyembunyikan dari orang tua? Dengan memaksa anak kami meninggalkan kenangan masa lalunya?"

Amira hanya bisa menggenggam jemari Maira lebih erat.

Air matanya menggenang, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di depan mereka.

Di dalam hatinya, ia tahu — apa pun yang ia katakan, mereka sudah menganggapnya salah.

Saat suasana makin tegang, ponsel Amira bergetar di meja.

Sebuah pesan masuk.

Dari Arif.

"Sayang, gimana di rumah? Semua baik-baik aja, kan?"

Amira menahan napas.

Sejenak, ada dorongan kuat untuk langsung menelepon Arif, meminta bantuannya, memintanya segera pulang.

Tapi... ia tahu, ini pertarungan yang harus ia hadapi sendiri — setidaknya untuk saat ini.

Dengan tangan gemetar, Amira meraih ponsel itu, membalas dengan singkat.

"Semua baik, Mas. Hati-hati kerja ya."

Di saat yang sama, sang ibu mendekatinya, menatap tajam ke arah Maira yang bersembunyi di belakang Amira.

Dan kamu pasti sudah membuat cucu kami tidak menyayangi kami lagi, lihatlah dari tadi a dia tidak ada menyapa kami sedikitpun, apakah kamu membawa pengaruh buruk untuak anak dan cucuku, katanya sambil berteriak.

1
kalea rizuky
dr marah baik marah lagi baik. lagi mau nya apa ortu arif nee
kalea rizuky
kok aneh dr marah2 langsung cpet luluh
kalea rizuky
lu aja yg tolol Rif ngapain ngasih celah ke perempuan lain meski sahabat bodoj
leahlaurance
wow....so sweet,thor lebih diperhati ya banyak typo nya.
Hyyyyy Gurliiii🪲: Terimaksih banyak kak,
total 1 replies
leahlaurance
kaya dikit semacam ,satu imam dua makmum😅
Hyyyyy Gurliiii🪲: Haiiii kakak kak, maaaf yaaa sblum nya
Saya gak tau cerita ituuu 🤣
total 1 replies
leahlaurance
cerita ini kaya,curhat seoramg isteri.ayu usaha terus embak.
leahlaurance
mampir ,dan di bab ini sepertinya biasa juga.
leahlaurance
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!